Oleh : Ahmad Sastra
Dalam sejarah dakwah Islam, peristiwa Thaif merupakan
salah satu momen paling menyakitkan yang dialami Rasulullah SAW, baik secara
fisik maupun emosional. Namun, justru dari kejadian inilah kita melihat
keteladanan luar biasa seorang Nabi yang penuh kasih, sabar, dan pengampun.
Dari luka dan air mata di Thaif, terpancar cahaya hikmah dan pelajaran yang
abadi bagi umat manusia.
Setelah lebih dari satu dekade berdakwah di Mekkah,
Rasulullah SAW dan para sahabat mengalami penindasan yang sangat berat dari
kaum Quraisy. Berbagai bentuk penghinaan, penyiksaan, hingga boikot sosial dan
ekonomi telah mereka hadapi. Puncaknya, dua sosok pelindung Rasulullah wafat
pada tahun yang sama: Khadijah binti Khuwailid, istri tercinta, dan Abu Thalib,
paman yang selalu membelanya. Tahun ini kemudian dikenal sebagai 'Am al-Huzn
(Tahun Kesedihan).
Dalam kondisi yang begitu sulit, Rasulullah SAW
memutuskan untuk mencari tempat baru yang bisa menerima dakwah Islam.
Pilihannya jatuh pada Thaif, sebuah kota yang terletak sekitar 60 kilometer
dari Mekkah dan dihuni oleh Bani Tsaqif, salah satu suku kuat dan terpandang di
Hijaz.
Dengan harapan besar, Rasulullah SAW berangkat ke
Thaif bersama Zaid bin Haritsah. Beliau menawarkan Islam kepada para pemuka
Bani Tsaqif, mengajak mereka untuk beriman kepada Allah dan meninggalkan
berhala. Namun, bukan sambutan baik yang beliau terima, melainkan penolakan
yang sangat kasar dan menyakitkan.
Para pemuka Thaif tidak hanya menolak dakwah
Rasulullah, tetapi juga menghina dan mengusirnya. Lebih dari itu, mereka
memprovokasi masyarakat dan anak-anak untuk melempari beliau dengan batu saat
beliau keluar dari kota. Rasulullah SAW terluka, tubuhnya berdarah, dan sandal
beliau dipenuhi darah yang mengucur dari kaki mulianya. Dalam kondisi sangat
lemah, beliau berlindung di sebuah kebun milik Utbah dan Syaibah, dua orang
Quraisy.
Dalam kondisi penuh luka, Rasulullah tidak memanjatkan
doa kebencian. Justru yang keluar dari lisannya adalah doa yang penuh
kelembutan dan pengharapan: “Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan
kekuatanku, sedikitnya kemampuanku, dan kehinaanku di mata manusia… Jika Engkau
tidak murka kepadaku, maka aku tidak peduli…”
Tak lama setelah itu, malaikat Jibril datang bersama
malaikat penjaga gunung. Malaikat tersebut menawarkan untuk menimpakan dua
gunung kepada penduduk Thaif, menghancurkan kota itu seluruhnya. Namun
Rasulullah SAW menolak tawaran itu dan berkata: “Jangan! Aku berharap semoga
Allah melahirkan dari keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata
dan tidak menyekutukan-Nya.”
Inilah puncak dari rahmat dan kasih sayang seorang
Nabi. Di saat dihina dan disakiti, beliau memilih untuk memaafkan dan tetap
berharap kebaikan bagi orang-orang yang menyakitinya. Hikmah dan pelajaran dari
peristiwa thaif :
Pertama, Kesabaran Tanpa Batas. Peristiwa Thaif
menunjukkan bahwa kesabaran Rasulullah SAW dalam berdakwah tidak mengenal
batas. Beliau tidak menyerah meskipun menghadapi rintangan seberat apapun.
Kedua, Dakwah Butuh Pengorbanan. Islam tersebar bukan
dengan kemudahan, tetapi melalui pengorbanan besar. Rasulullah SAW telah
mempersembahkan fisik, waktu, dan emosinya untuk menyampaikan kebenaran.
Ketiga, Kebaikan Dibalas dengan Kebaikan. Meskipun
beliau disakiti, Rasulullah SAW membalas dengan doa kebaikan. Ini memberi
teladan agung bahwa balas dendam bukanlah jalan para pembawa risalah, tetapi
kasih sayang dan harapan.
Keempat, Tidak Mudah Menilai dari Permukaan. Penduduk
Thaif saat itu menolak dakwah, tetapi kelak keturunan mereka banyak yang masuk
Islam. Pelajaran ini menunjukkan bahwa hasil dari dakwah tidak selalu tampak
instan. Yang penting adalah usaha, bukan hasil langsung.
Kelima, Tawakal dan Kepasrahan Total kepada Allah. Doa
Rasulullah menunjukkan sikap tawakal yang sangat tinggi. Meski ditolak manusia,
selama Allah tidak murka, beliau merasa cukup. Ini pelajaran besar tentang
pentingnya ridha Allah di atas segalanya.
Keenam, Bersikap Lembut dalam Dakwah. Sikap Rasulullah
yang tetap lembut meski disakiti menjadi model dakwah sepanjang masa.
Kelembutan hati mampu menembus kerasnya penolakan, dan menjadi jembatan bagi
hidayah.
Peristiwa Thaif bukan hanya tentang luka dan air mata.
Ia adalah kisah tentang cinta, pengampunan, dan keyakinan yang tidak
tergoyahkan. Rasulullah SAW menunjukkan bahwa misi kenabian bukan hanya
menyampaikan wahyu, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai kasih dan pengorbanan
dalam menghadapi kejahatan dengan kebajikan.
Bagi umat Islam hari ini, Thaif adalah pengingat bahwa
jalan kebenaran penuh ujian. Namun, dengan kesabaran, akhlak mulia, dan tawakal
kepada Allah, setiap luka bisa menjadi pintu hidayah bagi dunia.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1107/24/08/25 : 18.58 WIB)