Oleh : Ahmad Sastra
Masa kecil adalah masa yang penuh dengan pelajaran
hidup, pembentukan akhlak, dan pembentukan kepribadian yang mendalam. Bagi Nabi
Muhammad SAW, masa kecilnya diwarnai oleh serangkaian peristiwa duka yang
membentuk pribadi beliau sebagai manusia pilihan. Salah satu peristiwa penting
yang meninggalkan jejak mendalam dalam hidup beliau adalah wafatnya sang kakek,
Abdul Muthalib, ketika Nabi Muhammad masih berusia delapan tahun.
Peristiwa ini bukan sekadar kehilangan seorang anggota
keluarga. Bagi Nabi Muhammad kecil, wafatnya Abdul Muthalib adalah kali ketiga
beliau mengalami kehilangan sosok pelindung utama dalam hidupnya, setelah
sebelumnya ditinggal wafat oleh ayah dan ibunya.
Nabi Muhammad SAW lahir dalam keadaan yatim. Ayahnya,
Abdullah bin Abdul Muthalib, meninggal dunia ketika ibunya, Aminah binti Wahb,
masih mengandung beliau. Abdullah wafat saat dalam perjalanan dagang ke Syam
dan dimakamkan di Madinah (dulu dikenal sebagai Yatsrib). Hal ini menjadikan
Nabi Muhammad SAW tumbuh tanpa pernah merasakan kasih sayang atau kehadiran
ayah kandungnya.
Sejak dalam kandungan, beliau telah menghadapi kondisi
sosial yang tidak mudah. Menjadi yatim pada masa itu bukan hanya berarti
kehilangan kasih sayang orang tua, tetapi juga bisa berdampak pada posisi
sosial dan ekonomi seorang anak. Namun, kelahiran Muhammad tetap disambut
dengan suka cita oleh keluarganya, khususnya sang kakek, Abdul Muthalib.
Ketika Muhammad SAW berusia enam tahun, duka kembali
menyapa. Ibunda tercinta, Aminah, wafat dalam perjalanan pulang dari Madinah,
setelah mengunjungi makam suaminya dan sanak saudara di sana. Perjalanan itu
dilakukan bersama putranya dan seorang pembantu bernama Ummu Aiman. Namun di
tengah perjalanan pulang, Aminah jatuh sakit dan meninggal di Abwa, sebuah
tempat antara Makkah dan Madinah.
Peristiwa ini sangat mengguncang Muhammad kecil. Pada
usia yang sangat muda, beliau sudah mengalami dua kehilangan besar: ayah dan
ibu. Dalam kondisi demikian, pengasuhan Nabi Muhammad SAW pun berpindah tangan
kepada kakeknya, Abdul Muthalib.
Abdul Muthalib adalah tokoh terhormat di kalangan
Quraisy dan pemimpin suku yang sangat disegani. Ia dikenal sebagai penjaga
Ka’bah dan tokoh yang disegani karena kebijaksanaan dan wibawanya. Ketika
Aminah wafat, ia mengambil alih tanggung jawab mengasuh cucu yatimnya itu
dengan penuh kasih sayang.
Meskipun sudah lanjut usia, Abdul Muthalib sangat
mencintai Muhammad kecil. Beliau tidak memperlakukan cucunya seperti anak kecil
biasa. Bahkan, dalam beberapa riwayat, diceritakan bahwa Muhammad kecil
diperbolehkan duduk di tempat istimewa yang biasanya hanya ditempati oleh Abdul
Muthalib sendiri, sebuah perlakuan yang menunjukkan betapa besarnya rasa sayang
sang kakek kepada cucunya.
Abdul Muthalib melihat sesuatu yang istimewa dalam
diri Muhammad. Kepribadian Muhammad yang tenang, jujur, dan penuh adab
membuatnya dikasihi dan dihormati oleh kakeknya. Namun, kasih sayang tersebut
harus terputus lebih cepat dari yang diharapkan.
Ketika Nabi Muhammad SAW berusia delapan tahun, Abdul
Muthalib wafat. Ini menjadi pukulan emosional yang sangat berat bagi beliau.
Dalam usia yang masih sangat belia, beliau telah kehilangan tiga figur
pelindung utama dalam hidupnya. Peristiwa ini bukan hanya duka pribadi, tapi
juga peristiwa pembentuk ketahanan jiwa seorang anak manusia yang kelak akan
menjadi Rasul terakhir bagi umat manusia.
Setelah wafatnya Abdul Muthalib, pengasuhan Nabi
Muhammad SAW berpindah ke pamannya, Abu Thalib, yang juga sangat mencintai dan
melindungi beliau. Namun duka dan kehilangan yang beliau alami selama delapan
tahun pertama hidupnya jelas menjadi bekal mental dan spiritual dalam
menghadapi kehidupan keras di masa mendatang.
Kehidupan Nabi Muhammad SAW di masa kecil mengajarkan
banyak hal tentang ketabahan, kekuatan mental, dan makna ketulusan dalam
merawat sesama. Kehilangan demi kehilangan tidak menjadikan beliau pribadi yang
rapuh, tetapi justru membentuk beliau menjadi pribadi yang penuh empati, sabar,
dan kuat menghadapi ujian.
Dari perjalanan hidup beliau, kita belajar bahwa
penderitaan bukanlah akhir dari segalanya. Justru dari penderitaan itu, seseorang
bisa tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan penuh kasih. Nabi Muhammad SAW
adalah contoh nyata bagaimana seseorang bisa bangkit dari duka untuk membawa
cahaya bagi dunia.
Kematian Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW, saat
beliau masih berusia 8 tahun bukanlah peristiwa biasa. Di balik duka yang
mendalam tersebut, terdapat berbagai hikmah yang bisa dipetik, baik dalam
konteks pembentukan pribadi Nabi Muhammad SAW maupun sebagai pelajaran hidup
bagi umat manusia. Berikut beberapa hikmah penting di balik wafatnya Abdul
Muthalib:
Pertama, Latihan Kemandirian Sejak Dini. Sejak
usia dini, Nabi Muhammad SAW sudah mengalami serangkaian kehilangan: ayahnya,
ibunya, dan kemudian kakeknya. Dengan tidak adanya figur pelindung tetap,
beliau secara alamiah terlatih untuk mandiri, tidak bergantung pada siapa pun,
dan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh secara mental dan emosional. Kemandirian
ini menjadi salah satu fondasi penting dalam kepemimpinannya kelak sebagai
Rasul dan pemimpin umat.
Kedua, Penanaman Kepercayaan dan Ketergantungan Hanya
kepada Allah. Kehilangan orang-orang terdekat secara berurutan
menanamkan satu prinsip penting: bahwa pertolongan dan perlindungan sejati
hanya datang dari Allah SWT. Allah ingin menunjukkan bahwa meski Nabi Muhammad
SAW kehilangan pelindung duniawinya, beliau tidak pernah benar-benar sendiri.
Allah senantiasa bersamanya. Ini juga menjadi pelajaran bagi umatnya
untuk tidak terlalu bergantung pada manusia, melainkan menjadikan Allah sebagai
satu-satunya tempat bergantung.
Ketiga, Persiapan untuk Misi Besar. Allah
mempersiapkan Rasulullah SAW untuk tugas kenabian yang sangat berat. Salah satu
caranya adalah dengan membentuk pribadi beliau melalui ujian-ujian berat sejak
kecil. Kehilangan demi kehilangan menjadi bagian dari proses pembentukan
keteguhan hati, kesabaran, dan kepekaan sosial. Dengan merasakan sendiri
pahitnya kehilangan dan hidup sebagai yatim, Rasulullah tumbuh menjadi pribadi
yang penuh kasih terhadap orang-orang lemah, yatim, dan miskin.
Keempat, Menyentuh Hati Masyarakat Lewat Pengalaman
Pribadi. Pengalaman sebagai anak yatim membuat Nabi SAW sangat mengerti
perasaan orang-orang yang tertimpa musibah, terutama anak-anak yang kehilangan
orang tua. Ini menjadikan beliau sangat peduli terhadap hak-hak yatim dan lemah
lembut kepada mereka. Tak heran, dalam banyak ajaran Islam, beliau
sangat menekankan pentingnya memperhatikan dan menyantuni anak yatim.
Kelima, Menjadi Teladan Bahwa Ujian Adalah Bagian dari
Jalan Hidup. Nabi Muhammad SAW adalah manusia terbaik, namun beliau
tetap diuji dengan kehilangan yang sangat berat sejak kecil. Ini menjadi
teladan bahwa ujian hidup tidak berarti Allah murka, melainkan justru bisa
menjadi tanda persiapan untuk kedudukan yang lebih tinggi. Ujian bukan
tanda kehinaan, tetapi bisa jadi justru bentuk kasih sayang dan didikan
langsung dari Allah SWT.
Keenam, Peralihan kepada Abu Thalib: Sebuah Rencana
Ilahi. Setelah wafatnya Abdul Muthalib, pengasuhan Nabi berpindah kepada Abu
Thalib, pamannya. Abu Thalib adalah tokoh penting Quraisy dan kepala Bani
Hasyim. Meski tidak masuk Islam, Abu Thalib sangat mencintai dan melindungi
Nabi, bahkan hingga akhir hayatnya. Hikmahnya: Allah “mengatur” agar
Rasulullah berada di bawah asuhan orang yang secara strategis mampu
melindunginya dari ancaman kaum Quraisy ketika masa dakwah tiba.
Wafatnya Abdul Muthalib bukan sekadar peristiwa duka
bagi Nabi Muhammad SAW, melainkan bagian dari rencana besar Allah dalam
membentuk pribadi agung yang akan memikul amanah kenabian. Dari kehilangan itu,
terbit pelajaran tentang keteguhan, tawakal, kasih sayang, dan visi kehidupan
yang tinggi.
Sebagai umatnya, kita diajarkan untuk: (1) Bersabar
dalam menghadapi ujian, (2) Tidak menggantungkan harapan pada manusia semata,
(3) Menjadi pribadi yang peduli terhadap sesama, terutama anak yatim dan kaum
lemah.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1109/26/08/25 : 05.24 WIB)