PAJAK MAKIN BERAGAM, INDIKATOR NEGARA GAGAL



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Sekitar 82,4% pendapatan negara berasal dari pajak (pajak penghasilan, PPN, PBB, dll). Sumber lainnya adalah PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) dan hibah. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan sistem kapitalisme. Sebab pada faktanya hak milik pribadi atas alat produksi dominan, pasar bebas menentukan harga dan produksi dan negara berperan minimal (laissez-faire).

 

Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan pajak per akhir Mei 2025 sebesar Rp683,26 triliun, baru 31,2 dari target. Realisasi ini bahkan turun 10,13% secara tahunan. APBN juga tercatat defisit pada Mei 2025 sebesar Rp 21 triliun atau 0,09% terhadap PDB. Menteri Keuangan mengungkapkan defisit sebesar Rp 21 triliun masih sangat kecil dari target defisit dalam APBN 2025 sebesar Rp 616 triliun.

 

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus menggenjot penerimaan negara dari sektor digital. Salah satu langkah strategis yang tengah disiapkan adalah penyusunan regulasi baru yang akan menjadi landasan hukum pemajakan atas transaksi digital.

 

Ia juga menyoroti empat sektor digital yang dinilai memiliki potensi penerimaan pajak besar namun belum tergarap optimal. Pertama, aset kripto. Meski sudah dikenai PPN dan Pajak Penghasilan (PPh), tingkat kepatuhan investor dinilai masih rendah. Kedua, sektor peer to peer (P2P) lending. Sektor ini telah menyumbang pajak sebesar Rp 3,28 triliun per Maret 2025. 

 

Ketiga, ekonomi gig. Berdasarkan riset IEF, potensi penerimaan dari sektor non-formal ini berkisar antara Rp 28 triliun hingga Rp 75 triliun per tahun jika dikenakan PPh 5% hingga 10%.  Keempat, kecerdasan buatan (AI). Ariawan menilai pemerintah perlu lebih sigap dalam menangkap potensi ini sebagai sumber baru penerimaan negara.

 

Apakah kemiskinan menyebabkan pendapatan pajak rendah?. Benar dalam beberapa konteks. Pertama, basis pajak kecil. Sebagian besar rakyat Indonesia berpenghasilan rendah dan tidak memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak Penghasilan (PPh). Misalnya, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tahun 2025 masih di kisaran Rp54 juta per tahun.

 

Maka yang berpenghasilan di bawah angka ini tidak dikenai PPh. Konsumsi terbatas, PPN rendah. Rakyat miskin membelanjakan pendapatan hanya untuk kebutuhan pokok yang sering bebas PPN (sembako, layanan kesehatan, dll). Sehingga kontribusi mereka terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga kecil. Sektor informal dominan. Sekitar 58% pekerja di Indonesia bekerja di sektor informal (BPS, 2024). Sektor ini sulit dijangkau sistem perpajakan karena: tidak punya NPWP, tidak lapor SPT dan tidak tercatat resmi.

 

Bila kekayaan terkonsentrasi di segelintir orang, dan mereka tidak dikenai pajak progresif secara efektif, maka total penerimaan tetap rendah, meskipun negara "tampak kaya". Ini bukan soal kemiskinan umum, tapi ketimpangan dan ketidakadilan fiskal.

 

Tingginya Pajak, Indikator Negara Gagal

 

Pendapat Ibn Khaldun tentang pajak sangat relevan dalam konteks ekonomi modern, dan ia memberikan analisis yang tajam dalam karya terkenalnya Muqaddimah. Menurut Ibn Khaldun, pajak yang tinggi merupakan tanda kegagalan negara, dan dia juga menawarkan pendekatan berbasis nilai-nilai Islam sebagai solusinya.

 

Pendapat Ibn Khaldun tentang pajak diantaranya adalah bahwa pajak tinggi melemahkan ekonomi. Ibn Khaldun berpendapat bahwa pajak yang tinggi akan menurunkan semangat kerja dan produktivitas rakyat. Ketika rakyat terbebani, mereka akan kehilangan insentif untuk bekerja keras atau berinovasi, sehingga pendapatan negara justru menurun dalam jangka panjang.

 

Masih menurut Ibn Khaldun, bahwa pajak rendah, pendapatan meningkat. Sebaliknya, pajak yang rendah justru mendorong aktivitas ekonomi, memperluas basis pajak, dan akhirnya meningkatkan pendapatan negara secara keseluruhan. Konsep ini serupa dengan teori ekonomi modern seperti Laffer Curve.

 

Laffer Curve (Kurva Laffer) adalah kurva yang menunjukkan bahwa ada titik optimal tarif pajak di mana penerimaan pajak negara paling tinggi. Jika tarif pajak terlalu rendah, penerimaan kecil. Tapi jika terlalu tinggi, rakyat kehilangan insentif untuk bekerja/berinvestasi, dan penerimaan juga turun.

 

Ibn Khaldun menyebut bahwa ketika suatu negara berada dalam masa awal kejayaan, pajak biasanya ringan karena negara cukup makmur. Namun saat negara mengalami kemunduran, pajak akan dinaikkan untuk menutup defisit, yang justru mempercepat kejatuhannya.

 

Keadilan Ekonomi Islam dan Kezaliman Ekonomi Kapitalisme

 

Dalam pandangan Islam, pajak kapitalistik bersifat eksploitatif. Dalam sistem kapitalisme, pajak sering digunakan sebagai alat untuk menutup defisit anggaran, bukan sebagai mekanisme distribusi keadilan. Islam mengecam kebijakan pajak yang memberatkan rakyat, khususnya dari kalangan miskin dan rentan.

 

Dalam sejarah Islam, pungutan pajak yang tidak adil disebut sebagai bentuk kezaliman, bahkan digolongkan sebagai dosa besar (lihat: hadis tentang “al-mukus” – pajak haram). Rasulullah ï·º bersabda: "Tidak akan masuk surga pemungut pajak (al-‘asyir)." (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

 

Tidak ada pajak tetap dalam Islam, inilah kelebihan Islam dibandingkan sistem kapitalisme atau komunisme. Islam tidak menetapkan pajak dalam arti sistematis seperti kapitalisme, yang dikenakan terhadap seluruh individu atau pendapatan secara umum.

 

Sebaliknya, Islam menetapkan instrumen-instrumen fiskal khusus. Pertama, Zakat yang wajib, proporsional, dan hanya untuk Muslim. Kedua, Kharaj, Jizyah yang dikenakan dalam konteks kepemilikan tanah dan non-Muslim dalam negara Islam. ketiga, Usyur, Ghanimah, Fai’ yang bentuk pemasukan dari perdagangan dan sumber daya negara.

 

Islam hanya memperbolehkan “pajak” tambahan (disebut dharibah) dalam keadaan darurat, misalnya perang atau bencana besar, dan harus memenuhi syarat: (1) Hanya dikenakan kepada yang mampu (2) Bersifat sementara (3) Tidak boleh melebihi kebutuhan (4) Tidak menjadi sumber pendapatan utama negara.

 

Pajak kapitalistik bertentangan dengan kepemilikan dalam Islam.  Kapitalisme mengenakan pajak terhadap segala bentuk kekayaan dan transaksi, termasuk yang sudah dibersihkan (misalnya zakat sudah dibayar).

 

Sementara Islam mengatur tiga bentuk kepemilikan. Pertama, kepemilikan individu yakni harta pribadi yang dilindungi dari pungutan semena-mena. Kedua, kepemilikan umum yakni milik bersama, seperti air, listrik, bahan tambang (tidak boleh diprivatisasi). Ketiga, kepemilikan negara, yakni pengelola amanah, bukan pemilik harta.

 

Islam melarang negara mengambil harta dari individu kecuali dengan dalil yang sah dari syariah. Ini menjadikan pemungutan pajak yang bersifat "wajib dan terus-menerus" seperti dalam kapitalisme sebagai tidak syar’i jika tanpa alasan syar’i.

 

Pajak dalam kapitalisme memperkuat sistem riba dan monopoli. Pajak sering dipakai untuk membayar utang negara berbasis bunga (riba) kepada lembaga internasional. Islam melarang riba secara tegas karena merusak keseimbangan ekonomi dan menciptakan ketimpangan struktural. Negara kapitalisme juga sering membebani rakyat dengan pajak sambil memberi insentif pajak ke korporasi besar, ini bertentangan dengan prinsip keadilan distribusi dalam Islam.

 

Distribusi pajak kapitalisme tidak tepat sasaran. Dalam Islam, zakat punya tujuan jelas (8 asnaf) dan tidak boleh digunakan untuk membiayai anggaran umum seperti gaji pegawai negeri. Kapitalisme, sebaliknya, memperlakukan pajak sebagai “dompet besar negara” yang bisa digunakan untuk apapun, termasuk subsidi elite, proyek mercusuar, bahkan bailout bank besar.

 

Dalam Islam, negara tidak boleh membebani rakyat secara tidak adil. Beban pajak harus proporsional dan tidak memberatkan yang diatur secara terperinci, sebagaimana ditulis diatas yang disebut dengan istilah dhoribah.  Ibn Khaldun menekankan pentingnya integritas dan efisiensi aparat negara. Korupsi, pemborosan, dan pengelolaan yang buruk hanya akan menambah beban rakyat.

 

Menurut Ibn Khaldun, negara sebagai fasilitator, bukan pemalak. Negara Islam seharusnya mendukung rakyat dalam berusaha, bukan menjadi beban dengan pajak berlebihan. Negara wajib memberikan jaminan keamanan, infrastruktur, dan keadilan, agar ekonomi bisa tumbuh secara alami.

 

Bagi Ibn Khaldun, tingginya pajak adalah tanda kegagalan administratif dan lemahnya ekonomi negara. Islam, melalui instrumen seperti zakat dan prinsip keadilan sosial, menawarkan pendekatan alternatif yang lebih stabil dan berorientasi pada kesejahteraan umat. Solusi Islam bukan hanya menurunkan pajak, tetapi mengubah cara negara melihat dan melayani rakyatnya.

 

(Ahmad Sastra, 1092/04/08/25 : 09.37 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad