MERDEKA DARI PAJAK



 

Oleh: Ahmad Sastra

 

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana sistem ekonomi Islam memposisikan pajak dalam struktur keuangan negara, serta bagaimana Islam menawarkan solusi alternatif terhadap sistem perpajakan konvensional yang kerap menjerat rakyat kecil. Dengan menelaah konsep zakat, jizyah, kharaj, dan bentuk pungutan lainnya dalam sejarah Islam, tulisan ini menunjukkan bahwa Islam mengedepankan keadilan distributif dan pembebasan beban ekonomi bagi rakyat.

 

Pajak merupakan salah satu instrumen keuangan negara kapitalistik yang bersifat wajib dan dipungut oleh negara dari warganya. Dalam praktiknya, sistem perpajakan modern sering kali menjadi beban berat bagi masyarakat kelas bawah, menciptakan ketimpangan dan menjerat rakyat dalam lingkaran kemiskinan.

 

Pada masa itu, pajak dikenal sebagai upeti, yaitu bentuk persembahan kepada raja sebagai simbol penghormatan. Upeti ini berupa hasil bumi seperti padi, kelapa, ternak, dan barang lainnya. Selain untuk kepentingan raja, sebagian upeti digunakan untuk kebutuhan masyarakat, seperti pembangunan jalan dan saluran air.

 

Sistem upeti mengacu pada kerangka sosio-ekonomi dan politik yang digunakan oleh berbagai peradaban Mesoamerika, di mana negara atau kelompok subordinat membayar barang, tenaga kerja, atau sumber daya kepada kekuatan dominan dengan imbalan perlindungan, peluang perdagangan, dan pengakuan otoritas.

 

Islam, sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh, memiliki sistem tersendiri dalam mengatur keuangan negara yang berorientasi pada keadilan sosial dan kesejahteraan umat. Sistem tersebut tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara, melainkan lebih mengutamakan mekanisme zakat, sedekah, infak, dan hasil pengelolaan sumber daya alam.

 

Dalam sistem Islam, pungutan terhadap rakyat tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Al-Qur'an dan Sunnah menekankan pentingnya keadilan dalam mengambil harta dari masyarakat. Islam mengenal beberapa jenis pungutan, antara lain:

 

Pertama, Zakat. Zakat adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat nisab dan haul. Ini merupakan instrumen utama distribusi kekayaan dalam Islam. Berbeda dengan pajak, zakat bersifat ibadah dan langsung ditujukan untuk delapan golongan mustahik (QS. At-Taubah: 60).

 

Kedua, Jizyah. Jizyah adalah pungutan terhadap non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam. Ia bukan bentuk penindasan, melainkan sebagai bentuk kontribusi atas perlindungan militer yang diberikan negara (Ibn Qudamah, Al-Mughni, 10/394).

 

Ketiga, Kharaj. Kharaj adalah pungutan atas tanah yang ditaklukkan, bukan kepada individu, dan diterapkan secara adil tanpa membebani rakyat (Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj).

Keempat, Pajak Tambahan (Dharibah). Dalam keadaan darurat, ulama membolehkan adanya pajak tambahan, namun ini bersifat temporer dan tidak permanen. Ibn Khaldun menegaskan bahwa pungutan berlebih akan merusak ekonomi rakyat dan menghambat pembangunan (Ibn Khaldun, Muqaddimah).

 

Dalam sejarah Islam klasik, negara memperoleh pendapatan dari sumber-sumber seperti zakat, fai', ghanimah, kharaj, jizyah, dan pengelolaan harta milik negara (baitul mal). Pajak dalam bentuk yang memberatkan rakyat hampir tidak dikenal, karena prinsip keadilan sosial menjadi asas utama.

 

Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah contoh pemimpin yang berhasil menghapus praktik pajak yang menindas dan menggantinya dengan sistem zakat yang efektif. Dalam masa pemerintahannya, dikabarkan bahwa hampir tidak ada lagi orang miskin yang berhak menerima zakat karena pemerataan ekonomi telah tercapai (Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sultaniyyah).

 

Sistem perpajakan modern yang bersifat progresif dan luas seringkali menimbulkan ketimpangan, terutama jika tidak diimbangi dengan transparansi dan efisiensi dalam penggunaan dana publik. Pajak yang tinggi tanpa pengelolaan yang adil menyebabkan penumpukan kekayaan di tangan elite dan memperberat beban masyarakat kelas menengah ke bawah (Thomas Piketty, Capital in the Twenty-First Century, 2014).

 

Dari sudut pandang Islam, hal ini bertentangan dengan prinsip maqasid al-shariah, yaitu menjaga harta dan menjamin keadilan ekonomi.

 

Islam mengedepankan sistem yang membebaskan rakyat dari jeratan ekonomi, termasuk beban pajak berlebih. Strategi keuangan Islam meliputi: (1) Meningkatkan zakat sebagai instrumen utama redistribusi kekayaan. (2) Mengelola sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan oleh negara untuk kepentingan publik (tanpa privatisasi berlebihan).

 

(3) Mendorong infak dan wakaf sebagai bentuk kontribusi sukarela masyarakat. (4) Menetapkan pajak tambahan hanya dalam kondisi darurat dan dengan pengawasan ketat.

Islam menawarkan sistem alternatif terhadap pajak konvensional dengan mengedepankan nilai keadilan dan kesejahteraan rakyat.

 

Dengan zakat dan mekanisme ekonomi Islam lainnya, rakyat dibebaskan dari jerat pajak yang menindas. Sistem ini telah terbukti dalam sejarah dan relevan untuk dijadikan model dalam reformasi sistem perpajakan dan keuangan negara modern.

 

Daftar Pustaka

  • Al-Qur’an Al-Karim
  • Abu Yusuf. Kitab al-Kharaj.
  • Al-Mawardi. Al-Ahkam As-Sultaniyyah.
  • Ibn Qudamah. Al-Mughni.
  • Ibn Khaldun. Muqaddimah.
  • Piketty, Thomas. Capital in the Twenty-First Century. Harvard University Press, 2014.
  • Chapra, M. Umer. Islamic Economics: What It Is and How It Developed. Islamic Research and Training Institute, 2000.
  • Kahf, Monzer. The Islamic Economy: Analytical Study of the Functioning of the Islamic Economic System. 2003

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1094/11/08/25 : 11.38 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.