SISTEM KAPITALISME, PENJAJAHAN GAYA BARU DI INDONESIA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Indonesia sebagai negara dengan kekayaan alam yang melimpah ironisnya masih tergolong sebagai negara berkembang dengan tingkat kemiskinan yang signifikan. Sementara kapitalisme terus dipraktikkan dalam sistem ekonomi-politik nasional, ketimpangan semakin melebar dan penguasaan asing atas sumber daya alam semakin kuat.

 

Neo-imperialisme hari ini tidak datang dalam bentuk kolonialisme bersenjata, tetapi dalam bentuk penguasaan ekonomi oleh kekuatan asing, utang luar negeri, investasi asing langsung (FDI), dan intervensi institusi global seperti IMF dan Bank Dunia. Melalui sistem ini, Indonesia tetap berada dalam cengkeraman kekuatan kapitalis global.

 

Kapitalisme modern memungkinkan korporasi transnasional dan negara adidaya mengontrol negara-negara berkembang melalui: (1) Privatisasi sektor strategis (2) Utang luar negeri dengan syarat liberalisasi ekonomi (3) Penguasaan pasar domestik oleh produk dan modal asing (4) Eksploitasi tenaga kerja murah.

 

Melalui instrumen hukum dan ekonomi, negara berkembang seperti Indonesia kehilangan kedaulatan atas kebijakan ekonomi dan sumber dayanya sendiri. Kebijakan negara banyak diintervensi oleh korporasi dan lembaga multinasional demi stabilitas pasar dan keuntungan kapital.

 

Praktik neo‑kolonialisme dan neo‑imperialisme yang berkembang dalam kerangka sistem kapitalisme neoliberal, berkontribusi terhadap kemiskinan struktural di Indonesia. Sebabnya adalah kelemahan dalam penguasaan sumber daya alam, ketergantungan pada utang luar negeri, serta dominasi modal asing yang melemahkan industri dalam negeri dan memperburuk ketimpangan ekonomi.

 

Indonesia kaya sumber daya alam, tetapi masih menghadapi angka kemiskinan signifikan: pada Maret 2025, sebanyak 8,47 % penduduk atau sekitar 23,85 juta jiwa masih hidup di bawah garis kemiskinan.  Fenomena ini menciptakan pertanyaan kritis: bagaimana negeri dengan kekayaan alam berlimpah gagal mensejahterakan rakyatnya?

 

Kapitalisme modern di Indonesia berwajah neoliberal, ditandai oleh liberalisasi ekonomi, privatisasi BUMN, dan intervensi seragam terhadap mekanisme pasar. Peran negara sebagai pengatur melemah, sementara peran modal, khususnya asing, menjulang.

 

Neo‑kolonialisme melibatkan kontrol terselubung ekononomik tanpa pendudukan langsung: kontrol investasi, utang, dan kebijakan. Dalam konteks Indonesia disebut sebagai "nekolim" (neo‑kolonialisme–imperialisme), di mana negara tetap tergantung secara struktural.

 

Indonesia sangat bergantung pada investasi asing di sektor pertambangan, energi, dan perkebunan. Contohnya: Freeport di Papua, Chevron di Blok Rokan, serta BP di LNG Tangguh, yang dieksploitasi oleh perusahaan luar negeri hingga merugikan rakyat dan lingkungan.

 

Lebih dari 90 % lahan, kekayaan migas, dan mineral dikuasai modal asing. Akibatnya, meski Indonesia kaya SDA, tetap menjadi importir migas, dan industri bernilai tambah domestik terpuruk.

 

Kebijakan seperti PP No. 20/1994 membebaskan perusahaan asing dari kewajiban divestasi, sehingga Indonesia hanya memegang saham tipis di sektor tambang besar: e.g. Freeport hanya sekitar 9,36 %.

 

Indonesia menanggung utang luar negeri triliunan rupiah kepada lembaga yang sering mensyaratkan liberalisasi ekonomi dan privatisasi sebagai imbalannya.  Ini menciptakan tekanan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.

 

Penguasaan SDA oleh kapitalis menyebabkan kemiskinan yang bersifat struktural: akses rakyat terhadap kekayaan alam dibatasi, sementara modal dan keuntungan terkonsentrasi pada segelintir elit.

 

Sejumlah laporan menunjukkan bahwa segelintir orang terkaya mendominasi kekayaan nasional—seperti yang diklaim oleh Oxfam bahwa empat orang terkaya memiliki kekayaan setara dengan 100 juta orang termiskin.  Dominasi kapital membuat jurang kemiskinan dan oligarki semakin melebar.

 

Eksploitasi lahan oleh modal asing dan domestik menyebabkan deforestasi, bencana ekologis, serta konflik agrarian, terutama terhadap masyarakat adat dan petani.

 

Neo‑kolonialisme dan neo‑imperialisme dalam bingkai kapitalisme neoliberal di Indonesia bertumpu pada: (1) Ketergantungan pada modal asing dan utang luar negeri; (2) Penguasaan sumber daya oleh korporat asing yang melemahkan pengelolaan nasional; (3) Kesenjangan akses dan distribusi, memperkuat kemiskinan struktural; (4) Kelemahan regulasi dan korupsi memperparah kerugian sosial dan lingkungan.

Selain itu akibat penjajahan gaya bari sistem kapitalisme di negeri ini adalah : (1) Ketimpangan sosial-ekonomi meningkat tajam; segelintir elit menguasai sebagian besar kekayaan nasional. (2) Eksploitasi sumber daya alam oleh asing mengabaikan keberlanjutan lingkungan dan hak masyarakat lokal. (3) Ketergantungan utang luar negeri menjerat APBN dan membatasi ruang gerak kebijakan. (4) Kemiskinan struktural tetap bertahan meski berbagai program bantuan digulirkan.

 

Solusi memerlukan kedaulatan ekonomi, termasuk reformasi agraria, penguatan regulasi atas SDA, transparansi utang dan pemanfaatan subsidi sosial agar rakyat bisa “berdiri di kaki sendiri” (Berdikari).

 

Indonesia akan terbebas dari penjajahan gaya bari sistem kapitalisme jika mau menerapkan sistem Islam secara kaffah. Sebab Islam adalah agama sekaligus ideologi anti penjajahan. Sistem Islam adalah sistem komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk ekonomi, pemerintahan, politik luar negeri, dan distribusi kekayaan. Islam bukan sekadar agama ritual, tetapi juga sistem peradaban.

 

Dalam Islam, kepemilikan dibagi menjadi: (1) Kepemilikan individu (20 Kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah) seperti tambang, energi, laut, hutan (3) Kepemilikan negara. Sumber daya strategis seperti minyak, gas, tambang, dan hutan tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta (apalagi asing). Ia adalah milik umum yang wajib dikelola negara dan hasilnya untuk rakyat (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi).

 

Negara Islam (Khilafah) berkewajiban menyediakan kebutuhan dasar rakyat: pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Negara bukan fasilitator bisnis, tapi pengurus umat (raa’in) (HR. Al-Bukhari).

 

Islam tidak mengutamakan pertumbuhan ekonomi semata, melainkan distribusi kekayaan. Dalam Islam: (1) Zakat, infaq, shodaqah, dan wakaf diperkuat (2) Riba dilarang keras (QS. Al-Baqarah: 275-279). (3) Pasar diawasi negara agar bebas dari praktik curang (4) Tidak ada pajak kecuali pada kondisi darurat dan terbatas

 

Dalam sistem Islam, negara memiliki politik luar negeri independen, yang berlandaskan dakwah dan jihad, bukan diplomasi kapitalistik. Islam melarang tunduk kepada negara penjajah (QS. Al-Anfal: 60), serta tidak menjalin hubungan yang menjadikan kaum kafir sebagai penentu kebijakan (QS. An-Nisa: 141).

 

 

 

 

Studi Komparatif: Kapitalisme vs Sistem Islam

 

Aspek

Kapitalisme

Sistem Islam

Kepemilikan SDA

Bisa dimiliki korporasi dan asing

Milik umum, dikelola negara

Tujuan Ekonomi

Akumulasi laba, pertumbuhan

Keadilan, distribusi kekayaan

Peran Negara

Regulator, fasilitator pasar

Pengurus umat, pelindung rakyat

Hubungan Luar Negeri

Terbuka untuk investasi asing

Mandiri, independen dari penjajah

Solusi Kemiskinan

Subsidi & bantuan sementara

Distribusi kekayaan, larangan riba, zakat

 

Sistem kapitalisme—dengan wajah neo-imperialisme—telah terbukti menjadikan Indonesia tidak berdaulat secara ekonomi, menciptakan ketimpangan, dan memperdalam kemiskinan struktural. Sistem Islam menawarkan solusi mendasar dan menyeluruh dengan mengatur kepemilikan, distribusi, pengelolaan negara, serta hubungan luar negeri. Oleh karena itu, untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman neo-imperialisme, diperlukan transformasi sistemik menuju sistem Islam kaffah, yang menjamin kedaulatan negara, keadilan sosial, dan kemakmuran rakyat.

 

Referensi

Abdurrahman al-Maliki, Sistem Ekonomi Islam

Abu Dawud dan at-Tirmidzi, Kitab al-Ahkam

API.or.id (2024), “Hentikan Sistem Kapitalisme Neoliberal”

DetikNews (2023), “Neoimperialisme dalam Ekonomi Global”

Idisionline.com, “Ilusi Pengentasan Kemiskinan dalam Kapitalisme

Kompasiana (2025), “Kapitalisme dan Kemiskinan di Negeri Kaya”

Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Iqtishadi fil Islam

TvnyaBuruh.com (2023), “Merdeka dari Neokolonialisme”

Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakat

Al-Qur’an al-Karim

Figur neoliberal dan praktik “VOC baju baru” KOMPASIANA

Gagalnya redistribusi kekayaan padahal kaya SDA; BPS Maret 2025 KOMPASIANA

Kekayaan terkonsentrasi di elit, ketimpangan meningkat KOMPASIANA

Kemiskinan struktural dan penguasaan modal atas SDA Idisi OnlineKBA.ONE

Ketergantungan ekonomi dan modal asing di sektor tambang, migas, perkebunan tvnyaburuh.com

Konsep “nekolim” dan sejarah kritik Sukarno terhadap neokolonialisme Wikipedia

Neoimperialisme melalui undang‑undang dan liberalisasi analisadaily.com

Pertumbuhan eksploitatif, konflik dan deforestasi api.or.idindoprogress.com

Revolusi hijau, hak pengusaha atas tanah rakyat insistpress.com

Statistik luas lahan, kekayaan SDA dikuasai asing api.or.id

Utang luar negeri dan sistem devisa bebas detiknews

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1099/17/08/25 : 05.42 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad