MERDEKA DI ATAS KERTAS, BUKAN DI ATAS BUMI PERTIWI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. (Atas Nama Bangsa Indonesia, Soekarno Hatta)

 

Setiap 17 Agustus, langit dipenuhi warna merah putih, dan suara pekik “merdeka!” menggema di seluruh penjuru negeri. Anak-anak berbaris rapi mengikuti upacara, lagu kebangsaan dinyanyikan penuh semangat, dan bendera dikibarkan tinggi, seolah kemerdekaan benar-benar sudah menjadi milik rakyat dan bumi pertiwi. Namun, pertanyaan yang sulit dihindari adalah: Apakah kemerdekaan itu nyata? Atau hanya sebatas tulisan dalam konstitusi dan slogan yang didengungkan setiap tahun?

 

Kemerdekaan Indonesia sudah berusia lebih dari tujuh dekade, tetapi apakah seluruh rakyat benar-benar menikmati makna dari kemerdekaan itu sendiri? Kemerdekaan seharusnya tidak hanya tercatat dalam naskah proklamasi, tertulis dalam undang-undang, atau dikumandangkan dalam pidato pejabat. Merdeka seharusnya dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan, keadilan, dan hak hidup yang layak.

 

Masih banyak rakyat yang terjepit oleh kemiskinan, harga kebutuhan pokok yang melambung, pendidikan yang mahal, hingga birokrasi yang lamban dan kadang korup. Di pelosok negeri, anak-anak harus berjalan berkilo-kilometer untuk mengejar pendidikan, para petani tetap berkutat dengan harga jual hasil panen yang tidak menentu, dan nelayan terjepit aturan yang tak berpihak. Mereka ini adalah anak bangsa, tetapi mereka belum benar-benar merdeka.

 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2025 adalah sebesar 8,47 persen, atau turun 0,10 persen dibandingkan September 2024 dan 0,56 persen dibandingkan Maret 2024.

 

Perhitungan garis kemiskinan versi Bank Dunia diprediksi meningkatkan angka kemiskinan Indonesia menjadi 194,6 juta jiwa, jauh di atas 24,06 juta jiwa merujuk data September 2024. Standar baru ini mengklasifikasikan jutaan orang ke kelompok miskin, yang tidak dikategorikan miskin jika menggunakan perhitungan pemerintah Indonesia.

 

Sejumlah pakar menyebut standar garis kemiskinan nasional yang dipakai pemerintah Indonesia saat ini "sangat tidak merefleksikan kenyataan" lantaran adanya pergeseran pola konsumsi dan makin beragamnya kebutuhan masyarakat. Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mengategorikan orang miskin jika memiliki pengeluaran di bawah Rp595.242 per kapita per bulan atau sekitar Rp20.000 per hari.

Angka itu, menurut pakar, "sangat miris" sebab meskipun kelompok masyarakat itu masih bisa hidup tapi kemungkinan besar mengandalkan bantuan orang lain atau akhirnya terjerat utang.

 

Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia pada Februari 2025 tercatat sebesar 4,76%. Berdasarkan deret data nasional sejak 1998, angka ini memang merupakan titik terendah dalam 28 tahun terakhir.  Sebagai catatan, tingkat pengangguran nasional untuk semua umur per Februari 2025 adalah 4,76% dari 153,05 juta angkatan kerja atau 7,26 juta.

 

Badan Pusat Statistik sudah menyampaikan ada sekitar 4,16 juta anak tidak sekolah, putus sekolah, belum sekolah. Salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya angka putus sekolah adalah kondisi ekonomi keluarga yang tidak mampu membiayai pendidikan anak. Selain itu, faktor lingkungan, seperti kurangnya akses ke fasilitas pendidikan yang memadai, serta pengaruh pergaulan yang negatif, turut berkontribusi terhadap masalah ini.

 

Mengapa pendidikan Indonesia rendah ?. Dari penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa tantangan dan permasalahan pendidikan di Indonesia, antara lain output pendidikan yang belum berimbang, rendahnya kualitas sarana dan prasarana, rendahnya kualitas dan perilaku guru, rendahnya perilaku moral siswa, serta masih adanya toleransi terhadap intoleransi SARA.

 

Sementara itu disisi lain, narkoba masih menjadi ancaman serius bagi generasi muda, meski perang terhadap narkoba sudah didengungkan oleh seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Data dari BNN (Badan Narkotika Nasional) menunjukkan sebanyak 2,2 juta remaja di Indonesia menjadi pengguna narkoba.

 

Bahkan tingkat kriminalitas dan pembunuhan di negeri ini masih sangat tinggi. Tindak pembunuhan terbanyak terjadi pada 2021 yaitu 1.076 perkara. Di saat itu, pemerintah tengah memberlakukan status pandemi Covid-19 di Indonesia. Namun, pada 2022, jumlah tindak pidana terhadap kasus pembunuhan cenderung menurun menjadi 843 kasus.

 

Statistik kriminal adalah hasil pencatatan aparat penegak hukum (khususnya polisi) berdasarkan laporan korban dan masyarakat pada umumnya.1 Statistik kriminal berbentuk angka-angka yang menunjukkan jumlah kriminalitas yang tercatat, baik pada suatu waktu dan tempat tertentu.

 

Di sisi lain, para pejabat dan pemimpin justru banyak yang menjadi garong dan koruptor, maling uang rakyat. Berdasarkan laporan Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index/CPI) Indonesia pada 2024 mengalami peningkatan, dengan skor naik menjadi 37/100 dari tahun sebelumnya yang berada di angka 34/100. Peningkatan ini juga mengangkat peringkat Indonesia ke posisi 99 dari 180 negara.

 

Sedangkan angka bunuh diri di negeri ini juga cukup tinggi. Data Pusat Informasi Kriminal Nasional Polri yang diolah oleh Kompas, mencatat bahwa sejak 2019-2023 kasus bunuh diri meningkat secara ajek. Tahun 2019 ada 230 kasus; tahun 2020 sebanyak 640 kasus; tahun 2021 sebanyak 620 kasus dan tahun 2022 sebanyak 902 kasus; tahun 2023 sebanyak 1.226 kasus.

 

Bagaimana dengan tanah di bumi pertiwi ini ?. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengungkapkan hampir separuh dari total lahan bersertifikat di Indonesia dikuasai oleh segelintir kelompok.
Nusron sebelumnya menjelaskan dari total 70,4 juta hektare areal penggunaan lain (APL) yang berada di bawah kewenangan ATR/BPN, sebanyak 55,9 juta hektare atau 79,5 persen telah terpetakan dan bersertifikat.

 

Di atas kertas, sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

 

Namun faktanya, ketergantungan Indonesia yang cukup tinggi terhadap negara lain dalam sektor perekonomian serta penguasaan sebagian sumber daya alam di Indonesia oleh asing dianggap sebagai bentuk penjajahan baru. Hal ini membutuhkan perubahan pola pikir pemerintah dan masyarakat agar Indonesia bisa menjadi negara yang mandiri sesuai cita-cita para pendiri bangsa.

  
Tidak dipungkiri bahwa Negara kita memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah dan menurut data Indonesia Mining Asosiation, Indonesia meraih peringkat ke-6 di dunia dengan kategori Negara yang kaya akan sumber daya tambang.  Mulai dari emas, nikel, batu bara, minyak dan gas alam yang sebenarnya bisa menunjang perekonomian masyarakat Indonesia jika dikelolah dengan baik oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.

 

Akan tetapi hampir sebagian besar perusahaan tambang di Indonesia di control oleh Negara asing, sebab adanya kesenjangan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, Teknologi dan pendanaan untuk pemanfaatan SDA tersebut sehingga harus memanfatkan sumber dari luar negeri.

 

Merdeka di atas kertas berarti hak-hak dijamin oleh hukum, tetapi realisasinya nihil. Merdeka di atas bumi pertiwi berarti rakyat bebas dari ketakutan, kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Apa artinya sebuah negara disebut merdeka jika rakyatnya masih harus “berperang” setiap hari untuk sekadar bertahan hidup?

 

Kita tidak bisa terus-menerus terbuai oleh romantisme sejarah tanpa berani menatap realita yang ada. Kemerdekaan bukan sesuatu yang selesai pada 17 Agustus 1945; ia adalah tugas panjang yang harus terus diperjuangkan. Setiap generasi punya tanggung jawab untuk memastikan bahwa kemerdekaan bukan sekadar simbol atau dokumen, tapi sebuah keadaan yang benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat, dari Sabang sampai Merauke.

 

Jadi, mari kita bertanya pada diri sendiri: Apakah kita benar-benar merdeka? Ataukah kita hanya hidup dalam bayang-bayang kemerdekaan yang tertulis, tetapi tidak terasa? Jangan biarkan kemerdekaan hanya hidup di atas kertas. Sudah saatnya ia hadir dan hidup sepenuhnya di atas bumi pertiwi.

 

Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kiprah para ulama dan santri. Mereka tidak hanya menjadi pendakwah, namun juga pelopor dalam revolusi pendidikan, politik, dan pertahanan bangsa. Pesantren menjadi basis penyebaran semangat kebangsaan dan antipenjajahan melalui pendidikan dan dakwah ulama.  

 

Ulama mendirikan pesantren dan madrasah yang menyampaikan pendidikan tidak hanya berupa ajaran agama, tetapi juga ilmu modern dan kesadaran kebangsaan. Contohnya, Muhammadiyah mendirikan madrasah yang menggabungkan ilmu agama dan umum, membentuk kader terdidik dalam perjuangan nasional. Lewat dakwah, semangat persatuan dan nasionalisme ditanamkan pada santri dan masyarakat luas.

 

Salah satu momentum paling ikonik adalah ketika KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, yang menyatakan membela tanah air sebagai kewajiban agama (fardhu ’ain) bagi setiap Muslim. Fatwa ini menjadi pemicu semangat perlawanan dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945, yang kemudian dikenal sebagai momen heroik dalam sejarah Indonesia (Hari Pahlawan).

 

Selain itu, beberapa ulama juga secara langsung terlibat dalam pertempuran atau mendukung laskar perjuangan, seperti KH Zainal Mustafa yang mendirikan pesantren sekaligus mengorganisir perlawanan sampai ia dieksekusi oleh Jepang. Demikian pula, laskar Hizbullah yang dibentuk ulama-santri turut bertempur di Semarang dan Ambarawa.

 

Sesungguhnya semangat melawan penjajahan adalah jihad fi sabilillah. Spirit di belakang semangat para ulama adalah semangat Islam. sebab jihad melawan penjajah adalah perintah Allah. Karena itu kemerdekaan hakiki akan di raih bumi pertiwi adalah saat menegakan Islam secara kaffah. Sebab saat ini kemerdekaan hanya di atas kertas, sementara ideologi kapitalisme sekuler sebagai penjajahan baru di negeri ini.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1100/17/08/25 : 09.30 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad