GURU TAK SEBATAS INSTRUMEN TEKNOKRATIK



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Di era modern yang sangat teknokratis, peran guru sering kali direduksi menjadi sekadar pelaksana kurikulum atau instrumen administratif dalam sistem pendidikan. Guru dinilai berdasarkan kinerja, efisiensi, dan pencapaian indikator akademik. Kerja guru seolah hanya bersifat teknikal semata.

 

Paradigma ini menempatkan guru pada posisi fungsional semata, mengabaikan dimensi filosofis dan spiritual yang melekat pada profesi ini. Padahal, dalam perspektif Islam, guru adalah sosok yang memiliki peran sentral dan multidimensional, jauh melampaui definisi teknis.

 

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, memiliki pandangan mendalam mengenai karakter ideal seorang guru. Bagi beliau, guru bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga pembimbing, pengayom, dan teladan bagi peserta didik.

 

Hal ini tercermin dalam falsafahnya yang terkenal: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” yang berarti, "di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan." Falsafah ini menegaskan bahwa guru harus mampu menjadi pemimpin moral dan inspirasi dalam setiap situasi.

 

Karakter guru yang diajarkan oleh Ki Hajar tidak hanya menekankan aspek intelektual, tetapi juga spiritual dan sosial. Guru ideal menurut beliau harus memiliki keteladanan dalam sikap dan perilaku, mampu menciptakan suasana belajar yang membebaskan dan menyenangkan, serta menumbuhkan rasa cinta tanah air dan kemanusiaan.

 

Dalam pemikiran Ki Hajar, pendidikan adalah proses memerdekakan manusia, dan guru adalah ujung tombaknya. Oleh karena itu, guru perlu memiliki kepekaan sosial, empati, dan komitmen untuk membentuk generasi yang beradab dan merdeka dalam berpikir.

 

Selain itu, Ki Hajar menekankan pentingnya guru sebagai pembelajar sepanjang hayat. Guru tidak boleh berhenti belajar, karena pendidikan adalah dunia yang terus berkembang. Dengan terus belajar, guru dapat menyesuaikan diri dengan zaman tanpa kehilangan nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi pendidikan.

 

Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, guru adalah pilar peradaban yang tidak hanya mendidik secara akademik, tetapi juga membentuk jiwa, karakter, dan budaya bangsa.

 

Lebih mendalam lagi posisi guru dalam pandangan Islam, yakni bahwa guru sebagai pewaris nabi.  Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)

 

Hadis ini menjadi dasar fundamental dalam memaknai posisi guru dalam Islam, khususnya guru yang menyebarkan ilmu yang bermanfaat. Para nabi tidak mewariskan harta, tetapi ilmu yang menjadi cahaya bagi umat manusia.

 

Maka, guru sebagai pengajar ilmu menjadi bagian dari mata rantai pewarisan risalah kenabian. Ini menunjukkan bahwa guru memiliki tanggung jawab moral dan spiritual yang luhur, yaitu membimbing manusia menuju kebenaran dan keselamatan, bukan hanya memberikan keterampilan atau pengetahuan teknis.

 

Islam memandang pendidikan sebagai proses yang menyeluruh, tidak hanya transmisi ilmu pengetahuan (ta’lÄ«m), tetapi juga pembinaan karakter dan penyucian jiwa (tazkiyah). Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur'an: "Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari kalangan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah." (QS. Al-Jumu’ah: 2)

 

Ayat ini menegaskan bahwa pendidikan dalam Islam mencakup pembentukan spiritual dan moral, bukan hanya aspek kognitif. Maka, guru dalam Islam berperan sebagai murabbi—yakni pembina jiwa dan akhlak. Ia tidak hanya mengajar, tetapi juga menanamkan nilai-nilai dan membentuk kepribadian peserta didik secara utuh.

 

Reduksi peran guru menjadi sekadar pelaksana kebijakan teknis adalah bentuk dekonstruksi terhadap makna filosofis profesi guru. Dalam sistem pendidikan yang teknokratik, guru sering dilihat sebagai "alat negara" atau ‘alat lembaga’ yang bertugas melaksanakan program, menyelesaikan silabus, dan mencapai target numerik. Pendekatan ini mengabaikan aspek humanistik dan spiritual dari pendidikan.

 

Filsuf Muslim seperti Al-Ghazali telah lama mengingatkan bahwa kerusakan ilmu dapat terjadi jika pengajarnya kehilangan integritas moral dan spiritual. Dalam karya monumentalnya Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menekankan pentingnya keikhlasan, adab, dan etika dalam proses pendidikan. Tanpa ini, pendidikan hanya akan melahirkan manusia-manusia cerdas tetapi kering secara moral dan spiritual.

 

Dalam Islam, guru dituntut untuk memiliki niat yang ikhlas, yaitu mengajar semata-mata karena Allah. Keikhlasan ini tidak hanya penting secara spiritual, tetapi juga berpengaruh terhadap keberkahan ilmu yang disampaikan. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menuntut ilmu untuk menyaingi ulama, mendebat orang bodoh, atau menarik perhatian manusia, maka tempatnya di neraka." (HR. Tirmidzi)

 

Hadis ini memberi peringatan keras tentang niat yang salah dalam menuntut dan mengajarkan ilmu. Dalam konteks ini, guru dituntut untuk menjadikan proses mengajar sebagai bentuk ibadah dan kontribusi sosial, bukan sekadar pekerjaan rutin.

 

Sejarah Islam mencatat bahwa peradaban besar Islam dibangun di atas fondasi pendidikan dan keilmuan. Ulama sekaligus guru seperti Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Ibnu Sina tidak hanya berperan dalam mentransmisikan ilmu, tetapi juga dalam membentuk cara berpikir dan struktur masyarakat.

 

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan bahwa ilmu adalah dasar dari kemajuan peradaban, dan para pengajar adalah agen utamanya. Dengan demikian, guru dalam Islam bukan hanya pengajar, tetapi juga pembangun peradaban. Ia memiliki posisi strategis dalam membentuk generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bermoral dan berkontribusi terhadap masyarakat.

 

Filosofi guru dalam perspektif Islam mengajak kita untuk melihat profesi ini secara lebih dalam dan luhur. Guru bukan sekadar bagian dari mesin teknokratis pendidikan, tetapi sosok yang memiliki peran profetik, spiritual, dan peradaban. Mengembalikan makna hakiki guru dalam Islam berarti mengembalikan ruh pendidikan itu sendiri, yaitu sebagai proses pembentukan manusia seutuhnya.

 

Ada filosofi yang bagus terkait guru dari pesantren Gontor, dikatakan bahwa metode lebih penting dari materi. Guru lebih penting dari metode. Ruh guru lebin penting dari guru itu sendiri. Ada dimensi esoteris yang melekat dalam diri seorang guru.

 

Itulah mengapa di Gontor juga berlaku falsafah bahwa apa yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh santri adalah pendidikan. Gontor memposisikan pesantren sebagai laboratorium kehidupan bagi para santri dan guru.

 

Sudah saatnya kita melampaui cara pandang administratif dan teknis dalam memaknai profesi guru. Reformasi pendidikan harus dimulai dari perubahan paradigma tentang siapa itu guru dan apa makna hakikinya dalam kehidupan umat, saat ini dan mendatang.

 

Referensi

 

Ahmad Suharto, Menyibak Dimensi Esoteris Gontor

Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya Ulumuddin. Beirut: Dar al-Fikr, 2005.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Depag RI, 2002.

Hadis Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi

Ibn Khaldun. Muqaddimah. Beirut: Dar al-Fikr, 2004.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1137/18/09/25 : 10.50 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.