Oleh : Ahmad Sastra
Tempo.co. Ribuan warga Palestina mulai
meninggalkan Kota Gaza di tengah serangan bom Israel. Serangan itu merupakan
yang paling brutal dalam dua tahun perang antara Israel Hamas.
“Gaza sedang terbakar,” kata Menteri
Pertahanan Israel, Israel Katz, di saluran X yang dilansir dari Al Jazeera.
Barisan mobil van dan gerobak keledai yang sarat dengan perabotan, serta
orang-orang yang berjalan kaki membawa harta benda terakhir mereka. Warga
berjalan di sepanjang Jalan al-Rashid di pesisir pantai dengan latar belakang
asap hitam yang mengepul dari kota yang hancur .
Pada hari Selasa, tentara menewaskan sedikitnya 91
orang di kota itu. Otoritas kesehatan melaporkan bahwa salah satu bomnya
mengenai kendaraan yang membawa orang-orang yang hendak melarikan diri di jalan
pesisir.
Setidaknya 17 bangunan tempat tinggal di kota itu
hancur, termasuk Masjid Aybaki di lingkungan Tuffah di sebelah timur, yang
menjadi sasaran pesawat tempur Israel. Saat bom berjatuhan, tentara Israel
terus menghancurkan area di utara, selatan, dan timur kota dengan robot
bermuatan bahan peledak.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengecam Perdana
Menteri Israel Benjamin Netanyahu atas serangan Israel terhadap tim negosiasi
Hamas di Qatar pekan lalu. "Secara ideologis, Netanyahu seperti kerabat
Hitler," kata Erdogan seperti dikutip dari Anadolu, pada Selasa, 16
September 2025.
"Sama seperti Hitler yang tidak dapat meramalkan
kekalahan yang akan menimpanya, Netanyahu pun akan menghadapi nasib akhir yang
sama," ujar Erdogan saat kembali dari Doha. Ia menghadiri pertemuan puncak
darurat Arab-Islam menyusul serangan udara Israel.
Sementara itu, Presiden Irlandia Michael Higgins
mendesak agar Israel dan negara-negara yang memasok senjata ke negara itu
dikeluarkan dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Pernyataan Higgins pada Selasa seperti dilansir
Anadolu muncul setelah sebuah tim ahli independen yang ditugaskan oleh Dewan
Hak Asasi Manusia PBB menyimpulkan bahwa Israel melakukan genosida di Gaza.
Komisi Penyelidikan Wilayah Palestina yang Diduduki
dan Israel, setelah dua tahun melakukan investigasi terhadap berbagai peristiwa
sejak 7 Oktober 2023, menyimpulkan bahwa otoritas dan pasukan keamanan Israel
telah melakukan "empat dari lima" tindakan genosida yang ditetapkan
dalam Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida.
Belajar dari Sejarah Khilafah Pembebas Palestina
Palestina telah menjadi pusat konflik berkepanjangan
selama lebih dari seabad. Sebagai tanah suci tiga agama besar dunia, Islam,
Kristen, dan Yahudi, wilayah ini sarat akan nilai historis, spiritual, dan
politik. Namun, dari perspektif sejarah Islam, Palestina memiliki makna yang
sangat mendalam, terutama sebagai bagian dari wilayah yang pernah dibebaskan
oleh kekhilafahan Islam.
Dalam konteks perjuangan membebaskan Palestina hari
ini, menarik untuk melihat kembali bagaimana khilafah Islam di masa lalu
berhasil membebaskan dan menjaga tanah suci ini. Apa yang bisa kita pelajari
dari mereka?
Al-Quds (Yerusalem), dengan Masjid Al-Aqsa sebagai
simbolnya, adalah kiblat pertama umat Islam dan merupakan salah satu dari tiga
masjid yang dimuliakan dalam Islam. Palestina memiliki posisi strategis dan
spiritual yang istimewa. Sejak masa Nabi Muhammad SAW, umat Islam telah
diberikan amanah untuk menjaga dan membebaskan wilayah ini dari segala bentuk
penjajahan dan ketidakadilan.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, Kekhalifahan
Rasyidun di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab RA berhasil membebaskan
Yerusalem dari kekuasaan Bizantium pada tahun 638 M. Umar menempuh jalan damai,
tanpa pertumpahan darah, dengan menerima penyerahan kota secara langsung dari
Patriark Sophronius. Hal ini menunjukkan kebijakan Islam yang mengedepankan
keadilan, toleransi, dan perlindungan terhadap tempat ibadah agama lain.
Umar tidak memaksa penduduk untuk masuk Islam, tidak
merusak gereja, dan tidak melakukan eksodus penduduk. Justru, beliau menetapkan
perjanjian yang menjamin keamanan dan kebebasan beragama. Ini menjadi contoh
nyata bagaimana kekuasaan Islam memelihara nilai-nilai kemanusiaan dan hidup
berdampingan.
Berabad-abad kemudian, Palestina kembali jatuh ke
tangan tentara Salib. Setelah lebih dari 80 tahun penjajahan, muncul sosok
fenomenal: Shalahuddin Al-Ayyubi. Di bawah panji Kekhalifahan Abbasiyah,
meskipun secara de facto ia memimpin secara independen di Mesir dan Syam,
Shalahuddin berjuang untuk menyatukan umat Islam yang tercerai-berai karena
konflik internal dan perpecahan dinasti.
Setelah berhasil menyatukan kekuatan Muslim,
Shalahuddin memimpin perang Hattin pada tahun 1187 M dan berhasil merebut
kembali Yerusalem. Yang menarik, seperti Umar, Shalahuddin tidak melakukan
pembantaian terhadap penduduk non-Muslim. Ia memberikan jaminan keselamatan,
bahkan membebaskan banyak tawanan tanpa tebusan.
Perjuangan Shalahuddin menunjukkan bahwa pembebasan
Palestina bukan semata urusan militer, tetapi memerlukan visi, persatuan umat,
dan kepemimpinan yang adil serta strategis.
Pada abad ke-16, Palestina menjadi bagian dari
Kekhilafahan Utsmaniyah yang berbasis di Istanbul. Selama lebih dari 400 tahun,
wilayah ini relatif stabil dan aman dari dominasi kekuatan asing. Khilafah
Utsmaniyah melakukan banyak pembangunan infrastruktur, perbaikan Masjid
Al-Aqsa, dan menetapkan administrasi yang menjaga keberagaman penduduk.
Melihat sejarah ini, ada beberapa pelajaran penting
yang bisa dipetik: Pertama, Persatuan Umat. Pembebasan Palestina selalu
didahului oleh penyatuan kekuatan umat Islam. Baik Umar, Shalahuddin, maupun
Khilafah Utsmaniyah, semuanya berangkat dari semangat kesatuan.
Kedua, Kepemimpinan Visioner. Para pembebas Palestina adalah
pemimpin yang tidak hanya menguasai aspek militer, tapi juga spiritual, moral,
dan intelektual. Mereka menjunjung tinggi keadilan dan rahmat Islam.
Ketiga, Pendekatan Kemanusiaan. Pembebasan bukan
berarti penjajahan baru. Islam menunjukkan bahwa membebaskan wilayah tidak
identik dengan kekerasan membabi buta. Sebaliknya, pembebasan adalah mengakhiri
penindasan dan membangun peradaban.
Keempat, Perjuangan Panjang. Pembebasan Palestina
bukan proses instan. Dibutuhkan konsistensi, kesabaran, dan pengorbanan lintas
generasi.
Mempelajari sejarah khilafah dalam membebaskan
Palestina bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi juga sebagai cermin untuk
masa depan. Dalam situasi saat ini, ketika Palestina terus mengalami penjajahan
dan kekerasan, sejarah memberi kita arah bahwa kebebasan hanya mungkin terwujud
dengan kesatuan, kepemimpinan yang jujur, dan komitmen terhadap nilai-nilai
Islam.
Kita tidak hanya butuh simpati, tetapi juga strategi.
Kita tidak cukup hanya dengan doa, tetapi juga upaya nyata untuk memperkuat solidaritas
umat, menyuarakan keadilan, dan mendukung perjuangan rakyat Palestina melalui
berbagai cara, baik sosial, politik, maupun diplomatik.
Jika umat Islam mampu belajar dari sejarah, bukan
tidak mungkin Palestina akan kembali merdeka dalam kehormatan dan keadilan
yakni dengan menyatukan pemikiran, kesadaran dan wilayah neger-negeri muslim
mewujudkan khilafah Islam.
Sebab dengan berstaunya negeri-negeri muslim, akan
menyatukan seluruh potensi umat Islam sedunia. Ketika khilafah telah tegak,
sebagaimana dalam sejarah, maka dengan jihad fi sabilillah, Israel dan
sekutunya akan dengan mudah dilenyapkan dari bumi Palestina. Dengan demikian
jihad dan khilafah adalah solusi tuntas bagi persoalan Palestina.
Sesunggunya muslim adalah umat yang satu, hal ini
sebagaimana Allah tegaskan dalam firmanNya : Dan sesungguhnya
(agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah
Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. (QS. Al-Mu'minun: 52)
Allah juga telah berjanji dalam firmanNya
: Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan
mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka
berkuasa; dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia
ridhai untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah
mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku
dengan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi siapa yang
(tetap) kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS
An Nur : 55)
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1136/18/09/25 : 05.18
WIB)