Oleh : Ahmad Sastra
Tempo.co. Sedikitnya 13 warga Palestina tewas dan
sejumlah lainnya luka-luka pada Rabu saat serangan tentara Israel menargetkan
sebuah kendaraan yang mengangkut keluarga pengungsi di dekat pintu masuk rumah
sakit Al-Shifa di Kota Gaza bagian barat, demikian diungkapkan sumber medis dan
saksi mata.
Sumber-sumber tersebut seperti dilansir Xinhua dan
dikutip Antara mengatakan sebuah drone Israel menyerang kendaraan itu ketika
keluarga tersebut berusaha mengungsi ke selatan, menewaskan sebagian besar
orang di dalamnya. Para korban luka dan jenazah dibawa ke rumah sakit.
Serangan itu menyusul serangan serupa pada
Selasa, ketika sebuah kendaraan lain yang mengangkut keluarga pengungsi di Kota
Gaza bagian barat diserang, hingga menyebabkan lima orang tewas dan beberapa
lainnya luka-luka setelah mobil tersebut terbakar, ungkap otoritas kesehatan
Gaza.
Untuk hari kedua berturut-turut pada Kamis 18
September 2025, warga Kota Gaza kehilangan akses internet atau telepon rumah
karena serangan Israel melumpuhkan jalur infrastruktur utama. Seperti dilansir
Anadolu, hal ini memperburuk isolasi wilayah kantong tersebut saat genosida
Israel sedang berlangsung.
Otoritas Regulasi Telekomunikasi Palestina
mengonfirmasi bahwa jaringan telepon rumah dan internet terputus di Kota Gaza
dan sebagian wilayah utara pada Rabu setelah kabel dan fasilitas utama rusak. Pemadaman
listrik semacam itu, yang melumpuhkan rumah sakit, tim pertahanan sipil, dan
operasi bantuan kemanusiaan, telah menjadi ciri khas perang Israel di Gaza.
Paham Nasionalisme, Akar Perpecahan Umat Islam di
Dunia
Sejarah nasionalisme bermula dari benua Eropa sekitar
Abad Pertengahan. Gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin
Luther di Jerman disinyalir sebagai pemicu gerakan kebangsaan tersebut dalam
pengertian nation-state.
Saat itu, Luther yang menentang Gereja Katolik Roma
menerjemahkan Kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jerman dengan menggunakan
gaya bahasa yang dapat menumbuhkan rasa kebanggaan sebagai bangsa Jerman.
Nasionalisme yang tumbuh di Jerman kemudian menjalar
dengan cepat di daratan Eropa. Hal itu kemudian menyulut persaingan fanatisme
antarbangsa di Eropa yang masing-masing berusaha mendominasi lainnya.
Pada akhirnya persaingan tersebut melahirkan
penjajahan negara-negara Eropa terhadap negeri-negeri di benua Asia, Afrika dan
Amerika Latin. Karena sejalan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi Eropa pada
masa itu, mereka bersaing untuk mendapatkan bahan baku produksi dari
negeri-negeri lain di luar Eropa.
Di negeri-negeri jajahannya mereka menghembuskan ide
nasionalisme untuk memecah-belah negeri-negeri tersebut. Keterpecahbelahan tetu
makin memudahkan penjajahan mereka (devide et impera).
Kondisi umat Islam saat ini yang terpecah-belah
menjadi 50-an negara merupakan salah satu akibat penjajahan tersebut terhadap
Khilafah Islamiyah yang dikerat-kerat berdasarkan nasionalisme menjadi nation-state.
Benih perpecahan tersebut dimulai sejak imperialis
Barat menginfiltrasikan racun nasionalisme ke dalam tubuh umat Islam melalui
kegiatan kristenisasi dan missi zending. Mereka sebagian besar berasal dari
Amerika, Inggris dan Perancis pada pertengahan abad ke-19 di Suriah dan
Libanon.
Melalui ide-ide nasionalisme itu, kaum misionaris
menyulut sentimen kebencian terhadap negara Khilafah Utsmaniyah, yang mereka
tuding sebagai negara penjajah bagi negeri-negeri di sekitarnya.
Mereka kemudian meniupkan nasionalisme di Arab Saudi,
Mesir, Libanon, Suriah dan sebagainya untuk melakukan perlawanan terhadap
Khilafah Ustmaniyah (Lihat: Abdul Qadim Zallum, Kayfa Hudimat al-Khilâfah,
1990).
Pasca keruntuhan Khilafah, mereka kemudian merancang
payung nasionalisme yang permanen, yaitu Liga Arab. Lembaga ini merupakan
perpanjangan tangan dari nasionalisme Arab yang telah meruntuhkan Khilafah
Utsmaniyah.
Kepentingan utama Barat dalam liga ini adalah sebagai
penopang penyebaran paham nasionalisme di wilayah Timur Tengah untuk mencegah
bangkitnya kembali Khilafah. Pendirian liga ini dilakukan oleh Antonie Adien,
Menlu Brithania, pada 22 Maret 1945 di Kairo. Liga ini beranggotakan Mesir,
Saudi Arabia, Libanon, Suriah, Irak, Yordan dan Yaman.
Upaya negara-negara Barat, khususnya AS dan Eropa,
untuk melemahkan negeri-negeri Islam melalui isu nasionalisme dan separatisme
terus berlangsung hingga hari ini. Apa yang terjadi di Sudan dan Libya
menunjukkan hal tersebut.
Mereka tidak pernah berhenti berupaya
mencerai-beraikan negeri-negeri Islam melalui gerakan separatisme tersebut
dengan kedok penentuan nasib sendiri (right of self determinism) yang
dilegitimasi PBB.
Semua itu menjelaskan satu hal, bahwa ide nasionalisme
dan separatisme di negeri-negeri Islam yang terwujud dalam nation-state merupakan
agenda panjajah. Hal tersebut untuk melemahkan umat Islam dengan cara
memecah-belah dan menjauhkan mereka dari persatuan. Sebab mereka tentu paham
bahwa persatuan umat Islam dan penyatuan wilayah negeri-negeri Islam dapat
menjadi mimpi buruk bagi negara-negara penjajah tersebut.
Genosida Gaza karena Lemahnya Persatuan Umat Islam di
Dunia
Sejak dekade pertama abad ke-21, konflik antara Israel
dan Palestina telah menjadi salah satu tragedi kemanusiaan paling
mengkhawatirkan. Namun, yang terjadi di Gaza dalam beberapa tahun terakhir,
khususnya sejak 2023, telah mencapai skala yang banyak pihak, termasuk lembaga
HAM internasional, sebut sebagai genosida.
Ratusan ribu nyawa, termasuk perempuan dan anak-anak,
melayang. Infrastruktur hancur. Akses terhadap makanan, air bersih, dan layanan
kesehatan hilang. Namun, yang menyedihkan, dunia Islam terlihat lebih banyak
mengecam ketimbang bertindak nyata. Apakah genosida ini terjadi karena lemahnya
persatuan umat Islam di dunia?
Menurut Konvensi Genosida PBB tahun 1948, genosida
adalah tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara
keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras, atau agama.
Dalam konteks Gaza, berbagai laporan dari organisasi
internasional seperti Human Rights Watch dan Amnesty International telah
menuduh Israel melakukan tindakan yang termasuk dalam kategori genosida,
termasuk serangan sistematis terhadap warga sipil, blokade berkepanjangan,
serta penghancuran rumah sakit dan fasilitas vital lainnya.
Namun demikian, dunia Islam, meski terdiri dari lebih
dari 50 negara dengan ratusan juta penduduk, tidak mampu memberikan tekanan
politik, ekonomi, atau militer yang berarti untuk menghentikan agresi ini.
Mengapa?
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang dibentuk untuk
menjadi wadah persatuan negara-negara Islam seringkali hanya menghasilkan
pernyataan sikap dan resolusi tanpa implementasi konkret.
Negara-negara Islam juga memiliki kepentingan politik
dan ekonomi yang saling bertentangan. Sebagai contoh, sebagian negara masih
menjalin hubungan diplomatik, ekonomi, bahkan militer dengan Israel, meskipun
secara moral mengutuk tindakan agresinya di Gaza.
Selain itu, banyak negara Islam saat ini terjebak
dalam konflik internal, baik karena perang saudara, krisis ekonomi, atau
ketegangan politik domestik. Akibatnya, isu Palestina yang dahulu menjadi
simbol perjuangan umat Islam kini kerap hanya menjadi retorika politik tanpa
aksi nyata.
Banyak negara Muslim memiliki sumber daya yang
melimpah, terutama minyak dan gas. Namun, ketergantungan mereka pada sistem
ekonomi global, khususnya negara-negara Barat, membuat mereka berhitung dalam
mengambil sikap tegas terhadap Israel. Misalnya, ancaman sanksi ekonomi,
pembekuan aset, atau tekanan diplomatik dari negara-negara besar kerap membuat
negara-negara Islam memilih jalan "aman".
Persatuan ekonomi dunia Islam, seperti yang diimpikan
dalam wacana “dinar emas” atau pasar bersama Islam, masih sebatas wacana. Tanpa
kekuatan ekonomi kolektif, tekanan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan
seperti di Gaza akan selalu minim.
Meskipun pemerintah negara-negara Islam tampak pasif,
umat Islam sebagai individu dan kelompok masyarakat sipil telah menunjukkan
solidaritasnya. Aksi unjuk rasa, kampanye penggalangan dana, boikot produk
tertentu, hingga advokasi di lembaga internasional telah dilakukan di berbagai
belahan dunia. Namun, gerakan ini seringkali tercerai-berai, tidak
terkoordinasi secara global, dan minim dukungan dari institusi resmi.
Bayangkan jika umat Islam di seluruh dunia mampu
bersatu dalam satu gerakan sosial-politik yang terorganisir, memanfaatkan
kekuatan digital, ekonomi, dan diplomasi rakyat untuk mendesak penghentian
genosida. Sayangnya, hingga hari ini, hal tersebut belum menjadi kenyataan.
Apa yang Bisa Dilakukan?. Pertama, negara-negara Islam
harus berani keluar dari politik simbolik dan mulai membentuk koalisi nyata,
baik dalam bentuk blok diplomatik maupun aliansi ekonomi yang solid. Sanksi
ekonomi terhadap Israel dari negara-negara penghasil minyak bisa menjadi
tekanan yang kuat jika dilakukan secara kolektif.
Kedua, pendidikan dan kesadaran umat harus
ditingkatkan untuk memahami pentingnya solidaritas global. Ini bukan hanya soal
Palestina, tetapi tentang kemanusiaan dan martabat umat Islam secara
keseluruhan.
Ketiga, memperkuat peran organisasi internasional
berbasis Islam seperti OKI, agar tidak hanya menjadi forum diskusi, tetapi juga
memiliki mekanisme aksi nyata, misalnya melalui pengiriman bantuan kemanusiaan
berskala besar, pengadilan kejahatan perang berbasis syariah dan hukum
internasional, serta diplomasi internasional yang sistematis.
Genosida yang terjadi di Gaza bukan hanya akibat
agresi militer Israel semata, tetapi juga karena lemahnya respons kolektif dari
dunia Islam. Ketidakmampuan untuk bersatu, baik secara politik, ekonomi, maupun
sosial, telah membuat penderitaan rakyat Palestina berlangsung dalam waktu yang
lama.
Persatuan umat Islam bukan hanya idealisme, tetapi
kebutuhan mendesak untuk melindungi sesama dan menjaga martabat kemanusiaan. Karena
itu perjuangan politik ideologis untuk segera menyatukan umat Islam dalam
institusi khilafah Islam adalah kewajiban yang mendesak.
Dengan tegaknya khilafah, jangankan genosida, sekedar
menginjakkan kaki di Palestina saja, haram untuk israel. Oleh khilafah, israel
akan diusir dari tanah palestina secara permanen dan selamanya dengan jihad fi
sabilillah.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1138/19/09/25 : 05.30
WIB)