Oleh : Ahmad Sastra
Kabar kenaikan gaji anggota DPR di tengah rakyat yang
makin susah sontak menuai kontroversi dan kritik tajam dari berbagai kalangan. Di
tengah kebijakan efesiensi pemerintah, anggota DPR justru menikmati penghasilan
dan tunjangan luar biasa. Bahkan diberitakan mereka dapat penghasilan Rp 3 juta
perhari.
Para pejabat negara seperti menteri, wakil menteri,
dan komisaris juga mendapatkan penghasilan yang luar biasa. Bahkan komisaris
bisa dapatkan penghasilan miliar rupiah pertahun. Terjadi normalisasi
penghasilan para penguasa dan wakil rakyat. Mereka tidak mau disamakan dengan
masyarakat yang disebut rakyat jelata.
Sungguh ironis, dengan kenaikan gaji, seolah para
pejabat tak memiliki rasa empati atas kondisi masyarakat yang justru semakin
susah. Fenomena ini menunjukkan miskinnya etika dan nurani wakil rakyat dan
para penguasa. Karena kehidupan rakyat hari ini yang berjuang menghadapi kesulitan
hidup, kesulitan mencari lapangan kerja, PHK, kemiskinan, dan kenaikan pajak.
Jabatan Bukan Bancakan
Gemuruh suara bubarkan DPR sontak mengemuka, sebab
rakyat mempertanyakan sejauh mana DPR telah bekerja untuk membela rakyat.
Terlebih saat ada adegan joget-joget di gedung parlemen, sontak suara rakyat
semakin tajam memberikan kritiknya.
Gaji dan tunjangan besar dinilai tidak berkorelasi
dengan kinerja tinggi, buktinya rakyat tak kunjung membaik kehidupannya. Justru
kemiskinan dan pengangguran semakin tinggi. Ironisnya lagi, banyak pejabat yang
justru terlibat tindak pidana korupsi.
Kenaikan gaji anggota DPR menjadi sorotan karena
dianggap tidak sensitif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Saat jutaan
warga masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, para wakil
rakyat justru dinilai lebih mementingkan kenyamanan pribadi ketimbang tanggung
jawab terhadap rakyat yang mereka wakili.
Politik demokrasi memang mahal. Modal yang harus
dikeluarkan untuk berebut kursi DPR sangatlah tinggi. Tidak mengherankan jika
para pejabat berharap mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan dengan
berbagai cara, mumpung menjadi pejabat.
Dari sinilah sering terjadi tindak pidana korupsi
milyaran, bahkan hingga triliunan rupiah. Jabatan dijadikan sebagai bancakan
untuk menumpuk pundi-pundi kekayaan, meskipun dengan cara-cara haram sekalipun.
Demokrasi adalah sistem politik yang tidak mengenal istilah halal dan
haram.
Politik dalam sistem demokrasi juga pada akhirnya tak
lebih dari hanya bagi-bagi kursi kekuasaan. Sistem demokrasi sekuler yang
diterapkan di negeri ini justru semakin menjadikan negeri ini tak kunjung
melahirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat yang konon katanya pemilik
kedaulatan.
Sebaliknya, rakyat semakin merasakan derita dari rezim
ke rezim, sementara para pejabat dan oligarki semakin kaya raya. Sistem
kapitalisme sekuler yang diterapkan di negeri ini menjadikan pejabat makin
berlimpah harta, sementara rakyat bertambah menderita. Sistem politik demokrasi
hanya melahirkan segelintir elit oligarki yang berkuasa atas kekayaan negeri ini.
Oligarki adalah struktur kekuasaan yang
terdiri dari beberapa individu elit, keluarga, atau perusahaan yang diizinkan
untuk mengontrol suatu negara atau organisasi. Melansir Thoughtco,
"Oligarki" berasal dari kata Yunani "oligarkhes", yang
berarti "sedikit yang memerintah". Jadi, oligarki adalah struktur
kekuasaan yang dikendalikan oleh sejumlah kecil orang, yang dapat terkait
dengan kekayaan, ikatan keluarga, bangsawan, kepentingan perusahaan, ekonomi,
politik, atau kekuatan militer.
Robert Mitchel dalam bukunya “Political
Parties, a Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern
Democracy” menyebutkan kemunculan oligarki merupakan konsekuensi dari proses
yang terjadi dalam suatu organisasi, termasuk partai politik. Makin besar
organisasi atau partai politik tersebut, kecendrungan mengarah kepada oligarki
tidak dapat dihindarkan.
Kecendrungan ini disebut Michel sebagai
oligarki demokrasi. Yang pada akhirnya, perselingkuhan antara pengusaha dan
penguasa ini akan melahirkan hukum besi oligarki, dimana kepentingan sekelompok
orang (minoritas), tidak mewakili kepentingan orang banyak (mayoritas).
Berbagai survei menunjukkan bahwa kepercayaan publik
terhadap DPR tergolong rendah. Banyak masyarakat menilai kinerja legislatif
tidak maksimal, terutama dalam fungsi pengawasan dan pembuatan undang-undang.
Beberapa undang-undang kontroversial yang disahkan dengan tergesa-gesa, serta
rendahnya tingkat kehadiran anggota dewan dalam sidang, memperparah persepsi
publik.
Di tengah situasi ini, kenaikan gaji anggota DPR, yang
saat ini telah menerima gaji pokok, tunjangan, dan berbagai fasilitas mewah,
dianggap tidak mencerminkan empati terhadap penderitaan rakyat. Ketimpangan
yang semakin mencolok ini akan sangat berdampak buruk bagi kehidupan
masyarakat. DPR sesungguhnya adalah produk dari demokrasi, maka demokrasilah
sesungguhnya yang telah menjadi sebab utama carut marutnya negeri ini.
Dalam demokrasi, rakyat hanya dibutuhkan suaranya saat
pemilu. Namun setelah mereka menjadi anggota dewan atau menjadi pejabat, rakyat
justru seringkali ditinggal dalam kesendirian mengadu nasibnya. Sementara para
pejabat justru sibuk berebut proyek untuk menumpuk-numpuk kekayaannya. Para
pejabat sibuk memamerkan harta kekayaannya di tengah penderitaan rakyat. Mereka
bergaya hidup mewah di tengah hidup rakyat yang semakin susah.
Membaca Sebab Kehancuran Suatu Negeri
Hidup bermewah-mewah dan bermegah-megah terlarang
dalam Islam, terlebih jika dilakukan oleh para pemimpin dan penguasa. Allah
dengan tegas melarang hidup bermegah-megah dalam firmanNya : Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai
kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat
perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah
begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu
benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan
melihatnya dengan 'ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu
tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS At Takatsur :
1-8).
Di lain ayat, Allah juga telah menegaskan bahwa salah
satu faktor penyebab kehancuran suatu negeri, adalah disaat para pemimpinnya
hidup mewah dan menentang syariat Allah. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh
Allah : Dan jika Kami hendak
membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan
dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan
(ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS Al
Isra’ : 16).
Sistem kapitalisme demokrasi sekuler yang
materialistik dan memisahkan pemerintah dari hukum Allah adalah bentuk nyata
disorientasi negeri ini. Disorientasi politik ini sangat berbahaya karena akan
menjauhkan dari keberkahan dan ridho Allah. Terlebih ketika ajakan dari para
pendakwah agar negeri ini kembali kepada hukum Allah justru ditolak dan menuduh
para penyerunya sebagai kaum radikal dan fundamentalis, maka berarti negeri ini
telah sengaja menjauhi Allah.
Sesungguhnya para nabi dan Rasul diutus Allah untuk
menawarkan sebuah sistem kehidupan Islam yang jika diterapkan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara akan menciptakan kebajikan, kebenaran, keselamatan,
kesejahteraan dan kebahagiaan dunia akherat, yakni sistem Islam.
Sebaliknya, Allah telah memberikan peringatan yang
tegas bagi orang-orang yang mengingkari perintah Allah dalam firmanNya : Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku,
maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS Tha ha : 124).
Dengan demikian, ada empat faktor yang menyebabkan murka Allah terhadap kaum
terdahulu hingga Allah kehancuran dan membinasakan mereka. Pertama, ketidaktaatan pada syariah Allah SWT untuk
diterapkan dalam kehidupan mereka. Kedua, kehidupan para pemimpin dan
pejabat yang bermewah-mewah sementara rakyatnya miskin dan menderita. Ketiga,
terjadinya berbagai bentuk kezaliman penguasa kepada rakyat kecil dengan berbagai
kebijakan yang tidak pro rakyat. Keempat,
mengingkari kebenaran Islam yang didakwahkan oleh para utusan Allah dengan
cara memusuhi dan menghina para Nabi utusan Allah.
Kekuasaan adalah Amanah dan Ketaatan
Dalam pandangan Islam, kekuasaan adalah amanah berat
yang harus dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat, maka tak elok dan tak
layak diperebutkan sebagaimana yang terjadi dalam sistem politik demokrasi. Banyak
contoh ulama terdahulu yang justru menolak saat ditawari jabatan dan kekuasaan,
karena paham akan beratnya tanggungjawab di hadapan Allah. Sebaliknya,
demokrasi sekuler yang memisah, jabatan justru diperebutkan mati-matian.
Hanya dalam Islam para penguasa yang peduli para
rakyat dan berahlak mulia karena menjadikan kekuasaan sebagai amanah dan
wasilah untuk menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan
Allah. Kekuasaan dalam Islam adalah amanah dan ketataan kepada Allah.
Oleh karena itu, adalah suatu kewajiban bagi bangsa
ini untuk menyadari akan seluruh masalah di negeri ini yang disebabkan oleh
penerapan ideologi kapitalisme sekuler. Bangsa ini juga harus yakin dan sadar
bahwa hanya hukum Allah lah yang akan bisa menyelesaikan segala problem
kehidupan rakyat di negeri ini.
Sistem Islam adalah solusi tunggal dan terbaik yang
berasal dari Allah sang maha benar dan adil, bukan sistem sekulerisme dan liberalisme sebagaimana diterapkan di negeri
ini. Saatnya negeri ini keluar dari
hukum buatan manusia dan mengimani
serta bertaqwa kepada semua hukum dan
aturan Allah SWT dengan menerapkan secara kaffah dalam bingkai daulah khilafah.
Hal ini sebagaimana perintah Allah : Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang
nyata bagimu. (QS Al Baqarah : 208).
Sebab hanya dalam bingkai daulah khilafahnya lah,
seluruh hukum Allah bisa diterapkan secara kaffah. Allah berfirman : Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya. (QS Al A’raf : 96).
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1114/01/09/25 : 08.15
WIB)

