REORIENTASI KEPEMIMPINAN BANGSA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Di tengah kompleksitas tantangan zaman, baik krisis moral, ketimpangan sosial, maupun dekadensi nilai, Indonesia sebagai bangsa besar membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga mulia secara moral dan spiritual. Dalam konteks ini, reorientasi kepemimpinan bangsa menjadi keniscayaan. Kepemimpinan yang mulia, berlandaskan nilai-nilai Islam, adalah jalan strategis untuk membawa bangsa ini pada kemajuan yang berkeadilan dan bermartabat.

 

Selama ini, kepemimpinan seringkali dipersempit maknanya menjadi persoalan kekuasaan: siapa yang menang pemilu, siapa yang menguasai parlemen, dan siapa yang duduk di jabatan strategis.

 

Padahal, dalam perspektif Islam, kepemimpinan (imāmah) adalah amanah besar yang sarat tanggung jawab, bukan sekadar jabatan yang harus diperebutkan. Rasulullah SAW pernah bersabda: "Sesungguhnya kalian akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal itu akan menjadi penyesalan pada hari kiamat." (HR. Bukhari)

 

Hadis ini menunjukkan bahwa kepemimpinan bukanlah sesuatu yang ringan. Ia adalah beban yang besar, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Maka dari itu, orientasi kepemimpinan tidak boleh hanya didasarkan pada ambisi politik, tapi harus diarahkan pada nilai kemuliaan dan tanggung jawab moral. Kepemimpinan dalam pandangan Islam adalah amanah berat yang harus dipertanggungjawabkan dunia akhirat.

 

Indonesia pernah mengalami krisis multidimensi: ekonomi yang rapuh, korupsi yang merajalela, dan lemahnya penegakan hukum. Salah satu akar masalahnya adalah krisis kepemimpinan. Banyak pemimpin yang cerdas secara akademik, tetapi lemah dalam integritas dan kejujuran.

 

Banyak yang pandai berbicara di depan publik, namun gagal menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Ada semacam disorientasi dalam kepemimpinan bangsa ini, yakni sekedar bekuasa dan mendapatkan banyak harta. Ini tentu saja berbahaya. Pemimpin yang baik adalah yang mencintai rakyatnya dan rakyatnyapun mencintainya.

 

Rasulullah adalah teladan utama dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam hal memimpin. Dalam banyak riwayat, diceritakan bahwa para sahabat mencintai beliau dengan kecintaan yang luar biasa. Mereka rela berkorban jiwa dan raga demi beliau. Hal ini bukan tanpa sebab. Rasulullah tidak hanya menjadi pemimpin formal, tetapi juga menjadi pelindung, pendidik, dan sahabat bagi umatnya.

 

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda: "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian." (HR. Muslim, no. 1855)

 

Ini menunjukkan bahwa bangsa ini butuh reorientasi kepemimpinan, dari pragmatisme menuju islami. Kepemimpinan yang hanya berorientasi pada kekuasaan, popularitas, dan keuntungan materi tidak akan mampu membawa perubahan hakiki. Sebaliknya, kepemimpinan yang berlandaskan nilai-nilai Islam mampu menjadi kompas moral di tengah badai zaman.

 

Islam menawarkan paradigma kepemimpinan yang sangat kuat dan relevan. Dalam Al-Qur’an dan sunnah, pemimpin digambarkan sebagai ra'in (penggembala) yang bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang pemimpin harus adil, amanah, jujur, dan bertakwa.

 

Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil." (QS. An-Nisa: 58).

 

Adil dalam ayat ini tentu saja hukum-hukum Allah Yang Maha Adil. Konsep ini menuntut pemimpin untuk: (1) Menjadi teladan kebaikan dalam kehidupan pribadi dan publik. (2) Mendahulukan kepentingan rakyat, bukan kelompok atau golongan sendiri. (3) Bersikap adil terhadap semua lapisan masyarakat, tanpa diskriminasi dengan sepenuhnya menerapkan hukum Allah, sebab hanya hukum Allah lah yang adil.  (4) Mengambil keputusan berdasarkan hikmah dan pertimbangan etika, bukan sekadar strategi politik semata.

 

Dalam sejarah Islam, kita bisa melihat teladan kepemimpinan mulia dari para khalifah seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, hingga Umar bin Abdul Aziz. Mereka memimpin bukan karena haus kekuasaan, melainkan karena dorongan tanggung jawab dan keinginan untuk menegakkan keadilan.

 

Reorientasi kepemimpinan bangsa harus dimulai dari dua arah: pendidikan adab pemimpin dan penguatan nilai-nilai spiritual dalam sistem politik. Sejak dini, calon-calon pemimpin bangsa harus dibentuk bukan hanya melalui pendidikan akademik, tetapi juga pembinaan akhlak dan keislaman. Lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat harus bersinergi menanamkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan cinta kebenaran.

 

Kita tidak bisa berharap pada pemimpin mulia jika sistem politik yang ada justru mendorong praktik transaksional, politik uang, dan pragmatisme. Maka, perlu ada reformasi sistemik agar nilai-nilai Islam, seperti keadilan, amanah, dan musyawarah, menjadi roh dalam tata kelola negara. Ideologi Islam harus menjadi landasan konstitusional bagi negara ini.

 

Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin pintar dan populer. Yang dibutuhkan adalah pemimpin yang bermoral tinggi, adil, jujur, dan takut kepada Allah. Kepemimpinan mulia inilah yang akan membawa bangsa menuju masa depan yang gemilang, bukan hanya secara ekonomi dan teknologi, tetapi juga secara spiritual dan sosial.

 

Reorientasi kepemimpinan bangsa menuju kepemimpinan mulia berlandaskan Islam bukanlah utopia. Ia adalah panggilan sejarah dan kebutuhan zaman. Mari kita mulai dari diri sendiri, dari lingkungan terdekat, dan dari pilihan-pilihan kita sebagai warga negara. Karena masa depan bangsa terletak pada siapa yang kita pilih untuk memimpinnya dan ideologi Islam yang kita perjuangkan bersama.

 

Jika Islam diterapkan secara kaffah, maka kepemimpinan Islam akan mewujudkan rakyat negeri ini yang beriman dan bertaqwa. Dari sinilah keberkahan akan diturunkan Allah dari langit dan bumi. Saat keberkahan Allah turun inilah negeri ini akan menjadi negeri yang penuh keadilan, kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, dan kebahagiaan.

 

Hal ini sebagaimana firman Allah : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS Al A’raf : 96)

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1113/01/09/25 : 08.03 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.