PEJABAT YANG TAK PUNYA RASA MALU



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Dalam lanskap politik dan birokrasi Indonesia, fenomena pejabat publik yang kehilangan empati dan rasa malu tampaknya semakin sering kita jumpai. Ironisnya, mereka yang semestinya menjadi teladan moral justru memperlihatkan perilaku yang mencederai akal sehat publik. Dari pernyataan yang menyinggung korban bencana, hingga gaya hidup mewah di tengah krisis ekonomi rakyat, potret pejabat nir-empati dan tak tahu malu ini menjadi gambaran kelam wajah kepemimpinan.

 

Empati adalah kemampuan dasar manusia untuk memahami dan merasakan penderitaan orang lain. Dalam konteks kepemimpinan publik, empati semestinya menjadi fondasi kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: keputusan diambil tanpa mendengar suara rakyat, dan respons atas kritik dibalas dengan arogansi. Pejabat yang hidup dalam gelembung kekuasaan cenderung abai terhadap realitas masyarakat bawah, seolah penderitaan rakyat hanyalah statistik semata.

 

Ketiadaan rasa malu juga menjadi gejala serius. Di tengah sorotan tajam publik dan media, tak sedikit pejabat yang tetap bersikap santai bahkan tertawa di atas penderitaan. Mereka yang terbukti korupsi pun terkadang masih bisa tersenyum di depan kamera, seakan tak merasa bersalah. Padahal, dalam budaya timur yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kehormatan, rasa malu adalah mekanisme kontrol sosial yang penting.

 

Fenomena ini bukan sekadar masalah etika personal, melainkan gejala sistemik. Budaya impunitas, lemahnya penegakan hukum, dan minimnya literasi etika publik menjadi penyubur suburnya mental pejabat semacam ini. Tanpa mekanisme kontrol yang efektif, baik dari masyarakat, lembaga pengawas, maupun media, maka perilaku nir-empati dan kehilangan rasa malu akan terus mereproduksi dirinya.

 

Sudah saatnya masyarakat bersikap kritis dan tidak permisif. Transparansi, partisipasi publik, dan pendidikan karakter harus terus diperkuat. Sebab, jika pejabat tak lagi punya empati dan malu, maka sesungguhnya mereka telah kehilangan legitimasi moral untuk memimpin.

 

Budaya Malu dan Mundur

 

Mundur dari jabatan publik kerap dianggap sebagai bentuk tanggung jawab moral ketika seorang pejabat gagal menjalankan tugas. Di sejumlah negara, budaya malu ini menjadi tradisi politik pemimpin yang tersandung skandal, gagal meraih dukungan, atau kehilangan legitimasi.

 

Pertama, Jepang. Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba mengumumkan pengunduran dirinya pada Ahad, 7 September 2025. Menurut laporan Asahi Shimbun, keputusan itu diambil setelah desakan dari Partai Demokrat Liberal (LDP) yang ia pimpin semakin besar. Ishiba dianggap bertanggung jawab atas kekalahan telak koalisi LDP-Komeito dalam pemilu majelis tinggi Juli lalu, yang gagal meraih mayoritas 248 kursi.

 

Kedua, Inggris. Gelombang pengunduran diri juga melanda Inggris. Menurut laporan NBC News, Deputi Perdana Menteri Angela Rayner mundur pada Jumat, 5 September 2025. Ia mengaku membayar kurang pajak properti sebesar 40 ribu pound saat menjabat sebagai menteri perumahan.

 

Ketiga, Lithuania. Dilansir dari Al Jazeera, Perdana Menteri Lithuania Gintautas Paluckas mengumumkan pengunduran dirinya pada 4 Agustus 2025. “Dengan memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai perdana menteri, saya juga menyatakan pemerintah ke-19 Lithuania mengundurkan diri,” kata dia dalam sidang kabinet.

 

Keempat, Italia. Italia mencatat pengunduran diri Menteri Kebudayaan Gennaro Sangiuliano pada 6 September 2024. Dilansir dari Politico, ia mundur setelah mengakui menjalin hubungan dengan seorang influencer, Maria Rosaria Boccia, yang sempat ia coba rekrut sebagai konsultan kementerian.

 

Kelima, Australia. Menurut laporan ABC News, Menteri Kesehatan Victoria Jenny Mikakos mengundurkan diri pada 26 September 2020. Keputusan itu ia ambil setelah Premier Daniel Andrews menyatakan dirinya bertanggung jawab atas kegagalan program karantina hotel Covid-19 yang dituding menjadi penyebab gelombang kedua infeksi di Victoria.

 

Keenam, Korea Selatan. Di Korea Selatan, tragedi tenggelamnya kapal Sewol pada 16 April 2014 menewaskan lebih dari 300 orang, sebagian besar pelajar. Dilansir dari laporan NBC News, Perdana Menteri Chung Hong-won mengajukan pengunduran diri pada 23 April 2014.

 

Islam Mengajarkan Kepedulian dan Rasa Malu bagi Pemimpin

 

Dalam ajaran Islam, kepemimpinan bukanlah sekadar soal kekuasaan, melainkan amanah besar yang mengandung tanggung jawab moral dan spiritual. Seorang pemimpin tidak hanya dituntut cerdas dan tegas, tetapi juga harus memiliki kepedulian terhadap rakyat serta rasa malu, dua nilai inti yang sangat ditekankan dalam ajaran Islam.

 

Kepedulian dalam Islam tercermin dari banyak contoh kepemimpinan Rasulullah SAW. Beliau dikenal tidak hanya sebagai nabi, tetapi juga pemimpin politik dan sosial yang senantiasa mengutamakan kesejahteraan umat. Dalam berbagai riwayat, Rasulullah selalu menyapa rakyatnya, mendengar keluhan mereka, bahkan turut merasakan penderitaan kaum miskin dan tertindas. Inilah bentuk kepemimpinan yang berempati, mampu hadir secara emosional dan nyata di tengah masyarakat.

 

Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian" (HR. Muslim). Hadis ini menekankan bahwa hubungan antara pemimpin dan rakyat seharusnya dilandasi oleh kasih sayang dan kepedulian timbal balik, bukan jarak dan kekuasaan yang menindas.

 

Sementara itu, rasa malu (al-ḥayā’) juga merupakan nilai luhur yang dijunjung tinggi dalam Islam. Dalam hadis disebutkan, "Malu itu sebagian dari iman" (HR. Bukhari dan Muslim). Rasa malu dalam konteks kepemimpinan berarti adanya kesadaran moral untuk tidak berbuat zalim, tidak korupsi, dan tidak bersikap arogan. Pemimpin yang memiliki rasa malu akan merasa bersalah jika menyakiti rakyatnya atau gagal menunaikan amanah.

 

Sayangnya, dalam realitas saat ini, banyak pemimpin yang kehilangan dua nilai ini. Mereka nyaman hidup mewah di tengah penderitaan rakyat, tidak tersentuh oleh kritik, bahkan tak segan mempertontonkan perilaku tak patut di ruang publik. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat Islam yang menuntut pemimpin bersikap adil, peduli, dan bermoral.

 

Islam telah memberikan fondasi nilai yang kuat bagi kepemimpinan: yaitu kepekaan terhadap penderitaan rakyat dan rasa malu untuk berlaku zalim. Bila dua hal ini benar-benar dihayati dan diamalkan, maka niscaya akan lahir pemimpin yang amanah, adil, dan dicintai oleh umat.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1132/14/09/25 : 05.26 WIB)

 

 

 __________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad