MENJAGA INTEGRITAS ULAMA, JANGAN SAMPAI TERJERAT CINTA DUNIA, BEREBUT JABATAN DAN TAKUT BERJUANG



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Dalam sejarah peradaban Islam, ulama memiliki posisi yang sangat strategis. Mereka bukan hanya sebagai pengajar ilmu agama, tetapi juga sebagai penjaga moral, etika, dan integritas umat. Imam al-Ghazali menyebut ulama sebagai waratsatul anbiya, pewaris para nabi, karena tugas mereka menyampaikan risalah kebenaran dan menegakkan keadilan (al-Ghazali, Ihya Ulumuddin).

 

Namun, di tengah arus zaman yang semakin materialistik, tidak sedikit yang tergelincir ke dalam pusaran harta dan jabatan, melenceng dari fungsi utama mereka sebagai penjaga agama. Lebih ironi lagi jika ada ulama takut menyampaikan kebenaran Islam kepada penguasa, hanya karena takut resiko diperjara atau dibunuh.

 

Kata "ulama" berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak dari "alim" yang berarti orang yang berilmu. Al-Qur’an memuliakan mereka dalam Surah Fatir ayat 28: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.”

 

Ayat ini menegaskan bahwa keilmuan yang sejati akan melahirkan ketakwaan, bukan kesombongan, bukan pula ambisi duniawi. Ulama sejati ialah mereka yang menjadikan ilmunya sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah dan memperbaiki umat, bukan sebagai alat untuk meraih kekuasaan.

 

Bahaya Ketertarikan pada Harta dan Jabatan

 

Fenomena sebagian tokoh agama yang terlibat dalam perburuan harta dan jabatan bukanlah hal baru. Bahkan Rasulullah ï·º telah mengingatkan bahaya hal ini. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Daud, beliau bersabda: “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham... Jika diberi, ia senang; jika tidak, ia marah…” (HR. Abu Daud, no. 2858).

 

Ketika ulama mulai mengaitkan eksistensinya dengan kekuasaan, maka objektivitas dan keberaniannya dalam menyuarakan kebenaran bisa tergadaikan. Ia akan lebih mudah diam terhadap kebatilan atau bahkan mendukungnya, demi mempertahankan kedudukannya di mata penguasa.

 

Ibnu Taimiyah pernah mengingatkan dalam Majmu’ al-Fatawa, bahwa salah satu tanda kehancuran umat adalah ketika ulama berselingkuh dengan penguasa demi kepentingan pribadi.

Ulama Sebagai Pewaris nabi dan  Teladan Umat

 

Dalam masyarakat, ulama bukan hanya sumber fatwa, tetapi juga panutan. Mereka menjadi rujukan akhlak, perilaku, bahkan sikap politik. Ketika ulama bersikap netral dan jujur, umat akan mendapatkan keteladanan yang membentuk masyarakat madani. Namun jika ulama menjadi partisan politik atau pengemis kekuasaan, maka kepercayaan umat pun luntur.

 

Imam Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki, dikenal menolak keras intervensi penguasa dalam urusan fatwa. Ia bahkan mengalami tekanan dan siksaan karena mempertahankan integritasnya. Kisah ini menjadi pelajaran berharga bahwa ulama sejati lebih memilih derita dunia ketimbang menggadaikan kebenaran.

 

Untuk menjaga marwah ulama, ada beberapa hal yang perlu dilakukan: Pertama, Pendidikan Ruhaniyah. Lembaga pendidikan keislaman perlu menanamkan kesadaran bahwa ilmu adalah amanah, bukan alat mencari pengaruh. Spirit zuhud, keikhlasan, dan tanggung jawab sosial harus menjadi bagian utama kurikulum.

 

Kedua, Kritis terhadap Kekuasaan. Ulama harus tetap menjadi penyeimbang kekuasaan, bukan alat kekuasaan. Kritik yang konstruktif dan berlandaskan ilmu harus tetap disuarakan demi menjaga keadilan. Jangan sampai ulama justru merapat ke pintu-pintu istana kekuasaan dengan tujuan mendapatkan harta dan tahta.

 

Ketiga, Membangun Kemandirian Ekonomi. Ulama dan lembaga keagamaan perlu berupaya mandiri secara ekonomi agar tidak tergantung pada elite politik atau penguasa yang bisa memengaruhi sikap dan keputusan mereka. Jika ulama telah terjerat kekuasaan dan harta, maka agamanya bisa terjual dengan harta yang sedikit.

 

Keempat, Menghidupkan Tradisi Ilmu yang Kritis dan Murni. Ulama perlu terus belajar, berdialog, dan bersikap terbuka terhadap berbagai perspektif dalam Islam, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar agama.

 

Kelima, tumbuhkan jiwa pejuang. Ulama adalah para penjaga agama dan menyuarakan kebenaran Islam di tengah berbagai kondisi zaman yang rusak. Ulama adalah manusia istimewa yang terus berjuang menegakkan Islam di tengah sistem sekuler yang menjauhkan Islam dari politik. ulama sejati adalah mereka yang berani memperjuangkan Islam, meski penuh dengan resiko.

 

Bahaya Penyakit Al-Wahn bagi Ulama

Penyakit al-wahn, yang berarti cinta dunia dan takut mati, merupakan ancaman serius bagi integritas ulama. Rasulullah ï·º dalam hadits sahih riwayat Abu Dawud telah memperingatkan bahwa al-wahn adalah sumber kelemahan umat Islam.

 

Ketika penyakit ini menjangkiti ulama yang sejatinya adalah penjaga agama dan moral masyarakat, maka dampaknya jauh lebih besar karena mereka memegang otoritas keagamaan dan menjadi rujukan umat. Ulama yang terjangkit al-wahn akan mulai mengutamakan kenyamanan duniawi di atas prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan yang seharusnya mereka bela.

 

Kecintaan berlebihan pada dunia menjadikan sebagian ulama rentan terhadap kompromi nilai. Mereka mungkin memilih diam terhadap kemungkaran demi mempertahankan jabatan, pengaruh, atau hubungan dengan elit kekuasaan.

 

Padahal, tugas ulama adalah menyeru kepada kebenaran, meski pahit. Ketika rasa takut mati dan kehilangan dunia mengalahkan keberanian moral, ulama akan kehilangan independensinya. Hal ini menjadikan fatwa-fatwa mereka tidak lagi mencerminkan nilai-nilai ilahiyah, melainkan lebih sebagai alat legitimasi kekuasaan atau alat kepentingan kelompok tertentu.

 

Bahaya yang lebih besar adalah kerusakan sistemik kepercayaan umat. Ketika umat menyaksikan ulama yang dulu mereka hormati mulai mengejar dunia dan berkompromi pada kebenaran, maka rasa hormat terhadap ilmu dan agama ikut runtuh. Ini menciptakan krisis otoritas dan ketidakpercayaan terhadap institusi keagamaan.

 

Sejarah mencatat bahwa kemunduran banyak peradaban Islam diawali dari kompromi ulama terhadap penguasa dan kemewahan dunia, yang menyebabkan runtuhnya keteladanan dan moralitas publik (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin).

 

Oleh karena itu, para ulama perlu melakukan muhasabah diri secara berkala agar tidak terjebak dalam jebakan al-wahn. Membangun spiritualitas, memperkuat kemandirian ekonomi, dan menumbuhkan keberanian moral harus menjadi agenda utama pendidikan ulama. Sebab jika ulama kehilangan integritas karena cinta dunia dan takut mati, maka agama akan kehilangan penjaganya, dan umat kehilangan kompas moralnya.

 

Haramnya Suap, Sogokan, dan Gratifikasi dalam Pandangan Islam

 

Penyakit al wahn ini bisa menjerat siapa saya. Jika telah terjangkiti penyakit ini, maka yang haram bisa dihalalkan demi mendapatkan harta dunia. Jika telah mabok dunia, maka praktek suap menyuap demi jabatan bisa terjadi dimana-mana dan menyasar siapa saja.

 

Padahal Islam secara tegas mengharamkan praktik suap-menyuap (risywah), baik dalam bentuk sogokan maupun gratifikasi yang diberikan untuk memperoleh keuntungan atau memutarbalikkan keadilan. Rasulullah ï·º bersabda, “Allah melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara di antara keduanya” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

 

Hadis ini menunjukkan bahwa semua pihak yang terlibat dalam praktik suap berada dalam dosa besar. Hal ini karena suap merusak sistem keadilan, mencederai amanah, dan memicu ketimpangan sosial. Dalam konteks kontemporer, gratifikasi yang diberikan kepada pejabat atau pegawai negeri sebagai “ucapan terima kasih” juga termasuk bentuk suap jika tujuannya memengaruhi keputusan atau kebijakan.

 

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 188).

 

Ayat ini menjadi landasan utama bahwa segala bentuk manipulasi hukum dan keuangan demi kepentingan pribadi adalah perbuatan haram. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk menjauhi praktik suap dan gratifikasi, serta membangun budaya integritas dan keadilan, baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, maupun bernegara.

 

Ulama Sejati Berani Menyampaikan Kebenaran Islam kepada Penguasa

 

Dalam sejarah Islam, ulama sejati dikenal sebagai sosok yang tidak hanya berilmu, tetapi juga berani menyuarakan kebenaran, bahkan di hadapan penguasa zalim. Rasulullah ï·º bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kata-kata kebenaran di hadapan penguasa yang zalim” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi).

 

Hadis ini menegaskan bahwa keberanian moral ulama untuk menegakkan kebenaran di ruang-ruang kekuasaan adalah bentuk tertinggi dari perjuangan di jalan Allah. Keberanian ini tidak lahir dari ambisi, tetapi dari tanggung jawab ilahiyah untuk menjaga agama dan menegakkan keadilan.

 

Banyak ulama klasik menunjukkan sikap ini dengan konsisten, bahkan ketika nyawa mereka terancam. Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, tetap teguh menolak doktrin sesat khalqul Qur’an yang dipaksakan oleh penguasa saat itu, meskipun ia disiksa dan dipenjara.

 

Sikap ini tidak hanya menunjukkan integritas ilmiah, tetapi juga kekuatan iman dan komitmen terhadap kebenaran. Demikian pula dengan Imam Nawawi yang menolak perintah Sultan Baybars untuk mengeluarkan fatwa yang melegitimasi pajak tambahan demi kepentingan politik, karena menurutnya bertentangan dengan syariat. Para ulama ini tidak tunduk pada tekanan kekuasaan, karena mereka hanya takut kepada Allah, bukan kepada manusia.

 

Sikap berani ulama seperti ini sangat dibutuhkan di era modern, ketika banyak kekuasaan cenderung anti-kritik dan menyalahgunakan agama untuk kepentingan politik. Jika ulama justru memilih diam demi kenyamanan atau kedekatan dengan elit, maka suara kebenaran akan menghilang, dan masyarakat akan kehilangan pelita moral. Oleh karena itu, ulama sejati harus senantiasa memegang prinsip: lebih baik kehilangan jabatan atau nyawa, daripada kehilangan kebenaran dan ridha Allah.

 

Ulama adalah benteng terakhir umat dari kehancuran moral dan akidah. Ketika mereka lurus dan teguh, umat akan kuat dan sejahtera. Namun jika mereka tergoda oleh harta dan jabatan, maka kerusakan yang terjadi bisa lebih dahsyat dibandingkan kezaliman penguasa itu sendiri.

 

Rasulullah ï·º bersabda: “Ada dua golongan manusia, jika keduanya baik maka baiklah manusia, jika rusak maka rusaklah manusia, yaitu: pemimpin dan ulama.” (HR. Abu Nu’aim dalam al-Hilyah)

 

Maka, tugas umat bukan hanya menghormati ulama, tapi juga mengingatkan mereka jika mulai tergelincir dari amanahnya. Sebab menjaga ulama berarti menjaga agama, dan menjaga agama adalah tanggung jawab bersama.

 

Menjaga integritas ulama adalah menjaga eksistensi agama ini. Menjaga eksistensi agama ini berarti meneruskan perjuangan Rasulullah. Tegaknya Islam di Madinah dan khilafah berikutnya adalah cara paling strategis agar agama ini terus terjaga dan menebarkan rahmat bagi seluruh alam.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1139/19/09/25 : 10.13 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad