PSIKOLOGI ABNORMAL FLEXING PEJABAT DI TENGAH RAKYAT YANG MELARAT



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Fenomena pejabat yang suka flexing, memamerkan kekayaan, gaya hidup mewah, atau barang-barang prestise menjadi sorotan publik di Indonesia belakangan ini. Ada oknum pejabat yang secara terang-terangan memamerkan deretan mobil mewahnya. Ada juga istri pejabat yang memperlihatkan jam tangan seharga milyaran. Ada pula istri pejabat yang menenteng tas seharga ratusan juga hingga milyar. Gejala apa ini ?

 

Di saat banyak warga menghadapi kesulitan ekonomi, ketimpangan sosial, dan kebutuhan dasar yang belum terpenuhi, kehadiran pejabat yang terang-terangan menunjukkan kemewahan menimbulkan iritasi, kritik moral, hingga perdebatan tentang etika kepemimpinan. Seolah para pejabat flexing sebagai orang yang tak lagi waras, benarkah ?.

 

Secara sederhana, flexing adalah perilaku memamerkan kekayaan atau status (materi/properti) untuk menunjukkan keunggulan diri. Dalam literatur psikologi sosial Indonesia, flexing seringkali terjadi lewat media sosial, ketika seseorang (termasuk pejabat atau keluarganya) mengunggah barang-barang mewah, gaya hidup glamor, atau aktivitas elit kepada publik.

 

Salah satu motif utama flexing adalah pengakuan sosial. Pejabat yang merasakan kebutuhan untuk diakui, dihormati, atau dilihat sebagai orang yang “sukses”, mungkin menggunakan kekayaan sebagai simbol pencapaian. Motif lain termasuk kompensasi atas ketidakamanan (insecurities) dan rendahnya self-esteem. Ketika seseorang tidak merasa cukup dihargai atas tugas atau kemampuannya, mereka bisa “menutup” kekurangan itu dengan tampilan luar kekayaan.

 

Selain itu, posisi kekuasaan memberi fasilitas dan akses ke sumber daya yang lebih besar. Hal ini memungkinkan pejabat memiliki barang-barang mewah atau akses ke gaya hidup istimewa yang bisa dipamerkan. Dalam kasus pejabat, flexing bisa juga dilihat sebagai cara mempertahankan dan memperkuat status, baik di kalangan elite pemerintahan maupun di hadapan publik.

 

Flexing sebagai Perilaku Abnormal

 

Fenomena flexing atau memamerkan kekayaan secara berlebihan telah menjadi bagian dari budaya digital masa kini, terutama di media sosial. Meskipun sering dianggap sebagai ekspresi kebebasan atau pencapaian pribadi, dari sudut pandang psikologi, perilaku ini bisa dikategorikan sebagai bentuk perilaku abnormal apabila dilakukan secara kompulsif dan tidak proporsional dengan konteks sosialnya.

 

Dalam psikologi abnormal, perilaku dianggap menyimpang jika tidak sesuai norma sosial, menyebabkan penderitaan psikologis, atau mengganggu fungsi sosial sehari-hari. Flexing yang terus-menerus dan tanpa empati sosial bisa mencerminkan kebutuhan patologis akan validasi diri dan kontrol.

 

Secara klinis, individu yang menunjukkan perilaku flexing ekstrem dapat menunjukkan gejala gangguan kepribadian narsistik, di mana seseorang memiliki kebutuhan besar untuk dikagumi, namun dengan empati yang rendah terhadap orang lain. Mereka mungkin merasa harga dirinya hanya bernilai jika dikaitkan dengan kepemilikan barang-barang mewah atau status sosial tinggi.

 

Dalam beberapa kasus, perilaku ini juga berkaitan dengan inferiority complex yang disamarkan lewat simbol-simbol kekuasaan dan kekayaan. Artinya, di balik tampilan yang percaya diri, sebenarnya ada ketidakamanan yang mendalam tentang identitas dan nilai diri.

 

Flexing juga bisa dilihat sebagai cerminan tekanan sosial yang merusak, di mana individu merasa harus terus menunjukkan "kesuksesan" untuk mendapatkan pengakuan. Terutama dalam masyarakat yang sangat konsumtif dan kompetitif, citra menjadi lebih penting daripada substansi.

 

Ketika budaya ini diadopsi secara membabi buta, tidak hanya mengganggu kesehatan mental individu, tetapi juga merusak tatanan nilai sosial. Flexing menciptakan ilusi keberhasilan, mendorong masyarakat membandingkan diri secara tidak realistis, yang pada akhirnya bisa menimbulkan kecemasan, iri hati, hingga depresi sosial.

 

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa flexing bukan hanya perilaku yang “tidak sopan” secara sosial, tetapi dalam konteks tertentu juga bisa masuk ke ranah perilaku abnormal.

 

Intervensi psikologis seperti terapi kognitif-perilaku dapat membantu individu yang bergantung pada validasi eksternal untuk membangun kembali rasa harga diri yang sehat. Lebih jauh, pendidikan publik tentang literasi media dan kesehatan mental perlu ditingkatkan agar masyarakat tidak terjebak dalam budaya pamer yang kosong makna.

 

Dampak Psikologis dan Sosial

 

Pertama, Penurunan kepekaan sosial dan etika. Sejumlah psikolog menilai bahwa kebiasaan memamerkan harta dapat membuat pejabat kehilangan kepekaan terhadap penderitaan rakyat. jika terus dilakukan, flexing bisa menjadi semacam kebiasaan yang membuat fokus pejabat lebih kepada citra, pengakuan, dan pencapaian materi, sementara aspek moral dan kepedulian terhadap rakyat termarjinalkan mulai terabaikan.

 

Kedua, Kecanduan pengakuan dan efek berkelanjutan. Flexing bukan hanya soal satu kali pamer, tapi bisa menjadi pola di mana seseorang selalu mencari validasi melalui barang dan tampilan luar. Hal ini terkait dengan dopamine, hormon yang terkait dengan pengakuan dan pencapaian.

 

Kalau satu barang atau satu posting tidak memberi “like” atau perhatian yang cukup, akan muncul dorongan untuk mencari sesuatu yang lebih besar lagi. Ini bisa menjadi spiral psikologis yang membuat seorang pejabat makin jauh dari kesederhanaan atau pelayanan publik yang nyata.

 

Ketiga, Merusak kepercayaan public. Ketika pejabat terlihat jauh dari rakyat dalam hal gaya hidup, kepercayaan publik bisa menurun. Warga bisa merasa bahwa pejabat tidak memahami atau merasakan kesulitan mereka, bahwa ada jarak yang semakin besar antara elite dengan rakyat bawah. Hal ini bisa menimbulkan kemarahan, rasa tidak adil, dan memperparah ketidakstabilan sosial. Flexing bisa dianggap sebagai simbol ketimpangan.

 

Keempat, Dampak internal pada individu pejabat. Pejabat yang flexing mungkin mengalami tekanan psikologis, termasuk kecemasan (“bagaimana kalau orang lain melihat bahwa saya tidak cukup”), situasi di mana identitas diri lebih tergantung pada tampilan daripada substansi pekerjaan, dan kurangnya kepuasan batin yang mendalam. Self-esteem yang dibangun di atas materi bersifat rapuh.

 

Mengapa Hal Ini Terjadi di Tengah Rakyat yang Melarat?

 

Beberapa kondisi sosial, politik, dan budaya memperkuat munculnya flexing pejabat. Pertama, Ketimpangan ekonomi yang nyata. populasi yang hidup dalam kemiskinan atau terbatas aksesnya terhadap layanan dasar membuat perbedaan antara pejabat kaya dan rakyat biasa lebih mencolok.

 

Kedua, Budaya status. kepemilikan barang mewah sebagai simbol status sosial, yang diperkuat oleh media sosial dan budaya konsumerisme.

 

Ketiga, Panggung publik dan politik. pejabat sebagai figur publik seringkali diawasi, dinilai, dan dikritisi berdasarkan apa yang tampak. Flexing bisa menjadi strategi untuk membangun citra, agar dianggap “berhasil” dalam arti materi.

 

Keempat, Kurangnya akuntabilitas atau norma sosial yang menekan perilaku tersebut. apabila masyarakat, media, dan lembaga pengawas tidak secara efektif mengkritik atau merespons, flexing bisa normal dan menyebar.

 

Flexing pejabat di tengah rakyat yang banyak melarat bukan sekadar soal pamer barang mewah, melainkan fenomena psikologis dan sosial yang kompleks. Ia berkaitan dengan kebutuhan pengakuan, identitas diri, tekanan kultural dan politis, serta dinamika ketimpangan sosial. Dampaknya meluas: dari kepercayaan publik yang menurun, hingga internal pejabat sendiri yang bisa kehilangan orientasi moral dan spiritual.

 

Untuk menanggulanginya, dibutuhkan kombinasi antara kesadaran etis individu, norma sosial yang memperkuat nilai-nilai kepemimpinan yang melayani, regulasi yang transparan, serta peran media dan publik yang kritis. Hanya melalui usaha kolektif, performatif glamor bisa dikurangi, dan kepemimpinan yang berlandaskan keadilan dan empati bisa lebih dijunjung.

 

Referensi

 

Lu’luatul Chizanah, “Dosen UGM Beberkan Alasan Orang Berperilaku Flexing”, UGM.

Sani B. Hermawan, Psikolog Universitas Indonesia, dalam laporan “Perilaku ‘flexing’ membuat seseorang tidak berkembang”.

Novi Poespita Candra, Psikolog UGM, dalam artikel tentang flexing pejabat dan kepekaan sosial.

Danti Wulan Manunggal, psikolog dari Ibunda.id, dalam artikel “Buat Apa Pejabat Suka Flexing?”.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1140/19/09/25 : 21.38 WIB)  

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad