PARADOKS PERBAIKAN GIZI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Menyoal Keracunan MBG

 

Kasus keracunan massal yang melibatkan produk makanan dari MBG kini telah menelan lebih dari 7.000 korban di berbagai wilayah. Investigasi awal menunjukkan adanya makanan yang telah basi dan tercemar sejumlah bakteri patogen seperti Salmonella, Escherichia coli, dan Staphylococcus aureus dalam produk yang dikonsumsi korban.

 

Bakteri-bakteri ini dikenal sebagai penyebab utama keracunan makanan dan dapat menimbulkan gejala serius seperti muntah, diare, dehidrasi, hingga komplikasi pada sistem pencernaan, terutama pada anak-anak dan lansia. Kondisi ini mengindikasikan kegagalan dalam rantai distribusi, penyimpanan, serta pengawasan mutu makanan.

 

Masyarakat, pakar kesehatan, dan lembaga konsumen kini ramai menyuarakan kritik terhadap lemahnya pengawasan keamanan pangan, serta mendesak adanya evaluasi menyeluruh terhadap MBG dan sistem distribusinya. Selain tanggung jawab produsen, pemerintah juga didesak untuk memperketat regulasi dan inspeksi terhadap industri makanan siap saji.

 

Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa sistem pengawasan pangan nasional harus diperkuat—tidak hanya reaktif saat insiden terjadi, tetapi juga preventif untuk mencegah jatuhnya korban di masa mendatang. Investigasi lebih lanjut dan transparansi data sangat penting demi mengembalikan kepercayaan publik dan menjamin keselamatan konsumen.

 

Persoalan gizi bukan hanya pelajar, tapi dialami rakyat. Presiden INA (Indonesian Nutrition Association/ Perhimpunan Nutrisi Indonesia) memaparkan 21 juta masyarakat atau setara 7% dari total populasi penduduk Indonesia, kekurangan gizi.

 

Selama ini, persoalan gizi kerap dikaitkan dengan anak sekolah atau pelajar, padahal kenyataannya lebih luas dan kompleks. Presiden Indonesian Nutrition Association (INA), dalam sebuah paparan terbaru, mengungkapkan bahwa sekitar 21 juta masyarakat Indonesia atau sekitar 7% dari total populasi, mengalami kekurangan gizi.

 

Kondisi ini tidak hanya berdampak pada perkembangan fisik dan kognitif individu, tetapi juga memengaruhi produktivitas dan ketahanan ekonomi bangsa. Masalah gizi yang kronis seperti stunting, defisiensi zat besi, dan kekurangan energi protein masih menjadi tantangan besar yang belum terselesaikan secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

 

Fenomena ini menegaskan bahwa isu gizi harus dipahami sebagai persoalan nasional, bukan sektoral. Kelompok dewasa, pekerja, lansia, bahkan ibu hamil turut terdampak, menandakan adanya ketimpangan akses terhadap pangan bergizi dan edukasi nutrisi. Pemerintah, bersama organisasi profesi dan masyarakat sipil, perlu memperluas program intervensi gizi yang bersifat inklusif dan berkelanjutan.

 

Upaya peningkatan kualitas gizi harus berjalan seiring dengan perbaikan sistem distribusi pangan, penguatan ekonomi keluarga, serta peningkatan kesadaran publik terhadap pentingnya konsumsi makanan sehat dan seimbang di seluruh lapisan masyarakat.

 

Tingkat Kelaparan Versi Global Hunger Index

 

Menurut laporan Global Hunger Index (GHI) tahun 2022, Indonesia menempati peringkat ke-77 dari 121 negara yang diteliti, dan diklasifikasikan dalam kategori "kelaparan moderat". Indeks ini mengukur empat indikator utama: kekurangan gizi secara keseluruhan, stunting (kerdil) pada anak-anak, wasting (berat badan rendah terhadap tinggi badan), dan angka kematian anak.

 

Meski Indonesia telah menunjukkan kemajuan dalam menurunkan angka stunting dan meningkatkan ketahanan pangan, data ini menunjukkan bahwa permasalahan kelaparan masih menjadi tantangan serius, terutama di daerah terpencil dan rentan secara ekonomi.

 

Posisi Indonesia dalam GHI mengindikasikan perlunya langkah yang lebih terintegrasi dan menyeluruh dalam mengatasi persoalan kelaparan. Program ketahanan pangan harus diimbangi dengan pemerataan akses terhadap makanan bergizi, penguatan sistem pertanian lokal, serta edukasi gizi berbasis komunitas.

 

Selain itu, penting untuk memperkuat koordinasi lintas sektor—mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga pembangunan desa—guna memastikan setiap warga negara, terutama kelompok rentan seperti anak-anak dan ibu hamil, tidak lagi menghadapi ancaman kelaparan yang berkelanjutan.

 

Di sisi lain, kesehatan masyarakat Indonesia semakin terancam akibat pola makan yang tidak sehat, seperti konsumsi tinggi gula, garam, lemak jenuh, serta rendah serat dan sayuran. Gaya hidup ini telah berkontribusi signifikan terhadap meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular seperti diabetes, gagal ginjal, stroke, hingga penyakit jantung.

 

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan tren penyakit kronis terus meningkat dalam satu dekade terakhir, menandakan pergeseran beban penyakit dari yang sebelumnya dominan infeksius menjadi degeneratif. Kondisi ini menuntut intervensi serius, baik melalui edukasi gizi masyarakat, pengawasan industri pangan, maupun promosi gaya hidup sehat secara nasional.

 

Tiga Persoalan Utama  

 

Kemiskinan, rendahnya pendidikan tentang gizi, dan buruknya sanitasi lingkungan merupakan tiga persoalan besar yang saling terkait dan berdampak langsung terhadap kesehatan serta status gizi masyarakat Indonesia. Kemiskinan membatasi akses keluarga terhadap makanan bergizi dan pelayanan kesehatan, sehingga banyak yang terpaksa mengonsumsi makanan murah namun rendah nilai gizi.

 

Di sisi lain, minimnya pengetahuan tentang pola makan sehat membuat masyarakat tidak mampu mengelola asupan harian secara benar, meskipun bahan makanan tersedia. Hal ini menyebabkan tingginya angka malnutrisi, baik dalam bentuk kekurangan gizi maupun kelebihan gizi yang berdampak pada obesitas dan penyakit tidak menular.

 

Lingkungan yang tidak higienis dan sanitasi yang buruk semakin memperburuk situasi. Akses air bersih yang terbatas, praktik buang air sembarangan, dan penanganan limbah yang tidak memadai meningkatkan risiko penyebaran penyakit infeksi seperti diare, cacingan, dan infeksi saluran pencernaan lainnya, semuanya berdampak langsung pada penyerapan nutrisi dalam tubuh.

 

Masalah-masalah ini tidak bisa diselesaikan secara parsial, melainkan memerlukan pendekatan lintas sektor yang menyentuh aspek ekonomi, pendidikan, dan infrastruktur dasar. Investasi pada perbaikan gizi harus dibarengi dengan pemberdayaan ekonomi keluarga, peningkatan literasi gizi, serta pembangunan sanitasi yang layak dan berkelanjutan.

 

Negara Jangan Pro Oligarki

 

Fakta hari ini menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia bukan semata-mata akibat kurangnya usaha masyarakat, tetapi lebih karena adanya kesenjangan sosial yang semakin melebar dan kebijakan negara yang cenderung berpihak pada kelompok oligarki. Akses terhadap sumber daya ekonomi, lapangan kerja, dan pendidikan masih timpang, sementara regulasi yang seharusnya melindungi rakyat kecil justru sering menguntungkan segelintir elite pemilik modal.

 

Ketimpangan ini menciptakan siklus kemiskinan struktural yang sulit diputus, di mana rakyat kecil tidak memiliki daya tawar dalam sistem ekonomi yang semakin kapitalistik. Ketika negara abai menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan penjamin keadilan sosial, maka jurang antara si kaya dan si miskin akan terus melebar, mengancam stabilitas sosial dan masa depan generasi mendatang.

 

Islam ajarkan pola makan halalan thayyiban

 

Islam tidak hanya mengatur aspek ibadah, tetapi juga memberikan pedoman hidup yang mencakup pola makan yang sehat dan bermartabat. Salah satu prinsip penting dalam ajaran Islam terkait konsumsi makanan adalah konsep halalan thayyiban—yakni makanan yang halal (diperbolehkan secara syariat) dan thayyib (baik, bersih, dan bermanfaat bagi kesehatan).

 

Prinsip ini mengarahkan umat Muslim untuk tidak hanya memastikan kehalalan zat dan proses makanan, tetapi juga memperhatikan kualitas, kebersihan, dan dampaknya bagi tubuh. Dalam konteks kesehatan masyarakat modern, konsep ini sejalan dengan anjuran medis tentang pentingnya gizi seimbang, kebersihan makanan, dan menghindari konsumsi berlebihan yang bisa menyebabkan penyakit seperti obesitas, diabetes, dan jantung.

 

Al-Qur’an menegaskan prinsip ini dalam Surah Al-Baqarah ayat 168: “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, dia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168).

 

Ayat ini menunjukkan bahwa pola makan bukan hanya perkara duniawi, melainkan bagian dari ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, umat Islam didorong untuk lebih selektif dalam memilih makanan yang dikonsumsi, tidak hanya demi memenuhi kebutuhan jasmani, tetapi juga sebagai bentuk penghambaan dan menjaga amanah tubuh yang telah diberikan oleh Allah SWT.

 

Solusi Islam Menjamin Kebutuhan Hidup Warga

 

Islam memandang pemenuhan kebutuhan pangan sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan sosial yang melekat pada setiap individu, terutama kepala rumah tangga. Seorang ayah atau suami wajib memastikan keluarganya mendapatkan makanan yang halal, bergizi, dan cukup untuk kelangsungan hidup.

 

Dalam hadits disebutkan bahwa “Seseorang itu berdosa jika ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Abu Dawud). Prinsip ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 233: "...Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf..." (QS. Al-Baqarah: 233). Islam menekankan pentingnya peran kepala keluarga sebagai penopang utama kesejahteraan, termasuk dalam hal pangan dan gizi.

 

Namun, Islam juga tidak membebankan seluruh tanggung jawab pada individu semata. Negara memiliki kewajiban besar dalam menciptakan sistem yang memungkinkan rakyatnya hidup layak, termasuk dengan menyediakan lapangan pekerjaan dan menjamin kebutuhan pokok warga yang tidak mampu.

 

Dalam Surah Al-Hasyr ayat 7, Allah berfirman: "...supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu..." (QS. Al-Hasyr: 7), yang menekankan pentingnya distribusi kekayaan dan peran negara dalam menjaga keadilan sosial. Oleh karena itu, dalam perspektif Islam, solusi atas kemiskinan dan kelaparan bukan hanya melalui perbaikan individu, tetapi juga kebijakan negara yang berpihak pada kesejahteraan seluruh rakyat.

 

Islam hadir untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia dan alam semesta. Islam hadir untuk menjadi solusi bagi kompleksitas masalah manusia di seluruh dunia. Tak ada masalah yang tak ada solusinya dalam Islam. Sebab Islam datang dari Allah, Tuhan Yang Maha Tahu atas urusan manusia yang diciptakannya. Karena itu saatnya negeri ini menerapkan Islam kaffah, agar persoalan yang makin komplek ini bisa selesai dengan tuntas.

 

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al Maidah : 3)

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 1154/30/09/25 : 08.19 WIB)

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad