Oleh : Ahmad Sastra
Donald Trump
menawarkan rencana 21 poin yang mencakup pembebasan sandera, pemerintahan
transisi Gaza, hingga peluang negara Palestina sebagai jalan mengakhiri perang
di Jalur Gaza.
Presiden Amerika
Serikat Donald Trump pada Senin 29 September 2025
kembali bertemu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih.
Pertemuan ini menjadi kali keempat tahun ini. Kali ini Amerika Serikat membawa
rencana 21 poin terkait rencana perdamaian di Gaza.
Menurut laporan Al Jazeera, Trump menulis di platform Truth
Social pada Ahad, 28 September, bahwa akan ada “keagungan di Timur Tengah” dan
“sesuatu yang istimewa”.
Ia juga
menegaskan sudah saatnya perang di Gaza dihentikan. Sementara itu, Netanyahu
menyatakan Israel sedang bekerja sama dengan Amerika Serikat untuk
merealisasikan rencana tersebut.
Namun, dilansir
dari Ynetnews, Netanyahu belum berkomitmen menerima seluruh isi
proposal tersebut. Rencana yang disebut “day after plan” ini pertama
kali dipresentasikan pada pekan lalu di sela Sidang Umum PBB di New York kepada
sejumlah pemimpin Arab dan Muslim.
Dokumen itu tidak
hanya mencakup pembebasan sandera dan penarikan pasukan Israel, tetapi juga
dorongan agar warga Palestina tetap tinggal di Gaza dan jalur menuju
pembentukan negara Palestina.
Hamas, dalam
pernyataan pada Ahad, 28 September, menyebut belum menerima proposal baru dari
mediator Mesir dan Qatar. Kedua negara tersebut dilaporkan sudah memperoleh
dokumen Trump. Meskipun demikian, Hamas menyatakan siap mempertimbangkan
tawaran baru untuk mengakhiri perang.
Berikut isi lengkap 21
poin rencana AS, sebagaimana dilansir dari Times of
Israel :
1.
Gaza akan menjadi zona tanpa radikalisasi dan bebas
teror yang tidak mengancam negara tetangga.
2.
Gaza akan dibangun kembali demi kesejahteraan
rakyatnya.
3.
Jika Israel dan Hamas menyetujui proposal, perang
segera berakhir. IDF menghentikan operasi dan secara bertahap menarik diri dari
Gaza.
4.
Dalam 48 jam setelah Israel menerima kesepakatan,
seluruh sandera, hidup maupun jenazah, dikembalikan.
5.
Setelah sandera dikembalikan, Israel membebaskan
ratusan tahanan Palestina dengan hukuman seumur hidup, lebih dari 1.000 warga
Gaza yang ditangkap sejak perang, serta menyerahkan jenazah ratusan warga
Palestina.
6.
Setelah sandera dikembalikan, anggota Hamas yang
berkomitmen damai diberi amnesti. Yang ingin meninggalkan Gaza diberi jalur
aman ke negara penerima.
7.
Setelah kesepakatan tercapai, bantuan masuk minimal
600 truk per hari, termasuk rehabilitasi infrastruktur dan peralatan pembersih
puing.
8.
Bantuan didistribusikan tanpa intervensi Israel maupun
Hamas oleh PBB, Bulan Sabit Merah, dan organisasi internasional lain.
9.
Gaza dikelola pemerintahan transisi teknokrat Palestina,
diawasi badan internasional bentukan AS bersama mitra Arab dan Eropa, hingga
reformasi Otoritas Palestina selesai.
10. Rencana ekonomi
disusun untuk membangun Gaza, menarik investasi, dan menciptakan lapangan
kerja.
11. Zona ekonomi dengan
tarif rendah dan akses khusus akan didirikan, dengan kesepakatan antarnegara
peserta.
12. Tidak ada yang
dipaksa meninggalkan Gaza. Mereka yang pergi dapat kembali. Warga didorong
tinggal dan membangun masa depan di sana.
13. Hamas tidak berperan
dalam pemerintahan Gaza. Infrastruktur militer ofensif, termasuk terowongan,
dihancurkan dan dilarang dibangun.
14. Jaminan keamanan
diberikan mitra regional agar Hamas dan faksi lain mematuhi kewajiban, sehingga
Gaza tidak lagi mengancam Israel maupun rakyatnya.
15. AS dan mitra
internasional membentuk pasukan stabilisasi sementara untuk segera dikerahkan
ke Gaza, melatih kepolisian Palestina sebagai badan keamanan jangka panjang.
16. Israel tidak akan
menduduki atau menganeksasi Gaza. IDF secara bertahap menyerahkan wilayah yang
diduduki kepada pasukan stabilisasi internasional.
17. Jika Hamas menolak
atau menunda, poin-poin di atas tetap dilaksanakan di wilayah bebas teror, yang
diserahkan IDF kepada pasukan stabilisasi internasional.
18. Israel sepakat tidak
menyerang Qatar. AS dan komunitas internasional mengakui peran Doha sebagai
mediator penting.
19. Proses deradikalisasi
dibentuk melalui dialog lintas agama untuk mengubah pola pikir dan narasi di
Israel dan Gaza.
20. Jika rekonstruksi
Gaza berjalan dan reformasi Otoritas Palestina selesai, kondisi memungkinkan
terbentuknya jalur menuju negara Palestina
21. AS memfasilitasi
dialog Israel-Palestina untuk menyepakati horizon politik bagi hidup
berdampingan yang damai
Ada beberapa alasan mengapa penulis
menolak proposal Trump untuk perdamaian Gaza, khususnya terkait dengan 21 Point
di atas dengan argumentasi sebagai berikut :
Pertama, Narasi “Deradikalisasi” (Poin 1,
19). Istilah “deradikalisasi” biasanya
dipakai oleh kekuatan dominan untuk melabeli perlawanan sah sebagai
“radikal/ekstrem”. Padahal, menurut hukum internasional (Resolusi PBB
3236/1974), rakyat Palestina berhak melakukan perjuangan bersenjata melawan
pendudukan.
Program deradikalisasi ini berpotensi jadi
rekayasa narasi yang menafikan akar persoalan: kolonialisme Israel. Konsekuensinya
bisa menggeser isu utama (pendudukan, perampasan tanah, apartheid) menjadi
sekadar “masalah radikalisme”.
Kedua, Rekonstruksi Gaza (Poin 2, 10–12,
20). Janji rekonstruksi “untuk kepentingan rakyat” sangat problematis bila: (1)
Dijalankan tanpa kedaulatan penuh Palestina atas tanah dan sumber daya. (2) Dikelola
oleh teknokrat transisi yang ditunjuk asing (Poin 9), berisiko menjadi
protektorat internasional ala Bosnia atau Kosovo.
Konsekuensinya, rekonstruksi bisa berujung
pada normalisasi status quo pendudukan dan mematikan cita-cita kemerdekaan. Poin
20 membuka “jalur negara Palestina” tapi sangat bersyarat dan dikaitkan dengan
“reformasi PA”—potensi delay tactic tanpa jaminan nyata.
Ketiga, Soal Sandera dan Tahanan (Poin
4–6). Ada ketidakseimbangan narasi : (1) Sandera Israel (±200 orang)
diperlakukan sangat utama. (2) Tahanan Palestina (ribuan, banyak tanpa proses
hukum fair trial) baru dibicarakan setelah sandera kembali. Konsekuensinya memperkuat
kesan bahwa nyawa orang Palestina dianggap kurang bernilai.
Keempat, Pemerintahan Transisi (Poin 9,
13). “Teknokrat Palestina” di bawah badan internasional bentukan AS jelas
melemahkan prinsip self-determination. Hamas dihapus total (Poin 13), padahal
mereka adalah bagian dari realitas politik Palestina yang mendapat legitimasi
elektoral pada 2006. Konsekuensinya mengulang kegagalan Oslo—menciptakan
otoritas boneka yang tidak punya legitimasi rakyat.
Kelima, Peran Israel dan IDF (Poin 3,
16–17). IDF hanya “menarik diri secara bertahap”, sementara pasukan
internasional masuk menggantikan. Itu artinya Gaza tetap tidak berdaulat. Israel
tetap diberi posisi superior: bisa menarik diri kapan mau, bisa mendikte
“wilayah bebas teror” (Poin 17). Konsekuensinya Gaza tetap jadi penjara terbuka
dengan pengelola baru, bukan entitas merdeka.
Keenam, Pasukan Internasional (Poin 15,
14). Pasukan stabilisasi internasional bisa berarti pendudukan gaya baru dengan
wajah multinasional. Pengalaman Bosnia, Kosovo, atau Lebanon (UNIFIL)
menunjukkan pasukan internasional sering gagal melindungi rakyat lokal, bahkan
berkolaborasi dengan pihak agresor.
Ketujuh, Peran AS dan Qatar (Poin 18, 21).
AS tetap jadi arsitek utama. Padahal, AS adalah sponsor militer Israel
terbesar, sehingga posisinya tidak netral. Qatar dipuji (Poin 18) mungkin lebih
karena kepentingan diplomasi AS di Teluk daripada kepentingan rakyat Gaza.
Delapan, Dialog dan “Koeksistensi Damai”
(Poin 19, 21). Dialog antaragama baik, tetapi tanpa keadilan struktural, ia
hanya menjadi kosmetik. “Koeksistensi damai” tanpa mengatasi akar masalah
(pendudukan, pemukiman ilegal, hak kembali pengungsi) hanyalah perdamaian semu.
Kesembilan, Jalan Menuju Negara Palestina (Poin
20). Disebut “mungkin tersedia kondisi” bersifat sangat spekulatif, tidak
mengikat. Syaratnya adalah “reformasi PA” dan pembangunan Gaza, bukan pengakuan
atas hak-hak dasar Palestina. Konsekuensinya potensi mengulang janji kosong
Oslo 1993, endless process tanpa hasil.
Kesepuluh, Bias Fundamentalis. Secara
keseluruhan, rencana ini: (1) Mengamankan kepentingan Israel dan AS, bukan
hak-hak rakyat Palestina. (2) Menjadikan Gaza laboratorium rekayasa
politik-ekonomi internasional. (3) Mengabaikan hak kembali (right of return)
jutaan pengungsi Palestina. (30 Tidak menyentuh akar konflik terkait kolonialisme,
apartheid, dan penolakan Israel terhadap negara Palestina berdaulat.
Sebanyak 21 poin ini lebih tepat disebut
sebagai “rencana pacifikasi” Gaza, bukan solusi adil. Ia mencoba menutup luka
dengan perban diplomasi, padahal luka dasarnya adalah pendudukan dan perampasan
hak-hak Palestina. Jika dijalankan, Gaza hanya akan berganti dari penjara
Israel menjadi protektorat internasional.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,
No.1155/02/10/25 : 05.01 WIB)

