Oleh : Ahmad Sastra
Kanada, Australia dan
Inggris secara resmi mengakui negara Palestina. Ketiga negara yang merupakan sekutu dekat Israel dalam
beberapa dekade terakhir ini, berupaya menekan Israel untuk mengakhiri
operasinya di Gaza.
Langkah Kanada,
Australia dan Inggris itu menambah daftar negara yang mengakui Palestina sebagai negara. Dilansir dari NDTV yang mengutip AFP, sedikitnya
145 negara dari 193 anggota PBB telah mengakui negara Palestina.
Beberapa negara lain
termasuk Prancis, Belgia, Luksemburg dan Malta diperkirakan akan ikut mengakui
selama pertemuan puncak sidang tahunan Perserikatan Bangsa-bangsa di New York
yang dimulai Senin, 22 September 2025.
Rusia, bersama semua
negara Arab, hampir semua negara Afrika dan Amerika Latin, serta sebagian besar
negara Asia termasuk India dan China sudah masuk dalam daftar negara yang
mengakui Palestina.
Aljazair menjadi
negara pertama yang secara resmi mengakui negara Palestina pada 15 November
1988, beberapa menit setelah mendiang pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina
(PLO) Yasser Arafat secara sepihak memproklamasikan negara Palestina merdeka.
Selain negara yang
mengakui, ada pula yang tidak mengakui Palestina sebagai negara. Di Asia, tiga
negara yang tidak mengakui Palestina adalah Korea Selatan, Jepang dan
Singapura. Di Afrika, negara yang tidak mengakui adalah Kamerun. Selain itu
Panama di Afrika Latin dan negara-negara di Oseania.
Rusia,
bersama semua negara Arab, hampir semua negara Afrika dan Amerika Latin, serta
sebagian besar negara Asia termasuk India dan China sudah masuk dalam daftar
negara yang mengakui Palestina.
Presiden
RI Prabowo Subianto menyampaikan pidato sambutan dalam forum Konferensi Tingkat
Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (KTT PBB) soal solusi dua negara untuk
Palestina dan Israel. Presiden Prabowo berbicara usai Presiden Turkiye Recep
Tayyip Erdogan dan Presiden Brazil Luis Ignacio Lula Da Silva, Presiden
Portugal Marcel Rebelo de Sousa. Prabowo berbicara soal dukungan Indonesia
terhadap solusi dua negara untuk mengakhiri konflik Israel dan Palestina.
Prabowo juga menyerukan pengakhiran kekerasan di Palestina. Dia mengecam
kekerasan terhadap warga sipil.
Israel adalah Negara Penjajah
Konflik antara Israel
dan Palestina telah berlangsung selama puluhan tahun, menjadi salah satu isu
paling kompleks dan memprihatinkan di dunia. Namun, apa yang terjadi di Gaza
dalam beberapa dekade terakhir memperlihatkan dengan jelas bagaimana Israel
berperan sebagai penjajah yang tidak hanya merampas hak rakyat Palestina,
tetapi juga melakukan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan
kemanusiaan dan pelanggaran berat terhadap hukum internasional.
Istilah “genosida
Gaza” muncul sebagai gambaran nyata kekerasan sistematis yang dialami penduduk
Gaza oleh militer Israel, yang jauh dari sekadar konflik bersenjata biasa. “Genosida
Gaza” merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut rangkaian serangan
militer, pembatasan ekonomi, blokade, dan tindakan kekerasan sistematis yang
dialami oleh rakyat Gaza.
Hal ini, terutama
sejak Israel melakukan blokade pada wilayah ini tahun 2007. Gaza, yang dihuni
sekitar dua juta penduduk, menjadi salah satu wilayah paling padat dan miskin
di dunia akibat isolasi ekonomi dan serangan militer yang berulang.
Serangan-serangan
militer Israel yang sering disebut sebagai operasi “perang” oleh negara itu
sendiri, namun menimbulkan korban sipil dalam jumlah besar, termasuk anak-anak,
perempuan, dan lansia, merupakan inti dari dugaan genocidal acts (tindakan
genosida).
Banyak organisasi
internasional dan pengamat HAM menilai serangan ini bukan hanya konflik
bersenjata biasa, melainkan bagian dari strategi sistematis untuk menghancurkan
komunitas Palestina.
Penjajahan Israel
atas Palestina dimulai sejak pembentukan negara Israel tahun 1948, yang diikuti
dengan pengusiran massal rakyat Palestina dari tanah mereka dalam peristiwa
yang dikenal sebagai Nakba (bencana). Sejak itu, Israel terus memperluas
wilayah pendudukan di Tepi Barat dan Gaza dengan membangun permukiman ilegal
yang melanggar hukum internasional.
Penjajahan ini bukan
hanya soal penguasaan wilayah, tetapi juga pengendalian penuh atas kehidupan
rakyat Palestina, termasuk pembatasan akses terhadap air, listrik, layanan
kesehatan, pendidikan, serta kebebasan bergerak. Blokade Gaza yang diberlakukan
Israel telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah, dengan meningkatnya
kemiskinan, pengangguran, dan kesulitan hidup yang luar biasa.
Berbagai tindakan
Israel terhadap Palestina sudah jelas melanggar sejumlah prinsip dan aturan
hukum internasional. Berikut beberapa aspek utama pelanggaran tersebut:
Pertama, Pelanggaran
Konvensi Jenewa. Konvensi Jenewa IV tahun 1949 mengatur perlindungan warga
sipil dalam wilayah pendudukan militer. Namun, tindakan Israel di Gaza,
termasuk serangan yang menyebabkan korban sipil masif dan penghancuran
infrastruktur vital, jelas bertentangan dengan aturan ini.
Kedua, Blokade
sebagai Bentuk Hukuman Kolektif. Blokade yang diterapkan Israel di Gaza, yang
membatasi masuknya barang kebutuhan pokok dan obat-obatan, dianggap sebagai
bentuk hukuman kolektif yang dilarang oleh hukum humaniter internasional.
Blokade ini menyebabkan krisis kemanusiaan yang berkelanjutan, memperburuk
kondisi hidup jutaan orang tanpa pandang bulu.
Ketiga, Permukiman
Ilegal. Pembentukan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan Tepi Barat dan
Yerusalem Timur dianggap ilegal oleh PBB dan melanggar Resolusi Dewan Keamanan
PBB Nomor 2334. Permukiman ini juga menggerus lahan pertanian dan hak-hak
ekonomi rakyat Palestina.
Keempat, Tindakan
Genosida. Beberapa pengamat dan organisasi HAM internasional menilai
serangan militer Israel di Gaza memenuhi unsur genosida, yaitu upaya sistematis
untuk menghancurkan suatu kelompok berdasarkan identitasnya.
Ini termasuk
pembunuhan massal, pengusiran paksa, serta upaya menghancurkan kondisi hidup
yang memungkinkan kelangsungan hidup komunitas tersebut.
Dampak dari
penjajahan dan serangan militer Israel terhadap rakyat Gaza sangat tragis.
Infrastruktur dasar seperti rumah sakit, sekolah, dan jaringan listrik kerap
menjadi sasaran serangan. Sementara itu, blokade yang berlangsung
bertahun-tahun membuat akses terhadap bahan pangan, obat-obatan, dan kebutuhan
dasar lainnya sangat terbatas.
Anak-anak dan
perempuan menjadi korban utama. Tingkat kemiskinan di Gaza mencapai lebih dari
50%, dan pengangguran sangat tinggi, terutama di kalangan pemuda. Krisis
kesehatan dan psikologis pun meluas, mengancam masa depan generasi penerus
Palestina.
Meskipun sudah banyak
bukti pelanggaran dan desakan dari berbagai negara dan organisasi
internasional, tindakan Israel belum mengalami tekanan hukum dan politik yang
signifikan. Dewan Keamanan PBB kerap mengalami kebuntuan akibat veto dari
negara-negara sekutu Israel seperti Amerika Serikat.
Namun, tekanan dari
masyarakat sipil global terus meningkat. Kampanye boikot, divestasi, dan sanksi
(BDS) terhadap Israel bertujuan mendesak perubahan kebijakan dan mengakhiri
penjajahan. Kesadaran global terhadap penderitaan rakyat Palestina dan
pelanggaran hukum internasional menjadi salah satu harapan untuk keadilan.
Gezosida Gaza adalah
bukti nyata bagaimana Israel berperan sebagai penjajah yang tidak hanya
menguasai wilayah Palestina secara ilegal, tetapi juga melakukan tindakan
kekerasan dan penindasan yang melanggar hukum internasional. Tragedi ini
menegaskan perlunya dunia internasional bertindak tegas untuk menghentikan
pelanggaran dan menjamin hak rakyat Palestina untuk hidup dalam kebebasan dan
martabat.
Penjajahan dan
genosida bukan hanya soal konflik politik, tetapi masalah kemanusiaan yang
membutuhkan solidaritas dan tindakan nyata dari seluruh komunitas global. Hanya
dengan mengakhiri penjajahan dan melaksanakan keadilan internasional,
perdamaian sejati di Timur Tengah bisa terwujud. Logikanya, penjajah itu harus
diusir, bukan diakui. Mengakui eksistensi penjajah adalah bentuk kekalahan
telak.
(Ahmad Sastra, Kota
Hujan, No.1146/23/09/25 : 09.15 WIB)

