Oleh : Ahmad Sastra
Peradaban Islam pernah mencapai puncak
kejayaannya dengan melahirkan ilmuwan, filsuf, dan pemikir besar yang
kontribusinya diakui dunia. Namun, tantangan globalisasi, krisis identitas, dan
dominasi narasi Barat terhadap ilmu pengetahuan telah menyebabkan stagnasi
dalam kebangkitan intelektual Islam.
Dalam konteks ini, diperlukan suatu
pendekatan yang tidak hanya mengakar pada nilai-nilai wahyu, tetapi juga mampu
berdialog dengan realitas zaman. Salah satu pendekatan yang relevan adalah
kerangka Ulul Albab, yang menawarkan paradigma integratif antara wahyu dan
akal, spiritualitas dan rasionalitas, serta ilmu dan amal.
Istilah Ulul Albab dalam Al-Qur’an merujuk
pada orang-orang yang menggunakan akal sehat dan hati nurani untuk memahami
tanda-tanda kebesaran Allah. Mereka adalah sosok yang tidak hanya berpikir
kritis dan reflektif, tetapi juga selalu mengaitkan pengetahuan dengan tanggung
jawab spiritual dan sosial.
Allah menegaskan peran Ulul Albab dalam QS
Ali Imran : 190 – 191 berikut : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,
dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka.
Konsep ini menjadi sangat penting dalam
membentuk watak intelektual Muslim yang tidak sekadar cerdas secara akademik,
tetapi juga memiliki kesadaran moral dan spiritual tinggi. Dalam dunia yang
semakin kompleks, Ulul Albab menjadi sosok ideal dalam membangun kembali
peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Kerangka Ulul Albab dapat dipahami
sebagai suatu pendekatan integratif yang bertumpu pada tiga pilar utama:
Pertama, Integrasi Wahyu dan Akal. Intelektual
Muslim dituntut untuk tidak memisahkan ilmu pengetahuan dari nilai-nilai
ilahiah. Ilmu tidak boleh menjadi entitas yang netral dari etika. Oleh karena
itu, pendekatan Ulul Albab memandang wahyu sebagai sumber inspirasi dan panduan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan, sebagaimana dilakukan oleh tokoh-tokoh
klasik seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Ghazali.
Kedua, Keseimbangan Spiritual dan
Intelektual. Seseorang tidak dapat menjadi Ulul Albab hanya dengan penguasaan
intelektual. Dibutuhkan kedalaman spiritual yang membentuk karakter dan niat dalam
berkarya. Dalam Islam, ilmu harus mendorong seseorang untuk lebih dekat kepada
Allah dan peduli terhadap sesama, bukan sekadar alat akumulasi prestise atau
kekuasaan.
Ketiga, Ilmu untuk Transformasi Sosial. Ilmu
yang tidak menyentuh realitas sosial adalah ilmu yang mandul. Ulul Albab adalah
mereka yang menjadikan pengetahuan sebagai sarana perubahan sosial yang adil
dan berkeadaban. Ini tercermin dari sejarah para intelektual Muslim yang tidak
hanya mengajar, tetapi juga terlibat dalam pembebasan umat dari ketertinggalan
dan ketidakadilan.
Peran Intelektual Muslim dalam Menata Masa
Depan
Intelektual Muslim dewasa ini memiliki
tanggung jawab besar dalam menyusun ulang bangunan peradaban Islam yang
inklusif, adil, dan berorientasi pada kemajuan. Dalam kerangka Ulul Albab,
mereka tidak hanya berfungsi sebagai penghasil ilmu, tetapi juga agen perubahan
yang membimbing masyarakat dengan nilai-nilai keislaman.
Beberapa langkah strategis yang dapat
diambil antara lain: Pertama, Revitalisasi Kurikulum Pendidikan Islam. Mengintegrasikan
nilai-nilai Ulul Albab dalam sistem pendidikan agar menghasilkan generasi
ilmuwan yang berkarakter, berintegritas, dan berjiwa sosial.
Kedua, Penguatan Tradisi Riset Islami. Mendorong
pengembangan ilmu berbasis maqashid syariah dan etika Islam, sekaligus menjawab
tantangan zaman modern seperti krisis lingkungan, kemiskinan, dan disrupsi
teknologi.
Ulul Albab bukan hanya konsep teologis,
tetapi juga kerangka praktis dalam membangun peradaban Islam masa depan.
Melalui pendekatan ini, intelektual Muslim tidak hanya diharapkan menjadi
pemikir, tetapi juga pelaku transformasi yang mampu menjawab tantangan zaman
dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam.
Dengan menghidupkan kembali semangat Ulul
Albab, umat Islam dapat menata ulang arah peradaban yang selama ini cenderung
terfragmentasi. Ini adalah panggilan bagi setiap intelektual Muslim untuk
menanamkan keilmuan yang berlandaskan pada tauhid, dan mengarah pada keadilan,
kemajuan, dan keberkahan bagi seluruh umat manusia.
Referensi
Al-Qur’an, Surah Ali Imran: 190–191.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and
Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.
Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the
Sacred. New York: SUNY Press, 1989.
Ramli, Muhammad. “Ulul Albab sebagai
Konsep Pendidikan dalam Al-Qur’an.” Jurnal Pendidikan Islam, vol. 6, no. 2,
2018.
Hasyim, M. (2021). "Revitalisasi
Peran Intelektual Muslim dalam Era Disrupsi". Jurnal Ilmu Sosial dan
Humaniora, vol. 9, no. 1
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,
No.1147/23/09/25 : 11.49 WIB)

