Oleh : Ahmad Sastra
Salah satu Asta Cita visi pemerintahan
Prabowo Subianto, khususnya Asta Cita ke 4 yaitu "Memperkuat pembangunan
sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi
olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan
penyandang disabilitas.
Staf Ahli Bidang Koordinasi Peningkatan
Sumber Daya Kemaritiman Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan (Kemenko PMK) Budiono Subambang menyampaikan, salah satu program
Quick Wins yang penting untuk mewujudkan Asta Cita ke-4 adalah memberi makanan
bergizi sehat di sekolah dan pesantren serta bantuan gizi untuk balita dan ibu
hamil.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang
dicanangkan presiden terpilih Prabowo Subianto akan dilakukan dua kali dalam
sehari. Hal ini disampaikan Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim
Djojohadikusumo, dalam Diskusi Ekonomi di Menara Kamar Dagang dan Industri
(Kadin) Indonesia, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, 7 Oktober 2024.
Makan Bergizi Gratis untuk Siapa? Menurut
situs Indonesia baik oleh Kominfo dan Perpres 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi
Nasional, ada empat target utama penerima program Makan Bergizi Gratis. Berikut
empat sasaran utama Makan Bergizi Gratis, yaitu : 1) Peserta didik atau pelajar
dari PAUD hingga SMA (negeri dan swasta).
Peserta didik pada jenjang pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah di lingkungan pendidikan
umum, pendidikan kejuruan, pendidikan keagamaan, pendidikan khusus, pendidikan
layanan khusus, dan pendidikan pesantren, 2) Balita atau anak usia di bawah
lima tahun, 3) Ibu hamil, dan 4) Ibu menyusui.
Program MBG bertujuan untuk meningkatkan
kualitas SDM dan mempercepat penurunan stunting. Budiono mewakili Plt. Deputi
Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan
menyatakan "Percepatan penurunan angka stunting ini menjadi salah satu
fokus kita di dalam upaya perbaikan gizi nasional. Karenanya pemerintahan
Presiden RI Prabowo Subianto mengupayakan program makanan bergizi gratis untuk
anak-anak sekolah," ujar Budiono
Kasus Keracunan MBG
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digagas sebagai
upaya negara dalam menjamin kesejahteran gizi anak-anak sekolah di Indonesia.
Ide dasarnya sangat mulia, apabila kebutuhan gizi harian terpenuhi,
produktivitas dan daya belajar generasi penerus dapat meningkat, serta
kesenjangan gizi antardaerah dapat ditekan.
Namun, perjalanan implementasinya ternyata penuh
hambatan, bahkan menghadirkan insiden-insiden keracunan massal yang mengguncang
kepercayaan publik. Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat bahwa hingga 22
September 2025, total korban keracunan diduga terkait program MBG mencapai
4.700 orang. Kasus tersebar di berbagai zona Sumatra, Jawa, dan daerah lain dan
melibatkan porsi menu dari dapur-dapur penyelenggara program.
Beberapa contoh nyata: di Kabupaten Pandeglang,
Banten, pada 19 Februari 2025 sebanyak 28 siswa mengalami mual, muntah, dan
diare setelah menyantap menu MBG. Di Sukoharjo, puluhan pelajar juga mengalami
gangguan pencernaan setelah konsumsi makanan gratis tersebut.
Pemerintah menyebut bahwa insiden ini relatif kecil
dibandingkan dengan jumlah besar penerima manfaat MBG. Presiden Prabowo
menyatakan bahwa dari sekitar 3 juta penerima, hanya sekitar 200 yang
keracunan, atau sekitar 0,005 %. Namun, kritik tajam muncul dari kalangan ahli
dan masyarakat: satu kasus keracunan pun sudah tidak boleh dianggap ringan jika
menyangkut keselamatan anak.
Pakar keamanan pangan menyebut bahwa kegagalan
implementasi sistem keamanan pangan seperti HACCP (Hazard Analysis Critical
Control Points) sering menjadi akar masalah. Kurangnya penegakan standar
sanitasi, pergantian supplier bahan baku tanpa verifikasi, penyimpanan yang buruk,
hingga distribusi yang tidak terkendali, teridentifikasi sebagai penyebab
potensial.
Dapur Milik Anggota Dewan, Kritik terhadap Mekanisme
dan Kepentingan
Dalam perdebatan publik muncul tudingan bahwa beberapa
dapur penyedia MBG dikelola atau dikaitkan dengan pejabat, dewan, atau pihak
berkepentingan, sehingga program murni kesejahteraan bisa berubah menjadi ajang
“bancakan pejabat.”
Tuduhan ini mencuat terutama ketika terdapat kasus
penggelapan dana operasional. Misalnya, di Kalibata, Jakarta Selatan, muncul
laporan dugaan penggelapan dana dapur MBG senilai hampir Rp 1 miliar. DPR
bahkan mendesak BGN agar menyelesaikan kasus-kasus tersebut, termasuk dapur
yang berhenti beroperasi akibat terlambat pembayaran.
Ketika dapur MBG dikontrol atau mendapat keuntungan
langsung dari pejabat atau koneksi politik, risiko konflik kepentingan muncul:
pengadaan bahan baku bisa diarahkan ke pemasok yang tidak kompeten tetapi
“mampu membayar komisi”; pengawasan internal bisa dilonggarkan; dan
akuntabilitas bisa ditutupi. Jika publik atau lembaga audit sulit mengakses
informasi, maka kontrol sosial menjadi lemah.
Dalam konteks “racun bagi rakyat,” ungkapan ini
bermakna ganda: bukan hanya secara literal makanan menjadi penyebab keracunan,
tetapi juga secara politik program kesejahteraan bisa menjadi alat eksploitasi
dan penindasan, menjadikan rakyat sebagai objek dan bukan subjek yang terlibat
aktif dalam pengelolaan. Program yang ideal bisa diselewengkan jika pengawasan
buruk, sehingga hak dasar justru berubah menjadi beban dan risiko.
Faktor Penyebab dan Celah Sistemik
Beberapa faktor
kritis yang memicu kasus keracunan dan penyalahgunaan program MBG antara lain:
Pertama, Standar Keamanan Pangan Lemah. Implementasi standar sanitasi,
pengolahan bahan baku, penyimpanan, transportasi, dan distribusi belum
konsisten. Sistem pengendalian bahaya (HACCP) belum terpasang dengan baik pada
semua dapur MBG.
Kedua, Kurangnya
Transparansi dan Akuntabilitas. Data pengeluaran dapur, supplier, audit
keuangan, dan kontrak sering tidak diungkap ke publik. Kejadian penggelapan di
dapur Kalibata menjadi alarm.
Ketiga, Hubungan
Politik & Kepentingan Ekonomi Lokal. Anggapan bahwa beberapa dapur
“dimiliki” atau dikendalikan oleh anggota dewan atau orang berkoneksi politik
mempersempit ruang kontrol publik dan membuka peluang kolusi.
Keempat, Pengawasan
Terpadu Lemah. Koordinasi antara BGN, dinas kesehatan daerah, BPOM, dan
instansi lokal kurang solid. Inisiatif evaluasi berjalan, tetapi kasus terus
muncul.
Kelima, Tekanan
Kuantitas & Skalabilitas. Upaya memperluas cakupan ke jutaan penerima
secara cepat sering melewati tahap uji coba kapasitas, sehingga dapur baru yang
belum matang langsung dipaksa memproduksi ratusan atau ribuan porsi.
Reformasi agar MBG Tidak Menjadi “Racun”
Agar program MBG kembali dipercaya dan tidak
diselewengkan, beberapa rekomendasi dapat ditempuh: Pertama, Desentralisasi dan
Pelibatan Lokal. Alihkan sebagian pengelolaan ke pemerintah daerah dan
komunitas lokal agar adaptasi terhadap kondisi lokal lebih baik, serta kontrol
langsung masyarakat bisa kuat.
Kedua, Audit Independen & Publikasi Data Terbuka. Audit
rutin oleh lembaga independen dan publikasi audit keuangan dapur, daftar
pemasok, serta catatan produksi harus diwajibkan.
Ketiga, Sertifikasi & Pelatihan Keamanan Pangan. Semua
dapur dan staf harus disertifikasi sesuai standar HACCP dan menjalani pelatihan
rutin.
Keempat, Tahap Uji Coba Bertahap. Untuk dapur-dapur
baru, produksi dimulai dalam skala kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sambil diuji kualitas dan keamanan.
Kelima, Sanksi Tegas atas Penyelewengan. Jika terbukti
penggelapan atau kolusi, pihak-pihak terkait harus dihukum berdasarkan hukum,
tanpa pandang bulu.
Keenam, Mekanisme Pengaduan dan Whistleblower
Protection. Masyarakat, guru, orang tua, atau staf dapur harus punya saluran
aman melapor jika ada indikasi pelanggaran.
Program MBG merupakan inisiatif sosial penting dan
strategis dalam upaya pemenuhan hak dasar anak atas gizi. Namun ketika pelaksanaannya
tidak disertai kontrol yang ketat—baik teknis pangan, transparansi keuangan,
maupun integritas pengelola, program bisa berubah dari “berkah” menjadi “racun”
bagi rakyat.
Tuduhan bahwa dapur MBG dapat menjadi bancakan pejabat
menunjukkan bahwa potensi korupsi dan konflik kepentingan nyata harus
diantisipasi sejak awal.
Satu korban keracunan saja sudah cukup sebagai alarm
bahwa program ini harus diperbaiki secara fundamental. Bila tidak, kepercayaan
publik akan luntur, dan ambisi mencetak generasi sehat bisa kandas oleh praktik
buruk yang tersembunyi di balik “gratis.” Rakyat berhak mendapatkan program
yang benar-benar sehat, bukan janji gratis yang berisiko.
Pandangan Islam terhadap MBG
Di dalam Al Quran maupun hadits, tidak ditemukan
perintah dan larangan secara khusus pada pemimpin dalam perkara pemberian makan
pada anak sekolah. Namun terdapat hadits umum tentang tanggung jawab pemimpin.
Rasulullah bersabda : Setiap kalian adalah
pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang
dipimpinnya…. (HR. Bukhori). Selanjutnya di dalam Al quran, juga ditemukan : Tiap-tiap
diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS. Al Muddatstsir
:38)
Berdasarkan hadits dan ayat Al quran
diatas, maka pemimpin wajib memperhatikan nasib rakyatnya, termasuk dalam
urusan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Pemimpin/kepala negara wajib
menyediakan kebijakan yang membuat setiap kepala keluarga mampu menafkahi
keluarganya dengan baik, yang salah satunya untuk pemenuhan pangan keluarga.
Seorang kepala negara harus mampu menjamin tidak ada seorangpun yang kelaparan.
Dalam sejarah pemerintahan Islam, kisah
Khalifah Umar bin Khattab sangat mashur.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, di tahun 18 hijriah,
pernah terjadi musibah kekeringan.
Singkat cerita Umar bin Khattab selaku
khalifah pergi seorang diri di malam
hari, untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Lalu terdengar suara tangisan anak
dari sebuah rumah. Beliau menghampiri rumah tersebut, lalu mendapati seorang
wanita beserta anaknya sedang sedang merebus sesuatu dalam panci.
Terjadi dialog singkat antara Wanita
dengan Umar bin Khattab. Disitulah Umar bin Khattab mengetahui bahwa yang
direbusnya adalah batu. Wanita (ibu sang anak) berpura-pura merebus makanan
untuk menenangkan anak hingga tertidur.
Lalu Umar bin Khattab segera pergi ke baitul
mal untuk mengambil gandum dan bahan pangan lainnya. Meski petugas baitul mal
menawarkan untuk membantu mengangkutnya, Umar bin Khattab menolak dan memilih
untuk memanggulnya sendiri dan mengantarkannya ke rumah yang dimaksud.
Umar bin Khattab bahkan ikut memasak
makanan tersebut, karena saking cintanya kepada rakyat dan saking takutnya
kepada murka Allah SWT. Selanjutnya Umar bin Khattab berdoa memohon pengampunan
dan rizki dari Allah SWT, sehingga akhirnya turun hujan dan mengakhiri bencana
tersebut.
Juga terdapat hadits yang diriwayatkan Abu
Na’im: “Kemiskinan itu dekat kepada
kekufuran.”
Jika dikaitkan dengan pengertian politik
dalam negeri, pengaturan urusan umat di dalam negeri adalah dengan menerapkan
mabda islam. Bagaimana mungkin mabda islam bisa terjaga jika umat yang
dipimpinnya hidup dalam kemiskinan yang dekat dengan kekufuran?
Jika dilihat secara keseluruhan ayat al
quran, hadits-hadits dan kisah Umar bin Khattab, maka Islam mendorong
pemimpin/kepala negara untuk memberantas kemiskinan dan menjamin rakyat bebas
dari kelaparan. Dengan demikian, program pemberian makan bagi anak sekolah
selaras dengan syariah Islam.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,
No.1149/25/09/25 : 08.26 WIB)

