LOGICAL FALLACY SOLUSI DUA NEGARA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Sejarah kolonialisme mencatat bahwa bangsa-bangsa besar di Eropa dan kawasan lainnya pernah memperluas kekuasaan mereka ke berbagai belahan dunia dengan cara menjajah. Penjajahan tidak hanya membawa penderitaan fisik dan ekonomi bagi bangsa terjajah, tetapi juga meninggalkan jejak sosial, budaya, dan geopolitik yang membekas hingga hari ini.

 

Ironisnya, dalam beberapa kasus, setelah penjajah "pergi", mereka tidak sepenuhnya kehilangan kendali. Bahkan, ada yang justru diberi "hak legal" atas sebagian tanah yang mereka jajah. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan etis dan historis yang mendalam: apakah wajar jika penjajah diberikan tanah hasil penjajahannya?

 

Dalam konteks sejarah global, banyak bangsa yang berjuang mati-matian untuk meraih kemerdekaan. Indonesia, misalnya, harus melalui ratusan tahun penjajahan oleh Portugis, Belanda, hingga Jepang, sebelum akhirnya merdeka pada 17 Agustus 1945.

 

Namun, perjuangan kemerdekaan bukan sekadar soal mengusir penjajah secara fisik, tetapi juga membebaskan diri dari pengaruh ekonomi, budaya, dan politik yang ditanamkan selama masa kolonial.

 

Dalam Pembukaan UUD 45 jelas tertulis : Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

 

Penjajah Itu Diusir, Bukan diberikan Tanah Tempat Tinggal

 

Di berbagai belahan dunia, khususnya Afrika dan Timur Tengah, kita melihat banyak kasus di mana wilayah jajahan akhirnya merdeka, namun penjajah tetap mengklaim sebagian wilayah atau aset penting.

 

Contoh yang paling kontroversial adalah berdirinya negara Israel di atas tanah Palestina, yang oleh banyak pihak dipandang sebagai kelanjutan dari kolonialisme gaya baru. Namun ironi, bahkan presiden Prabowo akan mengakui negara israel jika israel mengakui kemerdekaan palestina. Ini adalah logical fallacy, logika sesat yang berbahaya.

 

Bagaimana tidak, israel sang penjajah malah diberikan hak tinggal di negeri jajahan, dengan syarat mengakui kemerdekaan palestina. Sementara dulu para pahlawan negeri ini mengusir penjajah, bukan memberikan tanah kepada penjajahan dan minta kemerdekaan dari penjajah. Prabowo ahistoris.

 

Mengusir penjajah adalah bentuk keadilan sejarah. Penjajahan adalah bentuk kekerasan sistemik, baik melalui penaklukan militer, perbudakan, perampasan tanah, maupun pemaksaan budaya. Tidak ada moralitas dalam tindakan menjajah. Maka dari itu, jika suatu bangsa berhasil mengusir penjajahnya, itu adalah tindakan yang sepenuhnya sah secara etika dan historis.

 

Memberikan "kompensasi" kepada penjajah, apalagi berupa tanah atau hak politik—setelah mereka diusir, adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat perjuangan bangsa terjajah. Hal ini sama saja dengan mengakui keabsahan kolonialisme, seolah-olah penjajahan adalah transaksi yang sah dan bisa diwariskan.

 

Salah satu contoh nyata di mana wacana ini menjadi sangat relevan adalah konflik Israel-Palestina. Ketika Inggris menguasai wilayah Palestina di awal abad ke-20 melalui mandat Liga Bangsa-Bangsa, mereka membuka jalan bagi migrasi besar-besaran warga Yahudi ke tanah yang sudah dihuni oleh bangsa Arab Palestina selama ribuan tahun.

 

Pada tahun 1948, berdirilah negara Israel, yang kemudian diakui oleh banyak negara Barat. Namun, di mata rakyat Palestina dan sebagian besar masyarakat internasional, pembentukan negara ini adalah bentuk kolonialisme yang belum usai. Tanah yang dijadikan wilayah Israel adalah hasil penjajahan, dan penduduk aslinya diusir atau dipaksa hidup sebagai pengungsi.

 

Dalam konteks ini, slogan “Penjajah itu diusir, bukan diberikan tanah hasil jajahannya” menjadi sangat relevan. Sebab, bukannya mengembalikan tanah kepada pemilik sahnya, dunia justru melegitimasi kehadiran negara yang lahir dari kolonialisme modern.

 

Bangsa yang pernah dijajah memiliki memori kolektif tentang penderitaan dan perlawanan. Memori ini tidak boleh dikhianati dengan kompromi terhadap keadilan sejarah. Dunia internasional pun punya tanggung jawab moral untuk tidak melegitimasi hasil penjajahan, apalagi dalam bentuk pemberian tanah atau pengakuan politik kepada penjajah.

 

Prinsip ini harus menjadi pegangan dalam membangun tatanan dunia yang adil: bahwa tidak ada satu pun bangsa yang berhak mengambil tanah, budaya, atau kedaulatan bangsa lain, dan kemudian mengklaimnya sebagai milik sendiri. Dengan pengakuan kedaulatan Palestina oleh 149 negara, mestinya cukup alasan untuk mengusir penjajah israel dari bumi Palestina.

 

Kemerdekaan dan kedaulatan bukanlah hadiah, melainkan hasil perjuangan panjang yang penuh pengorbanan. Maka ketika penjajah pergi, seharusnya mereka pergi sepenuhnya—tanpa membawa sisa kekuasaan, tanpa meninggalkan jejak dominasi, dan tentu saja tanpa diberi "hadiah" berupa tanah hasil penjajahan.

 

Bangsa yang pernah dijajah berhak untuk menata masa depannya sendiri tanpa beban warisan kolonial. Dunia harus berani menyatakan bahwa kolonialisme, dalam bentuk apa pun, tidak bisa dibenarkan. Dan yang lebih penting: penjajah harus diusir, bukan diberi tanah.

 

Rasulullah Mengusir Yahudi

 

Dalam realitas sosial di Madinah abad ke-7, umat Islam, kaum Yahudi, dan suku-suku Arab hidup berdampingan berdasarkan Piagam Madinah, sebuah kontrak sosial yang menjamin hak dan kewajiban semua komunitas.

 

Namun, ketika beberapa kabilah Yahudi seperti Bani Qainuqa’, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah melanggar perjanjian tersebut, melakukan pengkhianatan, dan bahkan bersekongkol dengan musuh-musuh Islam dalam situasi perang, tindakan tegas pun diambil oleh Rasulullah sebagai kepala negara.

 

Pengusiran atau hukuman kepada suku-suku tersebut berdasarkan pelanggaran politik dan keamanan. Misalnya, Bani Qainuqa’ diusir setelah memprovokasi dan melecehkan kaum Muslimah serta menolak keputusan Rasulullah sebagai penengah dalam konflik.

 

Bani Nadhir mencoba membunuh Rasulullah dalam kunjungannya, sementara Bani Quraizhah secara terang-terangan berkhianat saat Perang Khandaq dengan berpihak kepada pasukan Quraisy yang mengepung Madinah. Semua tindakan ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap kesepakatan yang telah disepakati bersama dalam Piagam Madinah.

 

Dengan demikian, tindakan Rasulullah ï·º bukanlah bentuk diskriminasi terhadap etnis atau agama tertentu, melainkan langkah politik yang sah untuk menjaga stabilitas dan keamanan negara Madinah yang sedang dalam masa rawan. Rasulullah tetap memberikan perlindungan kepada Yahudi yang taat pada perjanjian, menunjukkan bahwa Islam memisahkan antara konflik politik dan kerukunan antaragama.

 

Pemahaman yang adil dan kontekstual terhadap sejarah ini penting agar kita tidak terjebak dalam narasi kebencian atau penyederhanaan peristiwa masa lalu secara sepihak. Logikanya, jika karena melanggar perjanjian saja, Yahudi diusir oleh Rasulullah, Bagaimana dengan israel yang kini menjajah Palestina. Penjajah lebih layak lagi diusir, dibanding pengakhianatan perjajanjian.  Dengan demikian solusi dua negara, bukanlah solusi, melainkan bentuk logical fallacy, logika sesat dan bentuk kekalahan negeri-negeri muslim.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1148/25/09/25 : 07.53 WIB)

 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad