FILOSOFI PERENCANAAN KEUANGAN DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM



 

Oleh : Ahmad Sastra  

 

Perencanaan dan pengelolaan keuangan di lembaga pendidikan Islam bukan sekadar soal angka dan anggaran; ia adalah manifestasi nilai-nilai etika, maqāsid (tujuan) syariah, dan tanggung jawab sosial yang membentuk arah kebijakan, prioritas belanja, serta mekanisme pertanggungjawaban.

 

Dalam perspektif Islam, ekonomi dan keuangan tidak berdiri sendiri, keduanya harus memfasilitasi kemaslahatan (kebaikan umum), keadilan, dan pemeliharaan martabat manusia, termasuk hak atas pendidikan. Prinsip-prinsip ini memberi warna berbeda pada bagaimana lembaga pendidikan menyusun rencana keuangan, memilih instrumen pembiayaan, dan mengukur keberhasilan.

 

Secara konseptual, paradigma perencanaan keuangan berbasis nilai Islam menggabungkan beberapa elemen kunci: larangan riba (bunga), orientasi pada keadilan distributif, prinsip amanah (kepercayaan) dan akuntabilitas, serta orientasi pada tujuan (maqāsid al-sharīʿah) seperti pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

 

Pendekatan ini menuntut bahwa alokasi sumber daya pendidikan bukan hanya efisien secara teknis, tetapi juga etis—misalnya, prioritas pembiayaan harus mendukung akses pendidikan yang adil, kurikulum yang berorientasi nilai, dan kesejahteraan tenaga pendidik.

 

Pemikiran M. Umer Chapra menekankan pentingnya kerangka ekonomi Islam yang menempatkan nilai sosial dan moral di pusat kebijakan ekonomi, sebuah pijakan relevan untuk perencanaan keuangan pendidikan.

 

Dari sisi metodologi operasional, lembaga pendidikan Islam perlu menerjemahkan prinsip-prinsip ini ke dalam kebijakan anggaran dan instrumen pembiayaan yang halal dan berkelanjutan.

 

Ini bisa meliputi: penggunaan dana wakaf untuk pembiayaan infrastruktur jangka panjang; skema pembiayaan berbasis bagi hasil untuk unit usaha pesantren; optimalisasi zakat dan infak untuk beasiswa dan program inklusi; serta penerapan akuntansi syariah yang transparan.

 

Para ahli Islamic finance menawarkan kerangka teknis dan hukum yang memungkinkan integrasi instrumen-instrumen tersebut tanpa melanggar prinsip syariah, sekaligus menjaga keberlanjutan ekonomi lembaga.

 

Aspek filosofis yang mendasari paradigma ini adalah pemahaman bahwa tujuan hukum Islam (maqāsid) menjadi tolok ukur legitimasi dan prioritas kebijakan. Mohammad Hashim Kamali dan peneliti lainnya menegaskan bahwa maqāsid menyediakan peta nilai yang dapat membantu pengambil kebijakan menimbang trade-off: misalnya ketika harus memilih antara pengeluaran untuk fasilitas fisik atau program peningkatan kualitas guru, prioritas maqāsid dapat memandu keputusan demi mencapai maslahat pendidikan.

 

Dengan demikian, perencanaan anggaran bukan hanya perhitungan ekonomi, tetapi juga ijtihād (penilaian berbasis prinsip) yang mempertimbangkan dampak etik dan sosial jangka panjang.

 

Pertanggungjawaban dan tata kelola (governance) menjadi titik temu antara etika dan praktik. Konsep amanah menuntut mekanisme transparansi, pelaporan, dan partisipasi pemangku kepentingan orang tua, yayasan, dewan pengawas agar pengelolaan dana dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum.

 

Studi tentang akuntabilitas dana zakat dan wakaf menekankan pentingnya standar pelaporan yang jelas dan audit independen untuk menjaga kepercayaan publik dan keberlanjutan sumber dana sosial. Tanpa tata kelola yang kuat, sumber-sumber pembiayaan Islam berisiko tidak mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan.

 

Aplikasi praktisnya menuntut langkah-langkah konkret: menyusun anggaran berbasis tujuan (result-based budgeting) yang selaras dengan maqāsid; membangun unit wakaf dan donasi yang profesional; mengintegrasikan pelaporan syariah ke dalam laporan keuangan lembaga; serta mengembangkan kapasitas manajerial untuk mengelola instrumen pembiayaan alternatif.

 

Kebijakan semacam ini juga harus sensitif terhadap konteks lokal: apa yang efektif di satu pesantren besar belum tentu cocok untuk madrasah kecil di desa, oleh karena itu, perencanaan harus bersifat kontekstual dan partisipatif.

 

Kesimpulannya, paradigma perencanaan keuangan berbasis nilai Islam menawarkan kerangka normatif dan praktis yang kaya: ia memadukan etika, tujuan hukum Islam, dan teknik pengelolaan modern untuk menjamin bahwa pembiayaan pendidikan tidak hanya berkelanjutan tetapi juga bermakna secara moral.

Mengimplementasikannya memerlukan komitmen pada tata kelola, inovasi instrumen halal, dan penguatan kapasitas manajerial dengan tujuan akhir menjadikan pendidikan Islam sebagai wahana pembangunan manusia yang bermartabat dan berdaya.

 

Referensi

 

M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge.

Mohammad Hashim Kamali, Al-Maqasid al-Sharīʿah (The Objectives of Islamic Law).

M. Nejatullah Siddiqi, Issues in Islamic Banking / Banking Without Interest (pilihan karya).

Monzer Kahf, Principles of Islamic Financing: A Survey.

R. A. J. Saad, Islamic Accountability Framework in the Zakat Funds Management (studi tata kelola).

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1172/22/10/25 : 22.07 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad