Oleh : Ahmad Sastra
Dalam Islam, pengelolaan keuangan bukan hanya soal
teknis administratif, melainkan juga persoalan moral dan spiritual. Lembaga
pendidikan Islam, seperti pesantren, madrasah, dan universitas Islam memikul
tanggung jawab besar dalam mengelola dana umat yang bersumber dari zakat,
infak, sedekah, wakaf, dan subsidi pemerintah.
Karena itu, prinsip amanah (kepercayaan) dan akuntabilitas
(pertanggungjawaban) menjadi fondasi utama dalam manajemen keuangan pendidikan
Islam. Tanpa keduanya, keberkahan, kepercayaan masyarakat, dan keberlanjutan
lembaga akan sulit terjaga.
Secara konseptual, amanah dalam Islam berarti tanggung
jawab moral yang harus dijaga dan ditunaikan dengan integritas. Al-Qur’an
menegaskan: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya...” (QS. An-Nisa: 58).
Ayat ini menegaskan bahwa segala bentuk tanggung
jawab, termasuk mengelola keuangan lembaga pendidikan, adalah amanah yang harus
dijalankan dengan penuh kejujuran dan keadilan.
Sementara itu, akuntabilitas (mas’ūliyyah) dalam Islam
tidak hanya kepada manusia, tetapi juga kepada Allah SWT. Menurut M. Umer
Chapra (1992) dalam Islam and the Economic Challenge, sistem ekonomi Islam
dibangun di atas dua dimensi akuntabilitas: horizontal (kepada masyarakat) dan
vertikal (kepada Tuhan). Prinsip ini memperluas makna akuntabilitas dari
sekadar pelaporan administratif menjadi bentuk pertanggungjawaban moral dan
spiritual.
Dalam konteks pendidikan Islam, amanah dan
akuntabilitas harus diintegrasikan dalam seluruh proses manajemen keuangan, mulai
dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, hingga evaluasi. Lembaga pendidikan
Islam idealnya tidak hanya menyusun anggaran (budgeting) untuk efisiensi,
tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan hukum
Islam) dalam setiap keputusan keuangannya.
Mohammad Hashim Kamali (2008) menjelaskan bahwa maqāṣid
al-syarī‘ah berfungsi sebagai kompas etika untuk memastikan bahwa setiap
kebijakan keuangan sejalan dengan kemaslahatan (maslahah) dan menjauhi
kerusakan (mafsadah).
Artinya, pengeluaran lembaga pendidikan harus
diarahkan untuk meningkatkan mutu pembelajaran, kesejahteraan guru, serta akses
pendidikan bagi siswa tidak mampu, bukan untuk kepentingan segelintir pihak.
Dalam praktiknya, integrasi prinsip amanah dapat
dilakukan melalui sistem pelaporan keuangan yang transparan dan dapat diakses
publik. Hal ini sejalan dengan standar akuntansi syariah sebagaimana
dikembangkan oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial
Institutions (AAOIFI), yang menekankan pentingnya kejujuran, keterbukaan, dan
keadilan dalam laporan keuangan lembaga berbasis Islam.
Akuntabilitas dalam Islam memiliki dua lapisan utama.
Pertama, akuntabilitas sosial, yakni tanggung jawab kepada para pemangku
kepentingan: masyarakat, donatur, dan pemerintah. Kedua, akuntabilitas
spiritual, yaitu kesadaran bahwa setiap rupiah yang dikelola akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Menurut penelitian Hameed & Yaya (2005) dalam Accounting,
Accountability, and Islam, konsep akuntabilitas Islam menuntut bahwa
pengelolaan keuangan harus mencerminkan taqwā-based governance — tata kelola
yang berorientasi pada ketakwaan, bukan sekadar kepatuhan administratif. Dalam
konteks pendidikan, hal ini berarti setiap kebijakan anggaran harus dinilai
berdasarkan nilai ibadah dan manfaat sosialnya.
Lembaga pendidikan Islam yang mampu menjaga
transparansi dan kejujuran akan memperoleh trust (kepercayaan) dari masyarakat.
Kepercayaan inilah yang menjadi modal sosial paling berharga bagi
keberlangsungan lembaga. Tanpa trust, potensi dana umat seperti zakat, infak,
dan wakaf akan sulit dikembangkan secara optimal.
Integrasi prinsip amanah dan akuntabilitas dalam
manajemen keuangan pendidikan Islam menuntut sistem yang profesional sekaligus
beretika. Ada beberapa strategi kunci yang dapat diterapkan:
Pertama, Penyusunan Rencana Keuangan Berbasis Nilai
Islam, yang mengacu pada asas keadilan, transparansi, dan kesejahteraan
bersama.
Kedua, Pelaporan Keuangan Terbuka, dengan mekanisme
audit internal dan eksternal untuk memastikan tidak ada penyimpangan dana.
Ketiga, Pelibatan Komite Sekolah dan Dewan Pengawas
Syariah, agar keputusan keuangan selaras dengan prinsip halal dan maslahat.
Keempat, Peningkatan Literasi Keuangan Syariah bagi
pengelola lembaga, agar mampu memahami instrumen keuangan halal seperti wakaf
produktif dan sukuk pendidikan.
Kelima, Penggunaan Teknologi Digital Transparan,
seperti sistem e-finance syariah yang memungkinkan pelacakan dana secara
real-time oleh publik.
Strategi-strategi ini bukan hanya memperkuat tata
kelola, tetapi juga mempertegas bahwa lembaga pendidikan Islam adalah entitas
moral yang menjunjung nilai-nilai ilahiah dalam praktik profesionalnya.
Manajemen keuangan pendidikan Islam yang berlandaskan
amanah dan akuntabilitas sejatinya adalah bentuk ibadah sosial, karena di
dalamnya terkandung tanggung jawab untuk menegakkan keadilan, menumbuhkan
kepercayaan publik, dan memastikan bahwa pendidikan menjadi jalan menuju
kemaslahatan umat.
Prinsip-prinsip ini menegaskan bahwa keberhasilan
lembaga pendidikan Islam tidak hanya diukur dari kinerja finansial, tetapi dari
sejauh mana keuangannya dikelola secara jujur, adil, dan berorientasi pada
nilai-nilai Ilahi.
Integrasi antara nilai amanah dan akuntabilitas tidak
hanya memperkuat tata kelola keuangan, tetapi juga membentuk budaya lembaga
yang bertanggung jawab, transparan, dan berkeadaban, sebagaimana cita-cita
besar Islam dalam membangun peradaban yang bermartabat.
Referensi
Chapra, M. Umer. Islam
and the Economic Challenge. Leicester: Islamic Foundation, 1992.
Kamali, Mohammad Hashim. Maqasid al-Shari’ah Made
Simple. London: IIIT, 2008.
Hameed, Shahul, & Yaya, Rizal. Accounting,
Accountability, and Islam. Journal of Islamic Accounting and Business Research,
2005.
AAOIFI. Shari’ah Standards for Islamic Financial
Institutions. Bahrain: AAOIFI, 2020.
Kahf, Monzer. Waqf and Its Role in Financing Education.
Islamic Research and Training Institute (IRTI), 2003
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1173/22/10/25 : 22.26
WIB)

