Oleh : Ahmad Sastra
Hari Santri yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober
merupakan momentum penting untuk menegaskan kembali kontribusi besar kaum
santri dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa Indonesia.
Peringatan ini bukan sekadar seremonial tahunan, tetapi menjadi ajang refleksi
atas arah peradaban bangsa dan dunia.
Dalam konteks globalisasi dan modernitas yang sarat
dengan nilai-nilai kapitalisme dan komunisme, santri diharapkan mampu
mengembalikan ruh keislaman dalam kehidupan berbangsa. Islam bukan hanya agama
ritual, melainkan sistem peradaban yang menyeluruh, mencakup aspek moral,
sosial, ekonomi, hingga politik.
Dengan Islam, bangsa ini memiliki fondasi kokoh untuk
menjadi peradaban maju, adil, dan bermartabat, bukan sekadar menjadi pengikut
ideologi impor dari Barat atau Timur. Islam menyatukan kaum muslimin di dunia untuk bisa merdeka tanpa interfensi ideologi Barat. penjajahan Israel atas negeri Palestina adalah bukti bahwa negeri-negeri muslim masih sangat lemah karena tidak bersatu.
Kapitalisme dan komunisme sama-sama lahir dari rahim
sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan publik. Kapitalisme
menjadikan kebebasan individu dan kepemilikan pribadi sebagai pusat segalanya,
hingga melahirkan ketimpangan sosial dan eksploitasi ekonomi.
Sementara komunisme menolak kepemilikan pribadi dan
menuhankan negara, sehingga menindas kebebasan dan spiritualitas manusia.
Keduanya gagal mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sejati.
Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Joseph Stiglitz
(2002) dalam Globalization and Its Discontents, sistem kapitalis global justru
memperdalam jurang antara negara kaya dan miskin, sementara komunisme terbukti
runtuh karena bertentangan dengan fitrah manusia.
Dalam konteks ini, Islam menawarkan jalan yang
adil: kepemilikan individu diakui, tetapi dibatasi oleh syariat dan tanggung
jawab sosial. Negara berperan sebagai pengatur yang amanah, bukan alat
penindasan.
Islam memiliki sistem ekonomi, sosial, dan politik
yang menyatu dalam prinsip tauhid. Tauhid bukan hanya keyakinan teologis,
melainkan fondasi moral dan sosial. Dalam pandangan Islam, kemajuan peradaban
tidak diukur dari materi, melainkan dari ketaatan manusia kepada Allah dan
kesejahteraan bersama.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menegaskan bahwa
peradaban yang kuat hanya lahir dari masyarakat yang memiliki akhlak mulia dan
keadilan dalam pemerintahan. Dengan prinsip ‘adl (keadilan) dan amanah, Islam
mengajarkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat memperkaya diri.
Santri sebagai pewaris tradisi keilmuan Islam memiliki
tanggung jawab moral untuk menegakkan nilai-nilai ini dalam ranah pendidikan,
ekonomi, dan kebijakan publik.
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam
telah lama menjadi fondasi kebangsaan. Resolusi Jihad yang dicetuskan
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 menjadi bukti nyata
bahwa semangat santri lahir dari iman dan cinta tanah air yang bersumber dari
ajaran Islam.
Gerakan tersebut bukan sekadar perjuangan fisik,
tetapi jihad peradaban mempertahankan
nilai dan kehormatan bangsa dari penjajahan. Bung Karno sendiri dalam pidatonya
tahun 1945 mengakui bahwa semangat Islam telah memberi energi perjuangan bagi
kemerdekaan Indonesia.
Maka, jika hari ini bangsa ini ingin kembali maju dan
bermartabat, ia harus kembali pada nilai-nilai Islam yang pernah menjadi sumber
kekuatan moral perjuangan bangsa.
Namun, tantangan besar kini muncul dalam bentuk
modernisasi yang menyalurkan nilai-nilai sekuler, materialistik, dan
hedonistik. Sistem pendidikan, ekonomi, dan politik Indonesia banyak mengadopsi
paradigma kapitalistik: kompetisi tanpa moral, liberalisasi tanpa arah, dan
kebebasan tanpa tanggung jawab.
Akibatnya, kesenjangan sosial melebar, korupsi
merajalela, dan krisis moral menggerogoti sendi bangsa. Di sisi lain, ide
komunisme juga sesekali muncul dalam wajah baru, menebar gagasan kesetaraan
semu yang menolak agama sebagai panduan sosial. Kedua arus ini sama-sama
menjauhkan Indonesia dari cita-cita peradaban yang berkeadaban spiritual.
Dalam kerangka itu, santri harus tampil sebagai
pelopor peradaban alternatif, peradaban
Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dengan ilmu, akhlak, dan kesadaran sejarah,
santri dapat membangun sistem sosial yang menempatkan manusia sesuai fitrahnya:
sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.
Pendidikan pesantren yang menanamkan nilai ikhlas, tawadhu’,
dan istiqamah perlu diperluas ke seluruh bidang kehidupan, termasuk ekonomi dan
politik. Islam menolak eksploitasi manusia oleh manusia sebagaimana dalam
kapitalisme, juga menolak penindasan negara terhadap rakyat sebagaimana dalam
komunisme.
Sistem zakat, wakaf, dan baitul mal adalah contoh
konkret solusi Islam yang mampu menciptakan kesejahteraan berkeadilan tanpa
meninggalkan moralitas. Terlebih konsep kepemilikan dalam Islam dimana ada tiga
kepemilikan, yakni kepemilikan individu, umum dan negara.
Sumber daya alam dalam Islam adalah milik umum yang
harus dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat, haram hukumnya diprivatisasi,
apalagi dikuasai oleh penjajah. Daulah Islam akan bisa mewujudkan hal ini,
sementara jika masih menerapkan kapitalisme, maka sumber daya alam akan terus
dirampok oleh penjajah kapitalis.
Refleksi Hari Santri hendaknya menjadi momentum
kebangkitan kesadaran bahwa kemajuan Indonesia tidak akan terwujud dengan
meniru ideologi asing. Islam memiliki konsep peradaban yang paripurna,
sebagaimana diungkapkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Islam and
Secularism (1978), bahwa Islam memandang ilmu dan kemajuan sebagai jalan menuju
kesempurnaan akhlak dan kedekatan dengan Tuhan, bukan sekadar pencapaian
materi.
Dengan menjadikan Islam sebagai landasan pembangunan
bangsa, Indonesia dapat tumbuh sebagai negara yang kuat secara ekonomi, adil
secara sosial, dan luhur secara moral.
Dengan demikian, Hari Santri bukan hanya perayaan
simbolik, melainkan momentum perenungan ideologis: apakah bangsa ini ingin
membangun masa depan dengan Islam yang menegakkan keadilan dan kemanusiaan,
atau terus terseret arus kapitalisme dan komunisme yang telah lama merusak
fitrah manusia.
Santri Indonesia harus menjawab tantangan itu dengan
karya, ilmu, dan keberanian moral untuk menegakkan Islam sebagai dasar
peradaban maju. Karena hanya dengan Islam, bukan kapitalisme, bukan komunisme, Indonesia
akan menjadi bangsa besar yang berkeadaban dan bermartabat di mata dunia.
Saatnya para santri memperjuangkan Islam kaffah agar
bisa diterapkan di negeri ini yang menyebarkan ke seluruh dunia. Inilah pesan
ideologis hari santri yang harus dipahami dan disadari. Saatnya buang
kapitalisme dan komunisme, saatnya perjuangkan dan terapkan sistem Islam kaffah
dibawah institusi daulah Islam.
Referensi:
- Ibnu Khaldun. Al-Muqaddimah. Beirut: Dar al-Fikr, 2004.
- Joseph E. Stiglitz. Globalization and Its Discontents. New York:
W.W. Norton, 2002.
- Syed Muhammad Naquib al-Attas. Islam and Secularism. Kuala Lumpur:
ISTAC, 1978.
- Hasyim Asy’ari. Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah. Jombang: Tebuireng
Press, 2018.
- Bung Karno. Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1171/22/10/25 : 21.30
WIB)

