GURU SEBAGAI TELADAN LITERASI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Dalam era disrupsi informasi dan teknologi digital, guru tidak lagi hanya menjadi sumber utama pengetahuan, tetapi juga fasilitator pembelajaran dan inspirator literasi. Guru dituntut untuk terus belajar, memperbarui wawasan, serta menumbuhkan budaya literasi di lingkungan sekolah.

 

Menjadi guru pembelajar bukan hanya semboyan, melainkan keniscayaan profesionalisme yang menegaskan bahwa pendidikan adalah proses sepanjang hayat. Di sisi lain, membudayakan literasi merupakan upaya sistematis untuk membangun karakter berpikir kritis, kreatif, dan komunikatif pada peserta didik.

 

Dua hal ini, guru pembelajar dan budaya literasi, ibarat dua sisi mata uang yang saling menguatkan dalam mencetak generasi cerdas dan beradab. Guru adalah cermin bagi pribadi yang sangat mencintai ilmu pengetahun. Guru adalah orang yang menyadari sepenuh hati bahwa belajar adalah selama nyawa di kandung badan.

 

Konsep guru pembelajar di Indonesia mulai menguat seiring dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang meluncurkan program “Guru Pembelajar” pasca pelaksanaan Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2015.

 

Program tersebut menekankan pentingnya continuous professional development (pengembangan profesional berkelanjutan) agar guru mampu beradaptasi terhadap perubahan kurikulum, kemajuan ilmu pengetahuan, dan kebutuhan zaman (Kemendikbud, 2016).

 

Guru pembelajar adalah sosok yang memiliki kesadaran reflektif terhadap profesinya, ia tidak berhenti belajar setelah menjadi guru, melainkan menjadikan proses belajar sebagai bagian dari identitas diri. Sebagaimana ditegaskan oleh Freire (2000) dalam Pedagogy of the Oppressed, guru sejati adalah pembelajar yang senantiasa berdialog dengan realitas sosial dan peserta didiknya untuk menemukan makna pembelajaran yang membebaskan.

 

Menjadi guru pembelajar berarti membuka diri terhadap pembaruan pengetahuan dan teknologi. Guru perlu aktif membaca literatur, mengikuti pelatihan, memanfaatkan sumber belajar digital, serta melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) untuk memperbaiki praktik pembelajaran.

 

Dalam konteks inilah, budaya literasi menjadi fondasi penting. Literasi tidak hanya berarti kemampuan membaca dan menulis, melainkan juga mencakup kemampuan memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara kritis dalam kehidupan nyata.

 

UNESCO (2022) mendefinisikan literasi sebagai “the ability to identify, understand, interpret, create, communicate and compute, using printed and written materials associated with varying contexts.” Artinya, literasi merupakan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang esensial bagi keberhasilan belajar sepanjang hayat.

 

Budaya literasi di sekolah dapat tumbuh apabila guru menjadi teladan literasi. Guru yang gemar membaca dan menulis akan menularkan kebiasaan itu kepada siswa. Melalui kegiatan membaca buku nonteks, membuat jurnal refleksi, atau menulis esai ilmiah populer, guru dapat menumbuhkan atmosfer akademik yang hidup di lingkungan sekolah.

 

Menurut Kemendikbud (2017), Gerakan Literasi Sekolah (GLS) bertujuan menumbuhkan minat baca siswa, meningkatkan kemampuan memahami bacaan, serta menumbuhkan karakter melalui kegiatan literasi yang terintegrasi dalam kegiatan belajar mengajar. Namun, keberhasilan gerakan ini sangat ditentukan oleh keteladanan guru.

 

Tanpa figur guru pembelajar yang konsisten, literasi hanya menjadi slogan administratif, bukan budaya yang mengakar. Selain itu, guru pembelajar juga berperan penting dalam menanamkan literasi digital di era teknologi informasi.

 

Kemampuan memilah informasi yang kredibel dari lautan data internet menjadi kompetensi esensial abad ke-21. Menurut Trilling dan Fadel (2009) dalam 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times, literasi digital, informasi, dan media merupakan bagian dari keterampilan belajar abad ke-21 yang harus dimiliki oleh pendidik dan peserta didik.

 

Guru pembelajar harus memahami etika digital, berpikir kritis terhadap konten daring, serta membimbing siswa untuk menggunakan teknologi sebagai sarana belajar yang produktif, bukan sekadar konsumsi hiburan.

 

Untuk membangun budaya literasi di sekolah, guru perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Perpustakaan yang aktif, sudut baca di kelas, lomba menulis, atau program “satu minggu satu buku” dapat menjadi strategi konkret.

 

Selain itu, kolaborasi dengan orang tua dan masyarakat juga penting untuk memperluas ekosistem literasi. Sebagaimana ditegaskan oleh Rahim (2018) dalam Pengajaran Literasi di Sekolah Dasar, literasi akan berhasil bila menjadi gerakan sosial yang melibatkan seluruh komponen pendidikan, bukan hanya tugas guru bahasa.

 

Dengan demikian, membudayakan literasi adalah tanggung jawab bersama yang diawali oleh kesadaran individu guru untuk terus belajar dan menularkan semangatnya kepada lingkungan.

 

Menjadi guru pembelajar berarti juga menjadi agen perubahan sosial. Guru tidak sekadar menyampaikan materi, tetapi membentuk pola pikir, karakter, dan nilai-nilai kemanusiaan peserta didik.

 

Di sinilah literasi berperan sebagai sarana pembebasan, membuka wawasan, menumbuhkan empati, serta memperkuat daya nalar kritis terhadap realitas. Guru yang literat mampu memadukan antara knowledge, values, dan skills secara harmonis, menjadikan proses belajar sebagai aktivitas humanistik yang bermakna.

 

Dengan semangat guru pembelajar dan komitmen terhadap literasi, pendidikan Indonesia akan mampu melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak dalam berpikir dan bertindak.

 

Daftar Pustaka

  • Freire, P. (2000). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
  • Kemendikbud. (2016). Modul Guru Pembelajar. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
  • Kemendikbud. (2017). Gerakan Literasi Sekolah: Panduan Umum. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
  • Rahim, F. (2018). Pengajaran Literasi di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times. San Francisco: Jossey-Bass.
  • UNESCO. (2022). Global Education Monitoring Report 2022. Paris: UNESCO Publishing.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1165/09/10/25 : 10.21 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad