Oleh : Ahmad Sastra
Rencana atlet senam Israel yang akan
bertanding di Jakarta dalam acara Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 menuai
penolakan. Salah satunya, anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKB Oleh Soleh menolak
adanya atlet Israel. "Bagi PKB haram menyertakan atlet warga negara yang
melakukan genosida (Israel) dalam Ajang WAGC 2025," kata Oleh kepada
wartawan, Kamis (9/10/2025).
Hal serupa disampaikan Ketua BKSAP DPR RI
sekaligus politikus PKS Mardani Ali Sera. Mardani menegaskan keberadaan Israel
harus ditolak. "Tolak. Selama Israel belum menghadirkan perdamaian di
Palestina, keberadaan institusi Israel wajib ditolak," kata Mardani kepada
wartawan, Kamis (9/10/2025).
Menteri Luar Negeri Sugiono buka
suara ihwal keikutsertaan atlet
gimnastik Israel dalam Kejuaraan Dunia Senam Artistik
2025 yang dijadwalkan berlangsung di Jakarta. Sugiono mengatakan bahwa
penyelenggaraan ajang tersebut berada di bawah tanggung jawab Persatuan Senam
Indonesia (Persani) sebagai panitia nasional. "Saya monitor tapi ini yang
menyelenggarakan kan Persani ya. Kami lihat perkembangannya seperti apa,"
kata Sugiono di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 8 Oktober 2025 dilansir
dari Antara.
Sugiono mengatakan Kementerian Luar Negeri
terus memantau perkembangan isu tersebut, namun belum ada permintaan resmi
kepada kementerian untuk mengeluarkan izin atau rekomendasi terkait kedatangan
atlet asing, termasuk dari Israel. Dia menyebut keputusan mengenai penerbitan
visa bagi peserta ajang olahraga internasional bukan merupakan kewenangan
Kementerian Luar Negeri, melainkan berada di tangan pihak imigrasi.
Melanggar Aturan
“Permenlu No. 3 Tahun 2019” adalah Peraturan
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2019 tentang Panduan
Umum Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah. Dalam Bab “Hal Khusus”, diatur
mengenai hubungan dengan Israel. Karena Indonesia tidak memiliki hubungan
diplomatik resmi dengan Israel, maka peraturan menetapkan bahwa hubungan resmi
dari tingkat pemerintah daerah dengan Israel tidak diperbolehkan.
Sikap Indonesia terhadap kehadiran atlet Israel dalam
ajang olahraga internasional telah menimbulkan gelombang kekecewaan dan luka di
hati umat Islam. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang memiliki
solidaritas tinggi terhadap perjuangan rakyat Palestina, menerima kedatangan
atlet dari negara penjajah dianggap sebagai bentuk normalisasi terhadap
kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel.
Negara ini terbukti secara nyata melakukan penindasan
sistematis terhadap bangsa Palestina, mulai dari pengusiran, pembunuhan massal,
hingga penghancuran fasilitas sipil. Oleh karena itu, penerimaan terhadap atlet
Israel bukan sekadar isu olahraga, tetapi juga persoalan moral dan prinsip
kemanusiaan.
Dalam perspektif sejarah dan politik luar negeri,
Indonesia memiliki komitmen kuat untuk menolak segala bentuk kolonialisme,
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa “penjajahan
di atas dunia harus dihapuskan.” Sikap ini selama puluhan tahun menjadi dasar
konsistensi diplomasi Indonesia dalam mendukung kemerdekaan Palestina dan
menolak hubungan resmi dengan Israel.
Maka ketika keputusan pemerintah atau panitia
penyelenggara suatu event internasional membuka pintu bagi kehadiran atlet
Israel, banyak yang menilai hal itu sebagai pengingkaran terhadap amanat
konstitusi dan semangat solidaritas kemanusiaan yang menjadi identitas bangsa.
Secara etis dan religius, umat Islam Indonesia
memandang isu ini bukan semata urusan politik, melainkan juga tanggung jawab
moral terhadap penderitaan sesama Muslim di Palestina. Kehadiran atlet dari
negara penjajah yang sedang melakukan genosida terhadap rakyat Gaza dirasakan sebagai
luka yang mengoyak nurani dan ukhuwah Islamiyah.
Dunia olahraga seharusnya menjunjung nilai perdamaian
dan keadilan, bukan menjadi sarana pencitraan bagi rezim yang menindas. Karena
itu, suara umat Islam yang menolak kehadiran atlet Israel bukanlah bentuk
intoleransi, melainkan ekspresi kepedulian terhadap kemanusiaan dan keadilan
universal, dua nilai luhur yang seharusnya menjadi pegangan bagi bangsa
Indonesia dalam setiap langkah diplomatik dan kebijakan publiknya.
Penjajah dan Penjahat Genosida
Sejak pembentukan negara Israel pada 1948 dan terutama
pasca perang tahun 1967, wilayah yang dihuni oleh rakyat Palestina, yaitu Tepi
Barat (West Bank), Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur, telah berada dalam
pendudukan Israel menurut pandangan pengamat internasional dan beberapa badan
PBB.
Pendudukan ini dianggap melanggar hukum internasional,
terutama Konvensi Jenewa Keempat tentang perlindungan warga sipil di wilayah
pendudukan, serta sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB dan opini dari
Pengadilan Internasional (ICJ). Pada 19 Juli 2024, misalnya, ICJ menyatakan
bahwa keberadaan Israel di wilayah Palestina yang diduduki adalah “ilegal”.
Selain itu, pengamat hak asasi manusia dan prosedur
khusus PBB juga menyebut bahwa praktik pendudukan Israel dalam hal pemukiman
Yahudi, pembatasan akses bagi warga Palestina terhadap sumber daya seperti air,
kesehatan, dan pendidikan, menunjukkan pola diskriminasi sistemik.
Berkaitan dengan tuduhan genosida, sejumlah organisasi
hak asasi manusia dan komisi internasional telah menerbitkan laporan yang
menyebut bahwa tindakan Israel terhadap warga Palestina di Gaza dan wilayah
pendudukan lainnya memenuhi beberapa unsur dari Konvensi Genosida 1948.
Sebagai contoh, Amnesty International menyatakan bahwa
terdapat bukti yang memadai untuk percaya bahwa tindakan Israel sejak 7 Oktober
2023 di Gaza menunjukkan tiga dari lima jenis tindakan yang dilarang dalam
Konvensi Genosida, yaitu pembunuhan anggota kelompok, menyebabkan kerusakan
fisik atau mental yang serius, dan sengaja memberlakukan kondisi hidup yang
dirancang untuk membawa kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian.
Komisi Penyelidikan Independen PBB (“Independent International
Commission of Inquiry (COI)”) pun melaporkan bahwa ada indikasi bahwa genosida
terjadi di Gaza, dengan menyebut bahwa Israel telah melakukan empat dari lima
tindakan genosida sebagaimana tercantum dalam Konvensi Genosida, termasuk
“killing members of the group, causing serious bodily or mental harm,
deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring
about its physical destruction … and imposing measures intended to prevent
births”.
Dari sudut pandang etika dan hukum internasional, jika
benar bahwa niat dan tindakan yang dituduhkan terbukti, misalnya penghancuran
infrastruktur sipil, akses medis, dan pembatasan pangan yang sistematis, serta
kerusakan yang luas terhadap populasi sipil, maka tuduhan genosida menjadi
sangat serius.
Banyak pengamat hukum menekankan bahwa konsep genosida
bertujuan agar ada tanggung jawab hukum internasional, termasuk kemungkinan
prosedur di ICJ atau Mahkamah Pidana Internasional (ICC), dan agar komunitas
internasional mengambil tindakan pencegahan dan penghentian. Klausul pencegahan
dan penghukuman dalam Konvensi Genosida mensyaratkan bahwa negara-negara pihak
harus mencegah dan menghukum genosida.
Klaim bahwa Israel adalah penjajah memiliki dasar
hukum yang kuat dari perspektif hukum internasional dan berbagai laporan PBB
serta organisasi HAM yang menilai bahwa praktik pendudukan dan pemukiman Yahudi
di wilayah Palestina melanggar aturan internasional.
Tuduhan genosida pun semakin sering muncul dalam
laporan-laporan HAM dan penyelidikan independen, yang menunjukkan bukti
tindakan yang bisa memenuhi beberapa unsur genosida. Karena itu menerima atlet
israel ke negeri ini, selain menyakitkan hati umat Islam, juga merupakan bentuk
pengkhianatan. Tolak dan haram hukumnya kaki penjajah menginjak tanah negeri
ini.
Referensi Pilihan:
- Amnesty International, “There is ‘sufficient evidence’ to accuse
Israel of genocide in Gaza” (Amnesty report).
- UN Independent International Commission of Inquiry (COI), laporan
bahwa genosida terjadi di Gaza.
- International Court of Justice, “Israel’s continued occupation … is
unlawful”.
- UN Special Rapporteurs on apartheid, diskriminasi, dan kontrol
terhadap wilayah pendudukan.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1164/09/10/25 : 07.55
WIB)