Oleh : Ahmad Sastra
Sirah Nabi Muhammad ﷺ merupakan khazanah sejarah Islam yang paling agung dan sarat
makna. Ia bukan sekadar catatan kronologis perjalanan hidup seorang manusia
pilihan, tetapi juga panduan strategis dalam memahami dan mengamalkan dakwah
Islam secara komprehensif.
Melalui sirah, kita dapat menelusuri proses panjang
perjuangan Rasulullah dalam menegakkan risalah Islam, dari fase pembinaan
individu, pembentukan komunitas beriman, hingga pendirian masyarakat dan negara
Islam di Madinah.
Maka, mempelajari sirah Nabi dari perspektif dakwah
menjadi penting agar umat Islam memahami bagaimana dakwah dijalankan secara
bertahap, sistematis, dan strategis sesuai sunnah kenabian.
Sirah sebagai Landasan Strategi Dakwah
Dalam pandangan dakwah, sirah Nabi adalah “peta jalan”
(roadmap) dakwah Islam. Menurut Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam Fiqh
al-Sirah an-Nabawiyyah (1991), sirah tidak boleh dipahami secara romantik
semata, tetapi sebagai metodologi perjuangan dakwah yang bersumber dari wahyu.
Rasulullah ﷺ tidak pernah bertindak secara acak, melainkan selalu
berdasarkan perintah Allah dan realitas sosial yang dihadapinya. Oleh karena
itu, setiap fase kehidupan beliau mengandung pelajaran dakwah yang relevan untuk
setiap zaman.
Periode dakwah Rasulullah terbagi menjadi dua fase
besar: fase Makkah dan fase Madinah. Fase Makkah menekankan aspek pembinaan
akidah dan pembentukan kepribadian Islam. Pada tahap ini, dakwah dilakukan
secara sembunyi-sembunyi selama tiga tahun, lalu terang-terangan selama sepuluh
tahun berikutnya.
Fokus utama Nabi adalah menanamkan tauhid, menghapus
kemusyrikan, dan membentuk generasi sahabat yang militan dan berakhlak mulia.
Inilah dasar ideologis yang sangat kuat sebelum membangun sistem sosial Islam.
Sedangkan fase Madinah menunjukkan bagaimana Islam
diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Setelah hijrah, Rasulullah ﷺ memimpin pembentukan ummah, menyusun Piagam Madinah
sebagai konstitusi, serta menjalankan politik, ekonomi, dan militer sesuai
tuntunan wahyu. Dari sini terlihat bahwa dakwah tidak berhenti pada penyampaian
ajaran, tetapi berlanjut pada penerapan nilai Islam dalam struktur masyarakat.
Tahapan Dakwah Rasulullah ﷺ
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyyah
al-Islamiyyah (1953), metode dakwah Nabi dapat diringkas dalam tiga tahapan
utama: (1) tahap pembinaan (tatsqif), (2) tahap interaksi masyarakat (tafa‘ul
ma‘a al-ummah), dan (3) tahap penerimaan kekuasaan (istilām al-hukm).
Pertama, tahap pembinaan (tatsqif) berfokus pada
penanaman pemahaman Islam secara mendalam kepada individu-individu terpilih.
Rasulullah ﷺ membina para sahabat di rumah
Arqam bin Abi Arqam untuk memperkuat ideologi Islam dan mempersiapkan mereka
menjadi pendakwah yang tangguh. Tahapan ini menekankan pentingnya tarbiyah
(pendidikan ideologis) dalam membangun kader dakwah.
Kedua, tahap interaksi masyarakat (tafa‘ul) dilakukan
dengan menghadapi realitas sosial yang menentang Islam. Rasulullah ﷺ mulai menyampaikan dakwah secara terbuka, menantang sistem jahiliyah
Quraisy, dan menyeru kepada keadilan Islam. Fase ini menunjukkan bahwa dakwah
bukan hanya aktivitas spiritual, melainkan juga perjuangan sosial dan politik
untuk merombak sistem batil menuju sistem yang diridai Allah.
Ketiga, tahap penerimaan kekuasaan (istilām al-hukm)
ditandai dengan hijrahnya Nabi ke Madinah. Dukungan penuh dari kabilah Aus dan
Khazraj memungkinkan Nabi menegakkan pemerintahan Islam. Dari sinilah syariat
Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh), mencakup aspek hukum, ekonomi,
pendidikan, dan hubungan internasional.
Pelajaran Dakwah dari Sirah Nabi
Sirah Nabi mengajarkan bahwa dakwah harus dilakukan
dengan hikmah (kebijaksanaan), kesabaran, dan strategi bertahap. Allah
berfirman,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. an-Nahl [16]: 125).
Dalam konteks modern, pesan ini relevan dengan
tantangan dakwah di era digital, sekularisme, dan disinformasi. Pendakwah perlu
meneladani metode Rasulullah: memahami audiens, membangun keteladanan pribadi,
dan menyampaikan kebenaran dengan argumentasi yang kuat.
Selain itu, sirah Nabi menegaskan bahwa dakwah tidak
bisa dipisahkan dari perjuangan menegakkan sistem Islam. Rasulullah ﷺ tidak hanya mengajarkan shalat dan puasa, tetapi juga membangun
masyarakat yang berkeadilan dan berdaulat.
Oleh karena itu, dakwah harus berorientasi pada
perubahan sosial, bukan sekadar seruan moral. Sebagaimana ditegaskan oleh Syekh
Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh ad-Da‘wah (1995), dakwah adalah usaha
menyeluruh yang mencakup pendidikan, politik, ekonomi, dan budaya dalam
kerangka syariat Islam.
Relevansi Sirah bagi Dakwah Kontemporer
Dalam konteks umat Islam saat ini, sirah Nabi menjadi
pedoman menghadapi krisis moral, politik, dan sosial. Pendakwah perlu
mengadopsi semangat Rasulullah dalam mengubah masyarakat jahiliyah menuju
masyarakat beradab.
Strategi dakwah Nabi, mulai dari pembinaan akidah,
penguatan ukhuwah, hingga pembentukan masyarakat Islami, tetap relevan sebagai
kerangka aksi dakwah yang terukur dan efektif.
Dengan demikian, sirah Nabi perspektif dakwah bukan
hanya memuat kisah sejarah, tetapi juga strategi abadi dalam membangun
peradaban Islam. Umat Islam perlu mempelajari, meneladani, dan
mengimplementasikan metode dakwah Rasulullah secara komprehensif. Sebab, hanya
dengan mengikuti jejak kenabianlah dakwah akan berhasil membawa umat menuju
kebangkitan dan rahmat bagi seluruh alam.
Daftar Pustaka:
- Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan. Fiqh al-Sirah an-Nabawiyyah.
Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
- An-Nabhani, Taqiyuddin. Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah.
Beirut: Dar al-Ummah, 1953.
- Al-Qaradawi, Yusuf. Fiqh ad-Da‘wah. Kairo: Dar asy-Syuruq,
1995.
- Al-Qur’an al-Karim, QS. an-Nahl [16]: 125.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,
No.1166/11/10/25 : 04.42 WIB)