Oleh : Ahmad Sastra
Dalam beberapa dekade terakhir wacana tentang “krisis
moral” di kalangan generasi muda terus menguat. Sebagian peneliti dan pemikir
menyebut pendidikan sekuler-liberal yang menekankan otonomi individu,
relativisme nilai, dan netralitas negara terhadap agama sebagai salah satu akar
yang menciptakan lorong gelap bagi perkembangan etika anak-anak dan mahasiswa.
Lorong di mana kompas moral tradisional melemah tanpa
digantikan oleh kerangka nilai publik yang jelas. Pernyataan ini bukan sekadar
retorika, literatur filsafat dan beberapa studi empiris menunjukkan hubungan
kompleks antara pendidikan tinggi modern dan pergeseran orientasi nilai pada
generasi muda.
Secara historis, kritikus seperti Allan Bloom dan
Alasdair MacIntyre menyorot implikasi kultural dari pendidikan liberal modern.
Bloom memperingatkan bahwa relativisme nilai di kampus bisa menimbulkan
kebingungan moral dan menipiskan kemampuan mahasiswa untuk mengejar kebaikan
bersama secara serius.
MacIntyre menegaskan bahwa kehilangan tradisi
moral-komunitarian membuat praktik etika menjadi fragmen-fragmen tanpa narasi
yang koheren. Kritik-kritik ini menyajikan kerangka teoretis bagi gagasan bahwa
pendidikan yang melepaskan diri dari akar tradisi (agama, kebiasaan komunitas,
narasi historis) berisiko mencetak kecenderungan amoral atau moral yang
terfragmentasi.
Di ranah empiris, penelitian tentang pengaruh
pendidikan tinggi pada sikap moral menunjukkan hasil yang beragam tetapi
bermakna. Beberapa studi menemukan bahwa pendidikan tinggi “meliberalisasi”
kecenderungan moral, artinya mahasiswa cenderung mengadopsi pandangan yang
lebih menekankan kebebasan individu dan relativitas norma yang pada kasus
tertentu dapat mengurangi kekuatan norma tradisional sebagai pengatur perilaku
sosial.
Namun hasil ini bukan otomatis berarti pendidikan
liberal langsung menyebabkan ‘amoralitas’; mereka menggarisbawahi sebuah
pergeseran konfigurasi nilai yang butuh respons pendidikan nilai yang lebih
eksplisit.
Sisi lain adalah ilmu pendidikan moral itu sendiri.
Penelitian modern tentang pendidikan moral menekankan bahwa perkembangan etika
bukan hanya soal informasi normatif, melainkan pembentukan kapasitas berpikir
moral, empati, kebiasaan sosial, dan institusi yang menopang praktik kebajikan.
Lawrence Kohlberg dan penerusnya menyoroti pentingnya
kurikulum yang melatih penalaran moral dan diskursus etis, sementara lembaga
internasional seperti UNESCO mendorong integrasi pendidikan nilai, kewargaan,
dan pembangunan berkelanjutan sebagai bagian dari upaya membentuk warga yang
bertanggung jawab.
Dengan kata lain, ketiadaan nilai eksplisit di sekolah
bukanlah satu-satunya masalah keterbukaan nilai tanpa penguatan kompetensi
moral juga dapat berbahaya.
Jadi, apakah pendidikan sekuler-liberal memang
“melahirkan” generasi amoralitas? Jawaban ringkasnya: bukan secara tunggal,
tetapi lingkungan pendidikan yang mengabaikan pendidikan nilai dan ruang
komunitas moral memang meningkatkan risiko disorientasi etis.
Lorong gelap itu muncul ketika (1) tradisi moral dan
institusi sosial melemah, (2) tidak ada alternatif pedagogis yang membentuk
kebiasaan kebajikan, dan (3) budaya konsumerisme serta individualisme mengisi
kekosongan makna. Dalam konteks ini, amoralitas lebih tepat dipahami sebagai
gejala fragmentasi nilai daripada produk tunggal dari sekularisasi.
Solusi praktis harus bersifat pendidikan dan
struktural. Pertama, kurikulum perlu memasukkan pendidikan karakter dan
literasi moral yang berdasar pada diskursus rasional, mengajarkan bagaimana
berargumen tentang nilai, bukan hanya menyodorkan dogma.
Kedua, lembaga pendidikan harus membangun kemitraan
dengan keluarga, organisasi agama, dan komunitas lokal sehingga pembelajaran
nilai berlangsung terintegrasi, bukan nominal.
Ketiga, institusi publik perlu menegakkan kebijakan
yang mendorong tanggung jawab sosial dan partisipasi warga (mis. pendidikan
kewargaan, pelayanan masyarakat), bukan hanya kompetensi teknis. Upaya-upaya
semacam ini sejalan dengan rekomendasi UNESCO dan literatur perkembangan moral
modern.
Namun mengakui adanya lorong gelap yang timbul saat
pendidikan melepas jangkar nilai tradisional tanpa menyediakan pengganti yang
kuat adalah langkah penting. Mengisi lorong gelap itu memerlukan keberanian
kebijakan, desain kurikulum yang menumbuhkan kebajikan, serta rekonstruksi
jejaring komunitas yang memberi makna moral dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa
itu, generasi muda akan terus mengembara di persimpangan pilihan nilai dan di
sanalah benih amoralitas paling mudah tumbuh.
Refleksi Hari Santri
Hari Santri sebagai peringatan tahunan bukan sekadar
seremoni kebangsaan; ia merupakan momen reflektif untuk menilai kembali peran
pendidikan Islam dalam membentuk karakter dan peradaban. Dalam konteks arus
globalisasi dan sekularisme yang menempatkan pengetahuan instrumental dan
utilitarian di pusat kehidupan public.
Hari Santri mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan
hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga pemupukan akhlak, spiritualitas, dan
tanggung jawab sosial. Pendekatan pendidikan Islam tradisional yang menekankan
ilmu agama terpadu, pengasuhan moral, dan komunitas pembelajaran menawarkan
kerangka normatif untuk menjawab krisis makna dan etika yang acapkali muncul
pada generasi muda saat ini.
Sejarah dan realitas menunjukkan kebutuhan mendesak
untuk menghidupkan kembali institusi-institusi pendidikan Islam dengan cara
yang relevan zaman: bukan sekadar mengulangi kurikulum lama, melainkan
menerjemahkan nilai-nilai klasik ke dalam kapasitas literasi abad ke-21.
Transformasi ini mencakup integrasi ilmu pengetahuan
umum dan agama secara proporsional, peningkatan kualitas guru dan kurikulum,
serta pemanfaatan teknologi pendidikan tanpa mengorbankan tujuan pembentukan
akhlak.
Para pemikir pendidikan Islam. seperti Syed Muhammad
Naquib al-Attas tentang tujuan pendidikan Islami menegaskan bahwa pendidikan
sejati bertujuan membentuk insan kamil yang beretika dan berilmu, bukan hanya
pencari pekerjaan semata.
Menghadapi hegemoni sekularisme juga memerlukan
strategi kebijakan dan praktik yang sinergis: pengakuan negara terhadap peran
pesantren dan madrasah, dukungan terhadap riset keislaman kontemporer, serta
pembangunan jaringan kemitraan antar-lembaga pendidikan agar lulusan mampu
bersaing secara intelektual dan moral.
Di tingkat mikro, pendampingan guru, revitalisasi
metode pengajaran berbasis dialog (taʿlim wa taʿaruf), dan penguatan tradisi
baca-tulis agama menjadi kunci agar nilai-nilai keagamaan hidup dalam
pengalaman belajar sehari-hari.
Di tingkat makro, kebijakan yang memberi ruang bagi
pluralitas pendidikan dan penghormatan terhadap tradisi keagamaan akan
memastikan pendidikan Islam tidak terpinggirkan oleh wacana publik yang
sepenuhnya sekuler.
Hari Santri hendaknya menjadi pemicu tindakan: merawat
tradisi pesantren sebagai laboratorium pembentukan etika dan kepemimpinan,
memperbarui kurikulum agar relevan dengan tantangan modern, dan menghidupkan
semangat pelayanan sosial sebagai manifestasi iman.
Dengan demikian, peringatan ini bukan hanya mengenang
jasa historis santri, tetapi juga menegaskan komitmen kolektif untuk membangun
generasi yang bermutu — berilmu, berakhlak, dan berkontribusi pada peradaban.
Semangat tersebut sejalan dengan warisan para ulama
klasik (mis. al-Ghazali) dan pemikir kontemporer pendidikan Islam (mis.
al-Attas), sekaligus merespons refleksi modern tentang sekularisme dan
pendidikan (mis. Charles Taylor)
Sistem Pendidikan Islam Menenun Peradaban Masa Depan
Pendidikan dalam Islam bukan sekadar proses transfer
ilmu pengetahuan, melainkan proses pembentukan manusia seutuhnya yang berpikir cerdas,
berakhlak mulia, dan bertanggung jawab terhadap kemaslahatan umat.
Dalam pandangan Islam, tujuan pendidikan bukan hanya
melahirkan tenaga kerja atau individu sukses secara duniawi, tetapi mencetak
insan kamil yang berilmu dan bertakwa. Al-Ghazali dalam Ihya’
Ulumuddin menegaskan bahwa ilmu sejati harus menumbuhkan kedekatan kepada
Allah dan memperbaiki akhlak manusia.
Artinya, sistem pendidikan Islam mengintegrasikan
aspek spiritual, moral, intelektual, dan sosial secara harmonis, berbeda dengan
paradigma sekuler yang memisahkan antara ilmu dan nilai.
Sistem pendidikan Islam memiliki landasan filosofis
yang kokoh: tauhid sebagai asas, wahyu sebagai sumber ilmu, dan akhlak sebagai
tujuan. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyebut bahwa pendidikan adalah
sarana pembentukan madaniyyah (peradaban manusia) melalui ilmu yang
bermanfaat dan amal saleh.
Pendidikan Islam tidak melihat ilmu secara dikotomis,
melainkan menyatukan ilmu agama dan ilmu dunia dalam bingkai pengabdian kepada
Allah. Dengan demikian, orientasi pendidikan bukan hanya mencetak individu yang
cerdas secara akademik, tetapi juga yang memiliki kesadaran moral dan sosial
tinggi, menjadi agen kebaikan dalam masyarakat.
Kelebihan sistem pendidikan Islam terletak pada
integrasi antara ilmu dan adab. Konsep ta’dib sebagaimana dikemukakan
oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas menekankan pentingnya menanamkan adab yakni
penempatan sesuatu pada tempat yang benar, sesuai hakikatnya.
Ketika peserta didik dididik dengan adab, mereka akan
memahami hubungan antara ilmu, manusia, dan Tuhan secara proporsional. Dari
sinilah muncul generasi yang bukan hanya menguasai sains dan teknologi, tetapi
juga menjaga etika dan tanggung jawab moral. Generasi semacam ini menjadi
penenun peradaban, bukan perusak moralitas seperti yang kerap dihasilkan sistem
pendidikan materialistik.
Selain itu, sistem pendidikan Islam juga menekankan
pentingnya tarbiyah (pembinaan berkelanjutan) dan ta’lim
(pengajaran berorientasi nilai). Rasulullah SAW menjadi teladan agung dalam
membina sahabat dengan metode yang menumbuhkan keimanan, kecerdasan, dan
kepekaan sosial.
Hasilnya, generasi sahabat menjadi pionir peradaban
dunia yang melahirkan ilmuwan, negarawan, dan pemimpin besar. Penelitian
kontemporer oleh Abdullah (2019) dalam Journal of Islamic Education Studies
menunjukkan bahwa penerapan nilai-nilai tarbiyah dan ta’dib secara konsisten
mampu meningkatkan karakter spiritual, disiplin akademik, dan motivasi sosial
mahasiswa. Hal ini membuktikan bahwa sistem pendidikan Islam tetap relevan untuk
membangun generasi unggul di era modern.
Dengan demikian, pendidikan Islam merupakan pondasi
bagi peradaban masa depan yang beradab dan berkeadilan. Dunia modern
membutuhkan sistem pendidikan yang mampu menyeimbangkan antara intelektualitas
dan spiritualitas, antara kebebasan berpikir dan tanggung jawab moral.
Pendidikan Islam menawarkan solusi komprehensif itu.
Jika bangsa Muslim mampu mengembalikan roh pendidikan Islam, yakni integrasi
ilmu, iman, dan amal, maka akan lahir generasi mulia dan bermutu yang siap
menenun kembali peradaban dunia dengan keadilan, ilmu pengetahuan, dan kasih
sayang sebagai benang utamanya. Hasil tenunan itu adalah lahirnya peradaban Islam
dibawah institusi daulah Islam.
Referensi
Abdullah, M. (2019). “The Role of Tarbiyah and Ta’dib
in Character Formation,” Journal of Islamic Education Studies, 5(2),
45–58.
Al-Attas, S. M. N. (1991). The Concept of Education
in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education. ISTAC.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism /
The Concept of Education in Islam.
Al-Ghazali, Abu Hamid. Iḥyâʾ ʿUlûm al-Dîn (The Revival
of the Religious Sciences).
Al-Ghazali. Ihya’ Ulumuddin. Beirut: Dar
al-Fikr.
Bloom, A., The Closing of the American Mind
(kritik dan ringkasan).
Broćić, M. dkk., Assessing Higher Education's
Influence on Moral Attitudes (PMC).
Chen, J., Development and status of moral education
research (2023).
Esposito, John L. (editor). The Oxford Encyclopedia of
the Islamic World — entri terkait pendidikan Islam dan modernitas.
Ibn Khaldun. Al-Muqaddimah. Kairo: Dar
al-Ma’arif.
MacIntyre, A., After Virtue (pengaruh dan
ulasan); obituary / ringkasan pemikiran.
Nasr, S. H. (2007). Science and Civilization in
Islam. Harvard University Press.
Taylor, Charles. A Secular Age.
UNESCO, Education for Sustainable Development /
Values & Citizenship (panduan kebijakan).
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1170/21/10/25
: 14.18 WIB)

