Oleh :
Ahmad Sastra
Dalam
beberapa tahun terakhir dunia pesantren di Indonesia menjadi salah satu sasaran
perhatian serius Amerika Serikat melalui berbagai program kerjasama, pelatihan
dan beasiswa. Pada tahun 2025 ini pun, Kementerian Agama Republik Indonesia
(Kemenag) telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan
Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS).
Dalam
keterangan resmi di laman Kemenag.go.id, kerjasama ini disebut akan “mendorong
peningkatan kapasitas sumberdaya manusia di lingkungan pesantren, madrasah dan
Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN) dalam semangat moderasi beragama dan
toleransi global.”
Salah
satu poin utama dalam MoU tersebut adalah pemberian beasiswa Fulbright kepada
santri, mahasiswa dan dosen di bawah Kemenag. Melalui beasiswa ini, mereka
dapat menempuh studi di berbagai bidang keilmuan di universitas-universitas
Amerika Serikat.
Program
Fulbright merupakan salah satu program pertukaran akademik terbesar di dunia,
yang dikelola oleh U.S. Department of State’s Bureau of Educational and
Cultural Affairs (ECA).
Dalam
laman resminya disebutkan bahwa tujuan utama program ini adalah “to increase
mutual understanding between the people of the United States and the people of
other countries (meningkatkan saling pengertian antara rakyat AS dan rakyat
negara-negara lain).” (eca.state.gov/fulbright).
Sekilas,
tujuan tersebut tampak mulia. Namun, di balik jargon “saling pengertian
antarbangsa” itu, tentu ada misi ideologis yang tak bisa diabaikan. American
Foreign Policy Council secara terbuka menyebut Fulbright sebagai bagian dari
soft power diplomacy AS, yaitu strategi untuk “menanamkan nilai-nilai demokrasi
liberal dan memperluas pengaruh budaya Amerika di Dunia Islam”.
Keterlibatan
Amerika dalam dunia pendidikan Islam bukanlah hal baru. Dalam laporan The U.S.
Department of State’s Bureau of Counterterrorism (2022) disebutkan bahwa
Indonesia menjadi mitra penting dalam upaya Amerika mempromosikan apa yang
mereka sebut “moderate Islam” (Islam moderat) untuk melawan radikalisme.
Secara
lebih jelas, lembaga ini menegaskan: “Amerika Serikat mendukung upaya Indonesia
untuk mempromosikan Islam moderat melalui keterlibatan pesantren dan para
ulama.” (Sumber: state.gov/reports/country-reports-on-terrorism-2022).
Memang,
pasca peristiwa 11 September 2001, Amerika menata ulang kebijakan luar
negerinya terhadap Dunia Islam. Salah satu dokumen penting yang menjadi rujukan
kebijakan itu adalah laporan RAND Corporation berjudul “Civil Democratic Islam:
Partners, Resources, and Strategies” (2003).
Dalam
laporan tersebut, RAND merekomendasikan agar Amerika “mendukung kelompok Muslim
moderat, melawan kelompok fundamentalis serta mempromosikan nilai-nilai
demokrasi, pluralisme dan hak-hak perempuan.” (RAND Corporation, 2003, hlm.
8–11).
Secara
rinci, RAND membagi umat Islam ke dalam empat kategori: fundamentalis,
tradisionalis, modernis dan sekuleris. Strategi mereka sederhana: menyingkirkan
kelompok fundamentalis (yakni mereka yang menyerukan penerapan syariah dan
Khilafah), menetralkan kaum tradisionalis, memperkuat kalangan modernis dan
sekuleris, lalu menjadikan keduanya sebagai mitra ideologis Barat.
Dengan
demikian pendekatan “moderasi beragama” yang sering disandingkan dengan program
beasiswa dan kerjasama Amerika di pesantren bukan sekadar kegiatan akademik.
Ini adalah bagian dari strategi diplomasi lunak (soft diplomacy) untuk
membentuk cara pandang umat Islam agar selaras dengan nilai-nilai
sekuler-liberal Barat. Jika pesantren menjadi bagian dari proyek ini, maka pada
hakikatnya mereka sedang dijadikan pintu masuk bagi misi ideologi
sekuler-liberal ke tubuh pendidikan Islam.
Mengapa
Menyasar Pesantren ?
Amerika
Serikat memahami bahwa pesantren adalah benteng utama Islam di Indonesia. Maka
dari itu, lembaga ini menjadi target penting untuk proyek “religious reform”
(reformasi keagamaan) dan “counter-extremism” (penangkalan ekstremisme).
Dalam
laporan United States Agency for International Development (USAID, 2021)
disebutkan secara gamblang: “USAID bekerjasama dengan pesantren untuk
memperkuat pendidikan kewarganegaraan, mempromosikan toleransi dan mencegah
narasi radikal.” (Sumber: usaid.gov/indonesia).
Artinya,
pesantren tidak hanya dipandang sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi juga
sebagai arena strategis untuk mempengaruhi arah ideologi umat. Maka dari itu,
program pelatihan guru, pertukaran santri, ataupun riset bersama yang didukung
oleh lembaga Amerika sering disusupi dengan kurikulum interfaith dialogue
(dialog antariman), gender equality (kesetaraan gender), human rights (hak
asasi manusia) dan democratic citizenship (kewarganegaraan demokratis).
Semuanya merupakan produk ideologi sekuler-liberal, yang tidak ada hubungannya
dengan Islam.
Bahaya Ideologis
Amerika
Serikat adalah negara dengan ideologi Kapitalisme-sekuler. Maka dari itu,
ketika santri atau akademisi Muslim dikirim belajar dalam kerangka Fulbright,
mereka tidak hanya mempelajari sains dan teknologi, tetapi juga “diperkenalkan”
pada sistem nilai sekuler-liberal: pluralisme, relativisme moral, kesetaraan
gender versi Barat, dan toleransi terhadap ide-ide yang bertentangan dengan
aqidah Islam.
Istilah
“Moderasi Agama” yang menjadi bingkai kerjasama ini sejatinya adalah terjemahan
lokal dari proyek “Moderate Islam” yang dikembangkan oleh RAND Corporation dan
lembaga-lembaga Barat lainnya.
Dalam
laporan RAND disebutkan, Muslim moderat harus memenuhi lima ciri: (1) mendukung
demokrasi; (2) mengakui hak asasi manusia versi Barat (termasuk kesetaraan
gender dan kebebasan berkeyakinan); (3) menghargai keberagaman agama
(pluralisme); (4) menerima sumber hukum non-Islam; (5) menolak jihad.
Dengan
demikian moderasi agama bukanlah gagasan Islam, melainkan alat depolitisasi
Islam. Tujuannya agar umat tidak lagi memandang syariah sebagai sistem hidup
yang harus ditegakkan secara menyeluruh (kaaffah), melainkan cukup sebagai
pedoman moral dan spiritual.
Islam
telah memperingatkan bahaya mengikuti apalagi bekerjasama secara ideologis
dengan kaum kafir. Allah SWT berfirman: Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kalian menjadikan kaum kafir sebagai pemimpin/teman setia dengan
meninggalkan kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 144).
Allah SWT
juga berfirman: Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir
untuk menguasai kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 141).
Ayat-ayat
ini menegaskan bahwa kaum Muslim dilarang menjadikan orang kafir sebagai pihak
yang menguasai atau mengendalikan urusan mereka, apalagi urusan pendidikan dan
pembentukan pola pikir umat.
Selain
itu, sejarah membuktikan bahwa Amerika Serikat adalah penjajah dan pembunuh
kaum Muslim. Dari invasi Irak dan Afganistan, dukungan militer terhadap Israel,
hingga campur tangan politik di berbagai negeri Muslim. Semuanya menunjukkan
bahwa AS bukanlah mitra, melainkan musuh Islam. Bagaimana mungkin umat Islam
menyerahkan pembinaan generasinya kepada pihak yang secara ideologis dan
politik memerangi Islam dan kaum Muslim?
Memang
benar, Islam tidak melarang umatnya untuk belajar dari bangsa lain dalam urusan
sains atau teknologi. Namun, ketika kerjasama tersebut membawa pengaruh
terhadap cara berpikir (fikrah) dan cara hidup (thariiqah) yang bertentangan
dengan Islam, maka kewaspadaan ideologis menjadi kewajiban.
Apalagi
Rasulullah saw. telah memperingatkan: Siapa saja yang menyerupai suatu kaum,
maka ia termasuk bagian dari mereka (HR Abu Dawud). Hadis ini memperingatkan
bahwa mengikuti gaya hidup, pola pikir dan nilai-nilai kaum kafir dapat
menyeret umat Islam ke dalam penyimpangan ideologis.
Rekomendasi
Pertama:
Hendaknya pesantren atau lembaga pendidikan Islam selektif terhadap setiap
tawaran kerjasama internasional. Pesantren harus memeriksa latar belakang
lembaga pemberi dana, visi ideologisnya dan kurikulum yang ditawarkan. Jika
dalam program tersebut terdapat agenda promosi nilai-nilai sekuler Barat, seperti
moderasi, demokrasi, pluralisme atau kesetaraan gender khas Barat, maka wajib
ditolak.
Kedua:
Hendaknya pesantren atau lembaga pendidikan Islam mengembangkan jaringan
pendidikan berbasis umat Islam sendiri, baik lokal maupun internasional, yang
sejalan dengan nilai-nilai Islam. Kerjasama antar-pesantren lintas negara
Muslim akan memperkuat kemandirian ilmiah dan spiritual.
Ketiga:
Hendaknya pesantren atau lembaga pendidikan Islam memperkuat kurikulum berbasis
ideologi Islam. Dengan pemahaman ideologis Islam yang kuat, santri tidak mudah
terpengaruh oleh infiltrasi ideologi asing.
Keempat:
Hendaknya pesantren atau lembaga pendidikan Islam meningkatkan literasi
geopolitik di kalangan asatidz dan santri. Pesantren perlu membuka wawasan para
guru dan santri mengenai realitas politik global.
Tentu
dari sudut pandang ideologi Islam. Dengan itu mereka bersikap kritis terhadap
setiap program bantuan dan beasiswa asing yang sering menjadi instrumen soft
power (kekuatan lunak) negara-negara adikuasa pengemban ideologi sekuleris.
Kelima:
Hendaknya pesantren atau lembaga pendidikan Islam meneguhkan independensinya
sebagai benteng Islam. Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi pusat
penjaga kemurnian aqidah dan ideologi Islam, yang mampu membendung arus
globalisasi pemikiran dan budaya yang menjauhkan umat dari Islam kaaffah.
Keenam:
Kaum Muslim harus mengembalikan orientasi pendidikan pada tujuan sejati Islam.
Tidak lain membentuk syakhsiyyah islaamiyyah (jaditidi Islam) pada setiap
peserta didik yang siap memperjuangkan Islam.
Pesantren
adalah jantung peradaban Islam di Indonesia. Ia tidak boleh dijadikan
laboratorium eksperimental bagi misi sekuler-liberal. Sudah saatnya pesantren
menegaskan kembali identitas ideologisnya: mencetak generasi yang bertakwa,
berilmu dan berjuang untuk menegakkan syariah Islam secara kaaffah dalam
seluruh aspek kehidupan.
Selain
itu, Negara tidak boleh membuka pintu bagi proyek-proyek ideologis asing yang
merusak keimanan umat. Justru Pemerintah wajib memperkuat pendidikan Islam
sebagai fondasi kebangkitan bangsa berdasarkan akidah Islam.
(Ahmad
Sastra, Kota Hujan, No.1169/13/10/25 : 04.58 WIB)