KETIKA JABATAN HANYA JADI BANCAKAN



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Transparency International Indonesia (TII) baru-baru ini mengungkap fenomena signifikan dalam tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN): dari 562 kursi komisaris yang diteliti, 165 di antaranya diduduki oleh politisi, yang terdiri dari kader partai dan relawan politik.

 

Temuan ini menyorot bagaimana posisi pengawas perusahaan negara masih kental dengan logika patronase politik, sebuah kondisi yang berisiko melemahkan independensi pengawasan, meningkatkan konflik kepentingan, dan menurunkan profesionalisme dalam pengambilan keputusan korporat.

 

Penelitian TII mencakup 59 BUMN induk dan 60 anak perusahaan, dengan periode pengumpulan data antara 13 Agustus—25 September 2025; angka ini memberi dasar empiris yang kuat untuk klaim adanya dominasi politisi di jajaran komisaris.

 

Dari 165 politisi tersebut, mayoritas adalah kader partai (104 orang) sementara sisanya tercatat sebagai relawan politik (61 orang), dan hampir separuhnya berasal dari satu partai tertentu, kondisi yang semakin mempertegas pola “pembagian kursi” berdasarkan afiliasi politik daripada kompetensi profesional.

 

Dampak praktisnya dapat dilihat pada risiko kebijakan yang mengutamakan pertimbangan politik jangka pendek daripada tata kelola jangka panjang, serta potensi lemahnya akuntabilitas publik.

 

Rekomendasi yang muncul dari analisis ini yang relevan bagi pembuat kebijakan, dewan pengawas, dan public  meliputi: penguatan kriteria seleksi komisaris berbasis kompetensi, transparansi proses pengangkatan, dan pembatasan perwakilan politis yang jelas agar BUMN dapat berfungsi lebih profesional dan akuntabel.

 

Politik Pragmatis Bagi Jabatan

 

Sudah menjadi tradisi politik yang mengakar di Indonesia bahwa setiap partai politik pemenang pemilu cenderung melakukan pembagian jabatan strategis kepada para pendukungnya. Praktik ini lazim terjadi di berbagai lini kekuasaan, mulai dari posisi menteri, wakil menteri, staf khusus, hingga kursi komisaris di badan usaha milik negara (BUMN). Fenomena ini sering kali disebut sebagai bentuk politik balas budi, di mana loyalitas politik dihargai dengan posisi dan kekuasaan.

 

Meskipun dianggap sebagai hal yang “lumrah” dalam sistem politik demokrasi elektoral, praktik tersebut menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas meritokrasi dan netralitas birokrasi negara. Jabatan publik seharusnya diisi oleh individu yang kompeten, bukan semata karena kedekatan politik atau jasa selama masa kampanye.

 

Lebih jauh, pembagian jabatan berbasis afiliasi politik ini memiliki dampak jangka panjang terhadap tata kelola pemerintahan dan kepercayaan publik. Ketika jabatan strategis diisi oleh orang-orang yang tidak sepenuhnya profesional, keputusan publik berisiko terdistorsi oleh kepentingan partai dan kelompok tertentu.

 

Dalam konteks BUMN, misalnya, dominasi politisi di kursi komisaris dapat melemahkan independensi pengawasan dan menggerus efisiensi bisnis. Selain itu, masyarakat akan semakin skeptis terhadap integritas pemerintahan karena jabatan publik tampak lebih sebagai alat negosiasi kekuasaan daripada sarana pelayanan rakyat.

 

Oleh karena itu, reformasi sistem pengisian jabatan publik yang berbasis transparansi dan kompetensi menjadi sangat mendesak untuk membangun pemerintahan yang bersih, profesional, dan akuntabel.

 

Hal ini dilakukan sebagai bentuk balas jasa politik kepada individu maupun kelompok yang telah berkontribusi dalam memenangkan pemilu. Dalam sistem politik yang masih sarat dengan praktik patronase, pemberian jabatan dianggap sebagai kompensasi atas dukungan finansial, logistik, atau pengaruh yang diberikan selama masa kampanye.

 

Para politisi pemenang berusaha menjaga loyalitas pendukungnya melalui distribusi kekuasaan, dengan harapan hubungan timbal balik ini dapat memperkuat basis dukungan politik mereka.

 

Tradisi ini menunjukkan bahwa jabatan publik sering kali tidak semata-mata dipandang sebagai amanah untuk melayani rakyat, melainkan sebagai instrumen politik untuk menjaga stabilitas kekuasaan dan melunasi “utang politik” yang muncul dari proses pemilu.

 

Selain sebagai balas jasa, strategi ini juga berfungsi untuk mengikat loyalitas politik individu dan kelompok pendukung agar tetap tunduk pada kekuasaan yang berkuasa. Pemberian posisi strategis memungkinkan elite politik memperluas pengaruhnya di berbagai sektor pemerintahan dan ekonomi, termasuk dalam BUMN yang memiliki sumber daya besar.

 

Lebih dari itu, penempatan orang-orang yang loyal di posisi penting sering dimanfaatkan untuk menggalang dana dan memperkuat mesin politik menjelang pemilu berikutnya. Dengan cara ini, kekuasaan politik tidak hanya dipertahankan melalui suara rakyat, tetapi juga melalui jejaring kekuasaan ekonomi dan birokrasi yang dibangun dari hasil pembagian jabatan tersebut.

 

Praktik semacam ini menciptakan lingkaran patronase yang sulit diputus dan berpotensi menghambat terwujudnya sistem pemerintahan yang transparan, profesional, dan berorientasi pada kepentingan publik.

 

Menunggu Kehancuran

 

Padahal, realitas di lapangan menunjukkan banyak jabatan penting justru dipegang oleh individu yang tidak memiliki kompetensi sesuai bidangnya, sehingga menimbulkan ketimpangan antara tugas dan kemampuan.

 

Fenomena ini terlihat dari berbagai kasus penunjukan tokoh publik, seperti artis yang menduduki posisi sebagai wakil rakyat di komisi yang membidangi sumber daya alam, atau musisi yang ditunjuk menjadi komisaris perusahaan telekomunikasi tanpa latar belakang teknis maupun manajerial yang relevan.

 

Praktik semacam ini mencerminkan lemahnya sistem seleksi dan minimnya penghargaan terhadap profesionalisme dalam pengisian jabatan publik. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan sering tidak berbasis pada kajian ilmiah atau kebutuhan strategis sektor terkait, melainkan lebih didorong oleh pertimbangan politik dan popularitas.

 

Dalam jangka panjang, kondisi ini berpotensi menurunkan kualitas tata kelola pemerintahan dan efektivitas lembaga publik karena posisi yang seharusnya diisi oleh ahli justru dijadikan alat politik untuk memperluas jaringan kekuasaan.

 

Hal seperti ini jelas merugikan negara dan masyarakat dalam dua aspek utama. Pertama, jabatan strategis yang dipegang oleh orang yang tidak kompeten menjadi tidak produktif, bahkan berpotensi menimbulkan keputusan keliru yang merugikan lembaga dan publik.

 

Ketidaksesuaian antara kapasitas individu dan tanggung jawab jabatan membuat fungsi pengawasan maupun manajerial tidak berjalan efektif, sehingga kinerja lembaga menurun. Kedua, jabatan yang diberikan karena kepentingan politik menjadikan posisi tersebut rawan konflik kepentingan dan korupsi.

 

Para pejabat yang memiliki afiliasi politik cenderung memanfaatkan kedudukan mereka untuk kepentingan kelompok atau partai, bukan untuk kepentingan bangsa. Fakta di lapangan menunjukkan banyak BUMN mengalami kerugian signifikan meskipun dikelola oleh dewan komisaris dengan gaji sangat besar.

 

Ketimpangan antara kinerja dan imbalan ini menjadi potret nyata bahwa sistem penempatan pejabat yang berlandaskan kepentingan politik, bukan profesionalisme, telah menciptakan inefisiensi dan pemborosan dalam pengelolaan kekayaan negara.

 

Hukum Islam Tentang Jabatan

 

Dalam perspektif hukum Islam, jabatan merupakan amanah besar yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Amanah berarti kepercayaan yang tidak boleh disalahgunakan, sebab setiap kekuasaan atau tanggung jawab publik akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.

 

Rasulullah ï·º bahkan memperingatkan agar umat Islam tidak saling berebut jabatan, karena jabatan yang diperoleh tanpa kelayakan justru akan menjadi sumber penyesalan dan kehancuran. Dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim, beliau bersabda bahwa jabatan adalah amanah, dan pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi yang tidak melaksanakannya dengan benar.

 

Peringatan ini menegaskan bahwa kekuasaan bukanlah kehormatan yang perlu diperebutkan, melainkan beban moral dan spiritual yang menuntut integritas serta tanggung jawab besar kepada umat dan kepada Allah.

 

Lebih jauh, Islam menekankan bahwa seseorang hanya layak memegang jabatan jika memiliki kemampuan (kifayah) dan ketakwaan (amanah), dua kriteria utama yang menjadi standar kepemimpinan dalam ajaran Islam. Jabatan tidak boleh dijadikan sarana memperkaya diri, memperkuat kelompok, atau melanggengkan kekuasaan politik, melainkan harus digunakan untuk berkhidmat kepada umat dan menegakkan keadilan.

 

Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 26 menegaskan, “Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (memegang jabatan) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”

 

Prinsip ini menunjukkan keseimbangan antara kompetensi profesional dan moralitas spiritual. Dengan demikian, pejabat publik dalam pandangan Islam sejatinya adalah pelayan umat yang bertugas menegakkan kemaslahatan, bukan aktor politik yang mengejar keuntungan pribadi atau partainya.

 

Pangkal dari berbagai persoalan tersebut terletak pada sistem politik demokrasi modern yang berbiaya tinggi dan sarat kepentingan pragmatis, di mana kekuasaan sering dipandang sebagai jalan untuk memperkaya diri serta memperluas pengaruh kelompok.

 

Proses politik yang mahal, mulai dari kampanye hingga lobi kekuasaan, membuat para aktor politik cenderung mencari cara untuk “mengembalikan modal” setelah berkuasa, alih-alih mengabdi sepenuhnya kepada rakyat. Dalam sistem seperti ini, nilai moral dan tanggung jawab publik sering kali terpinggirkan oleh logika transaksi politik, patronase, dan bagi-bagi jabatan.

 

Akibatnya, politik kehilangan orientasi etiknya sebagai sarana menegakkan keadilan dan kesejahteraan umum, berubah menjadi arena perebutan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan partai. Ketika moralitas publik terkikis dan kekuasaan dijadikan komoditas, demokrasi yang seharusnya menjamin kedaulatan rakyat justru melahirkan elitisme baru yang jauh dari semangat keadilan sosial.

 

Sistem politik Islam ciptakan para pemimpin yang beriman dan bertakwa

 

Sistem politik Islam dalam khilafah dirancang untuk melahirkan pemimpin yang beriman, bertakwa, dan memiliki tanggung jawab spiritual terhadap amanah kekuasaan. Dalam sistem ini, kepemimpinan bukanlah hasil transaksi politik atau pertarungan kepentingan partai, melainkan proses seleksi yang berlandaskan syariat Islam dan keutamaan moral.

 

Seorang khalifah dipilih karena kapasitasnya dalam menegakkan hukum Allah, menjaga keadilan, serta memastikan kesejahteraan umat. Struktur kekuasaan dalam khilafah tidak memberi ruang bagi politik uang atau ambisi pribadi, sebab jabatan dipandang sebagai amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

 

Dengan demikian, sistem ini menumbuhkan kepemimpinan yang sadar bahwa setiap kebijakan dan keputusan bukan sekadar urusan duniawi, tetapi juga bernilai ukhrawi yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat.

 

Lebih dari itu, sistem politik Islam dalam khilafah menempatkan ketakwaan sebagai fondasi moral negara, bukan sekadar slogan atau atribut simbolik. Para pemimpin yang lahir dari sistem ini diarahkan untuk menjadi pelindung umat, menegakkan keadilan, serta memastikan distribusi kesejahteraan berjalan merata tanpa diskriminasi.

 

Mekanisme pengawasan dalam khilafah, seperti lembaga Hisbah dan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, berfungsi menjaga integritas penguasa agar tidak menyimpang dari nilai-nilai Islam. Dengan kontrol moral dan sosial yang kuat, khilafah menciptakan tata pemerintahan yang bersih, berorientasi pada kemaslahatan, dan menolak segala bentuk korupsi maupun penyalahgunaan jabatan.

 

Inilah alasan mengapa sistem politik Islam diyakini mampu membentuk pemimpin yang bukan hanya cerdas secara intelektual dan kuat secara administratif, tetapi juga luhur secara spiritual dan bertanggung jawab di hadapan Allah serta rakyatnya. Sistem khilafah lah yang bisa mewujudkan kepemimpinan politik yang ideal.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1161/07/10/25 : 05.13 WIB)

 

 

 

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad