Oleh : Ahmad Sastra
Dalam sejarah peradaban Islam, kaum intelektual selalu
memegang peran strategis dalam menjaga kemurnian ajaran, membina umat, dan
membangun tatanan sosial-politik yang adil. Sejak masa klasik, para ulama,
fuqaha, dan cendekiawan Muslim berfungsi bukan hanya sebagai penafsir ilmu
agama, tetapi juga sebagai penuntun arah moral dan pemikiran masyarakat.
Mereka berperan sebagai ulul albab, kelompok
berpikir jernih yang disebut dalam Al-Qur’an (QS. Ali Imran [3]:190–191)
sebagai mereka yang senantiasa merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan.
Allah berfirman : Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka (QS Ali Imran : 190-191)
Dalam konteks modern, peran intelektual Muslim menjadi
semakin penting ketika dunia Islam dihadapkan pada tantangan sekularisasi, liberalisme,
pluralisme, nasionalisme, materialisme, dan disintegrasi moral yang menggerus
nilai-nilai keislaman dalam kehidupan publik. Isme-isme Barat ini, bukan hanya
merusak pemikiran umat, tapi juga merusak moralitas.
Tugas pertama intelektual Muslim adalah menjaga agama
(hifzh ad-din), yaitu memastikan bahwa Islam tetap menjadi pedoman hidup, bukan
sekadar simbol identitas. Intelektual Muslim harus menjadi benteng pemikiran
terhadap upaya distorsi ajaran Islam melalui ideologi-ideologi sekuler,
liberal, atau relativistik yang mengikis nilai-nilai tauhid.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Islam
and Secularism (1978), krisis utama umat Islam saat ini bukanlah kekurangan
sumber daya, melainkan “kerusakan adab”, hilangnya pemahaman yang benar tentang
hakikat ilmu dan kedudukan manusia di hadapan Allah.
Oleh karena itu, tanggung jawab moral intelektual
Muslim ialah mengembalikan orientasi ilmu kepada nilai-nilai ilahiah, serta
memperjuangkan pendidikan yang menanamkan iman, akal sehat, dan akhlak mulia (pola
pikir dan pola sikap islami). Mereka harus menjadi penafsir zaman yang mampu
menghubungkan wahyu dengan realitas, bukan sekadar pengulang tradisi tanpa
konteks.
Tugas kedua adalah menjaga umat (hifzh al-ummah).
Intelektual Muslim harus menjadi jembatan antara ilmu dan kehidupan sosial,
antara idealitas ajaran Islam dan realitas umat yang dihadapkan pada
kemiskinan, kebodohan, dan ketimpangan.
Seperti dijelaskan oleh Malik Bennabi dalam The
Question of Ideas in the Muslim World (1954), kemunduran dunia Islam bukan
karena kekalahan militer semata, tetapi karena stagnasi ide dan ketidakmampuan
umat menghasilkan pemikiran produktif. Di sinilah peran penting intelektual
Muslim sebagai penggerak kesadaran, pembimbing masyarakat menuju kemandirian
berpikir dan beramal.
Mereka harus berani mengkritik kebijakan yang tidak
adil, membela kaum lemah, dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dalam ruang
publik dengan cara ilmiah dan beradab. Keilmuan yang mereka miliki harus
menjadi instrumen perubahan sosial, bukan alat legitimasi bagi kekuasaan yang
menindas atau melanggengkan ketidakadilan.
Tugas ketiga adalah menjaga negara (hifzh ad-daulah al),
yakni memastikan sistem pemerintahan berjalan sesuai prinsip keadilan dan
syariat. Dalam pandangan Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah,
negara Islam bertujuan menegakkan agama, melindungi rakyat, dan mewujudkan
kemaslahatan umum.
Dalam pandangan sheikh Taqiuddin An Nabhani, diantara
tugas negara Islam (khilafah) adalah menerapkan syariah Islam secara kaffah,
menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia dan menyatukan umat Islam di
seluruh dunia dalam satu visi, misi dan kepemimpinan.
Oleh karena itu, intelektual Muslim memiliki tanggung
jawab moral untuk memastikan bahwa kebijakan publik, hukum, dan ekonomi tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Mereka bukan hanya akademisi yang bekerja
di menara gading, tetapi juga moral guardian yang mengawal arah politik
agar tetap berpihak pada keadilan dan kemanusiaan.
Dalam konteks modern, ini berarti mengembangkan
pemikiran politik Islam yang relevan dengan demokrasi, hak asasi manusia, dan
tata kelola pemerintahan yang bersih. Intelektual Muslim dituntut untuk
bersikap kritis terhadap penyalahgunaan kekuasaan, sekaligus konstruktif dalam
menawarkan solusi berbasis nilai-nilai Islam.
Dalam kontek modern, dimana umat Islam hidup dalam
negara sekuler dan perpecahan antara negeri-negeri muslim, akibat ikatan
nasionalisme primordial, maka intelektual muslim harus melakukan penguatan
kesadaran kepada seluruh kaum muslimin akan pentingnya perjuangan menegakkan
kembali kepemimpinan Islam untuk seluruh kaum muslimin di dunia.
Lebih jauh, peran intelektual Muslim juga mencakup tanggung
jawab dakwah pemikiran, yaitu menyampaikan kebenaran Islam dengan argumentasi
ilmiah dan pendekatan rasional. Tantangan globalisasi informasi membuat peran
ini semakin penting.
Ketika opini publik mudah dipengaruhi oleh media dan
ideologi asing, intelektual Muslim harus hadir dengan narasi yang meneguhkan
jati diri umat. Sebagaimana ditegaskan oleh Abul A’la al-Maududi dalam Islamic
Way of Life, Islam bukan sekadar agama spiritual, tetapi sistem kehidupan
yang menyatukan aspek moral, sosial, ekonomi, dan politik dalam satu kesatuan
yang harmonis.
Intelektual Muslim karenanya memiliki tanggung jawab
besar untuk menghidupkan kembali kesadaran politik dan peradaban Islam, agar
umat tidak terjebak dalam kebingungan identitas di tengah arus modernitas. Sebab
Rasulullah telah jelas mewariskan bentuk negara berlandaskan syariah Islam,
bukan demokrasi sekuler seperti saat ini. Demokrasi sekuler nasinalisme adalah
bentuk negara warisan penjajah.
Akhirnya, tugas intelektual Muslim bukan hanya
berpikir dan menulis, tetapi juga membumikan ilmu untuk perubahan nyata. Mereka
harus menjadi teladan dalam integritas, kemandirian berpikir, dan keberanian
moral.
Dalam situasi di mana nilai-nilai agama sering kali disubordinasikan
oleh kepentingan ekonomi dan politik, intelektual Muslim perlu tampil sebagai
penjaga moral publik yang menyeru kepada kebenaran dengan hikmah dan
argumentasi yang kuat.
Sebagaimana pesan Al-Qur’an dalam QS. Al-Asr [103]:
1–3, hanya orang-orang yang beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam
kebenaran serta kesabaran yang tidak merugi.
Allah berfirman : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS Al Asr : 1-3)
Dengan menjalankan peran sebagai penjaga agama,
pembina umat, dan pengawal negara yang berkeadilan, intelektual Muslim
sesungguhnya sedang menjalankan jihad intelektual, perjuangan suci untuk
menegakkan kalimat Allah di muka bumi melalui ilmu, moral, dan amal nyata. Semoga
negara Islam segera tegak di atas muka bumi untuk menebarkan rahmat bagi
seluruh manusia dan alam semesta.
Referensi
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and
Secularism. Kuala Lumpur: ABIM, 1978.
Al-Maududi, Abul A’la. Islamic Way of Life.
Lahore: Islamic Publications, 1967.
Al-Mawardi, Abu al-Hasan. Al-Ahkam As-Sulthaniyyah.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1989.
Al-Qur’an al-Karim. Surah Ali Imran [3]:190–191;
Al-Qashash [28]:26; Al-Asr [103]:1–3
Bennabi, Malik. The Question of Ideas in the Muslim
World. Islamabad: Islamic Research Institute, 1954.
Taqiyuddin An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyah Penerbit: Daar
al-Ummah, 2009
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,
No.1162/07/10/25 : 07.58 WIB)