MITOS POLITIK “THE PROMISED LAND”




Oleh : Ahmad Sastra

 

Istilah The Promised Land atau “Tanah yang Dijanjikan” telah menjadi salah satu mitos politik paling kuat dalam sejarah manusia. Secara teologis, istilah ini berasal dari Kitab Kejadian dalam Alkitab, di mana Tuhan dianggap menjanjikan tanah Kanaan kepada keturunan Nabi Ibrahim, Ishak, dan Yakub (Kejadian 15:18-21).

 

Namun dalam perkembangannya, mitos tersebut bukan hanya menjadi bagian dari teologi Yahudi, tetapi juga berubah menjadi ideologi politik yang melegitimasi kolonialisme modern, terutama dalam konteks pendirian negara Israel di tanah Palestina.

 

Menurut Karen Armstrong dalam Jerusalem: One City, Three Faiths (1996), mitos ini merupakan narasi religio-politis yang telah direkonstruksi secara historis untuk mendukung proyek politik modern Zionisme.

 

Dengan demikian, “Tanah yang Dijanjikan” bukan lagi sekadar simbol keimanan, tetapi berubah menjadi doktrin ekspansionis yang berdampak nyata terhadap konflik geopolitik di Timur Tengah.

 

Dalam perspektif teologis, “Tanah yang Dijanjikan” awalnya dimaknai sebagai simbol spiritual, tempat di mana manusia hidup dalam ketaatan kepada Tuhan dan menjalankan keadilan. Namun, sejak akhir abad ke-19, ide ini dihidupkan kembali oleh gerakan Zionisme yang dipelopori oleh Theodor Herzl.

 

Dalam karya monumentalnya Der Judenstaat (1896), Herzl mengusulkan pembentukan negara Yahudi sebagai solusi bagi penindasan terhadap kaum Yahudi di Eropa.

 

Meskipun gerakan tersebut awalnya bersifat sekuler, para pemimpin Zionis kemudian menggunakan narasi religius tentang “janji Tuhan” untuk memperoleh legitimasi moral dan dukungan politik internasional.

 

Menurut Edward Said dalam The Question of Palestine (1979), mitos ini diubah menjadi “ideologi kolonial” yang memungkinkan penaklukan tanah Palestina dengan dalih sejarah dan teologi. Said menyebutnya sebagai bentuk biblical colonialism—penjajahan yang dibungkus dalam bahasa kitab suci.

 

Mitos sebagai Instrumen Politik

 

Mitos politik bekerja dengan cara membentuk persepsi kolektif masyarakat terhadap legitimasi kekuasaan. Roland Barthes dalam Mythologies (1957) menjelaskan bahwa mitos berfungsi untuk “menaturalisasi ideologi”, yakni menjadikan ide tertentu tampak wajar, alami, dan tak terbantahkan.

 

Dalam konteks Israel, narasi “The Promised Land” menempatkan proyek kolonisasi sebagai misi suci yang seolah tidak bisa dipersoalkan, karena dianggap berasal dari kehendak Tuhan.

 

Politik Israel modern menunjukkan bagaimana mitos ini dipraktikkan dalam kebijakan. Pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat, misalnya, didasarkan pada klaim historis dan religius terhadap tanah tersebut.

 

Padahal, menurut hukum internasional, khususnya Resolusi PBB Nomor 242 (1967) dan 338 (1973), wilayah itu merupakan bagian dari tanah yang diduduki secara ilegal. Dengan demikian, mitos “The Promised Land” berfungsi sebagai justifikasi moral bagi tindakan yang secara hukum tergolong sebagai agresi dan pendudukan.

 

Dalam perspektif Islam, klaim keagamaan semacam itu dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan universal. Al-Qur’an tidak pernah menetapkan konsep “tanah terpilih” untuk kelompok tertentu, melainkan menegaskan bahwa bumi adalah milik Allah dan diwariskan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan berbuat adil

 

Allah berfirman : Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa". (QS. Al-A‘rāf: 128). Karenanya, konsep “tanah janji” tidak bisa dijadikan dasar penindasan terhadap bangsa lain.

 

Ali Syariati, pemikir Islam revolusioner asal Iran, dalam Man and Islam (1981), menegaskan bahwa agama tidak boleh dijadikan instrumen dominasi politik atau etnis. Agama sejatinya adalah energi moral untuk membebaskan manusia dari ketidakadilan, bukan untuk menjustifikasi penjajahan.

 

Maka, mitos politik seperti The Promised Land sejatinya adalah bentuk penyimpangan spiritual yang menjadikan Tuhan sebagai pembenar ambisi manusia.

 

Menolak Mitos

 

Roger Garaudy, filsuf Prancis yang kemudian memeluk Islam, dikenal sangat kritis terhadap Zionisme dan politik pendirian negara Israel. Dalam berbagai karya dan wawancaranya, ia dengan tegas menyebut proyek negara Israel sebagai bentuk kolonialisme modern yang disamarkan dengan narasi religius tentang “Tanah yang Dijanjikan.” Berikut beberapa ucapan dan pandangan penting Roger Garaudy tentang tanah rampasan dan mitos “The Promised Land”:

 

Pertama, Tentang Tanah Rampasan yang Disebut “Tanah yang Dijanjikan”. Dalam bukunya Les Mythes fondateurs de la politique israélienne (Mitos-Mitos Pendiri Politik Israel, 1996), Garaudy menulis: “Tanah yang mereka sebut ‘dijanjikan oleh Tuhan’ itu sebenarnya adalah tanah yang dirampas dengan kekerasan dari penduduk aslinya.

 

Tidak ada janji ilahi yang bisa membenarkan kejahatan terhadap kemanusiaan.” Ia menegaskan bahwa apa yang disebut The Promised Land hanyalah mitos yang dipolitisasi untuk menjustifikasi perampasan tanah rakyat Palestina.

 

Kedua, Tentang Zionisme sebagai Kolonialisme. Dalam buku yang sama, ia menulis: “Zionisme bukanlah gerakan keagamaan, melainkan ideologi kolonial yang menggunakan simbol-simbol agama untuk menutupi ekspansi dan penjajahan.” Garaudy melihat bahwa Zionisme sejatinya tidak berbeda dengan kolonialisme Eropa abad ke-19 yang menjajah Afrika dan Asia. Bedanya, kali ini agama dijadikan tameng ideologis.

 

Ketiga, Tentang Penyalahgunaan Kitab Suci. Masih dalam Les Mythes fondateurs, ia menulis: “Mereka menjadikan Kitab Suci sebagai senjata politik, bukan sumber moralitas. Dengan mengubah pesan spiritual menjadi justifikasi geografis, mereka telah mengubah wahyu menjadi alat penindasan.” Garaudy menolak keras klaim bahwa teks-teks Taurat bisa dijadikan dasar untuk merampas tanah bangsa lain.

 

Keempat, Tentang Keadilan dan Hak Asasi Manusia. Dalam wawancara yang dimuat oleh Le Monde Diplomatique (1998), Garaudy menegaskan: “Tidak ada bangsa yang bisa mengklaim hak istimewa atas bumi ini. Keadilan bukan milik satu kaum; ia adalah amanat bagi seluruh umat manusia.” Ia mengingatkan bahwa penderitaan kaum Yahudi di masa lalu (terutama Holocaust) tidak boleh dijadikan alasan untuk menindas bangsa lain.

 

Kelima, Kritik terhadap Barat. Dalam Appel aux Vivants (1997), ia menulis: “Dunia Barat menutup mata terhadap penjajahan Israel karena mitos ‘tanah janji’ telah menjadi bagian dari keyakinan peradaban Barat itu sendiri. Mereka lupa bahwa setiap tanah yang direbut dengan darah, bukanlah tanah suci, melainkan tanah rampasan.”

 

Bagi Roger Garaudy, mitos “Tanah yang Dijanjikan” adalah “justifikasi teologis bagi kejahatan politik.” Ia menganggap bahwa klaim keagamaan tidak pernah bisa menjadi dasar kepemilikan tanah atau kedaulatan. Yang menentukan adalah keadilan, kemanusiaan, dan hak penduduk asli atas tanahnya sendiri.

 

Dalam satu kalimat yang sering dikutip, ia menyatakan: “Tanah yang dijanjikan Tuhan tidak mungkin diperoleh dengan membunuh anak-anak Palestina. Jika itu yang mereka sebut janji Tuhan, maka itu bukan Tuhan, melainkan berhala.”

 

Mitos ini terus hidup dalam kebijakan luar negeri Israel hingga kini. Pemerintah Israel secara konsisten menggunakan narasi “hak historis” atas Yerusalem dan wilayah sekitarnya untuk membenarkan tindakan aneksasi. Ironisnya, banyak negara Barat, terutama Amerika Serikat, turut memperkuat mitos tersebut demi kepentingan politik global mereka.

 

John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt dalam The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy (2007) menunjukkan bagaimana lobi pro-Israel di Amerika mempengaruhi kebijakan luar negeri AS, termasuk dalam dukungan militer dan diplomatik tanpa syarat terhadap Israel. Akibatnya, rakyat Palestina menjadi korban dari mitos politik yang terus direproduksi melalui media, diplomasi, dan bahkan kurikulum pendidikan.

 

Mitos politik “The Promised Land” adalah contoh nyata bagaimana narasi keagamaan dapat dimanipulasi untuk tujuan politik dan kekuasaan. Ia menunjukkan bahwa mitos bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan kekuatan ideologis yang membentuk realitas masa kini.

 

Dalam konteks global, membongkar mitos ini berarti membuka jalan bagi keadilan dan perdamaian yang sejati, bukan berdasarkan klaim keagamaan eksklusif, melainkan atas dasar kemanusiaan universal. Meski demikian, bagi umat Islam, perjuangan membebaskan palestina dari penjajahan israel adalah panggilan iman. Mesti ada jihad dan khilafah untuk membebaskan Palestina secara totalitas.

 

Sebagaimana diingatkan Edward Said, “Kita tidak akan pernah mencapai perdamaian sejati sebelum kita mampu mengkritisi mitos yang menutupi ketidakadilan.” Maka, memahami mitos The Promised Land bukan hanya soal sejarah, tetapi juga kesadaran teologis : bahwa tidak ada tanah yang dijanjikan untuk dijajah, kecuali bumi kaum muslimin yang dimana kiblat pertama umat Islam berada di atasnya.

 

Referensi

 

  1. Armstrong, Karen. Jerusalem: One City, Three Faiths. New York: Knopf, 1996.
  2. Said, Edward W. The Question of Palestine. New York: Vintage Books, 1979.
  3. Barthes, Roland. Mythologies. Paris: Éditions du Seuil, 1957.
  4. Mearsheimer, John J., & Walt, Stephen M. The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy. New York: Farrar, Straus and Giroux, 2007.
  5. Syariati, Ali. Man and Islam. Tehran: Shariati Foundation, 1981.
  6. Al-Qur’an, Surah Al-A‘rāf: 128

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1167/12/10/25 : 08.45 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad