Oleh : Ahmad Sastra
Demokrasi modern kerap dipuji sebagai sistem politik
terbaik karena memberikan ruang partisipasi rakyat, mengakui kesetaraan
politik, serta memberi mekanisme pergantian kekuasaan secara damai.
Namun, di balik idealitas tersebut, demokrasi juga
menuai kritik fundamental: persaingan elektoral sering melahirkan pemimpin yang
pandai memainkan citra, bukan pemimpin yang memiliki integritas moral; politisi
yang menyesuaikan janji, bukan memperjuangkan kebenaran; pemimpin yang unggul
dalam retorika, bukan dalam kejujuran dan kompetensi.
Dalam bahasa sindiran, demokrasi sering dituduh
sebagai sistem yang “menghasilkan pemimpin pendusta dan palsu”. Sistem demokrasi
yang berbiaya mahal terlihat lebih memuja elektabilitas dan mengabaikan
etikabilitas, intelektualitas dan profesionalitras.
Secara teori, demokrasi bertumpu pada kedaulatan
rakyat. Namun dalam praktik, terutama dalam demokrasi elektoral modern,
kemenangan sering ditentukan oleh kemampuan membangun persepsi, bukan oleh
kualitas substansi.
Persaingan politik mengubah ruang publik menjadi arena
pemasaran, dan kandidat politik menjadi “produk” yang harus dikemas sedemikian
rupa agar menarik di mata pemilih. Jacques Ellul (1962) menyebut bahwa
masyarakat modern menjadi sangat rentan terhadap propaganda karena informasi
diproduksi secara masif dan manusia hanya mampu menangkap sebagian kecil
darinya.
Dalam konteks ini, politisi yang paling berhasil
seringkali adalah mereka yang: (1) mampu mengatakan apa yang ingin didengar
publik, (2) menyembunyikan informasi yang merugikan, (3) memodifikasi narasi
agar sesuai dengan selera mayoritas, dan (4) mengandalkan konsultan pencitraan,
bukan gagasan orisinal.
Fenomena ini menyebabkan demokrasi rentan melahirkan pemimpin
yang dobrakannya bukan pada fakta, tetapi pada manipulasi persepsi. Seperti
dikatakan Neil Postman dalam Amusing Ourselves to Death (1985), politik
di era media menjadi tontonan, bukan pertarungan gagasan. Jika politik menjadi
hiburan, maka pemimpinnya adalah aktor, bukan negarawan.
Salah satu kritik terbesar terhadap demokrasi modern
adalah ketidaksesuaian antara janji kampanye dan realitas pemerintahan. Janji
politik seringkali tidak lebih dari: (1) alat menarik suara, (2) retorika
kosong, dan (3) pesan yang disesuaikan dengan target pemilih tanpa komitmen
moral.
Kajian David Runciman (2013) dalam The Confidence
Trap menjelaskan bahwa demokrasi sering terjebak dalam paradoks: ia
bertahan lama karena fleksibel, tetapi fleksibilitas itu pula yang membuat
politisi mudah mengingkari janji tanpa konsekuensi serius.
Dalam pemilu, kandidat yang paling jujur justru sering
kalah, karena: (1) janji realistis dianggap tidak menarik, (2) program rasional
sulit bersaing dengan populisme, (3) pemilih lebih mudah diyakinkan oleh simplicity
bias (pesan sederhana tetapi menyesatkan).
Akibatnya, demokrasi menciptakan insentif bagi
politisi untuk: (1) mengurangi kejujuran demi daya tarik, (2) memperbesar
kebohongan demi kekuasaan, dan (3) membangun persona palsu demi elektabilitas. Dengan
kata lain, sistem itu sendiri memberi ganjaran kepada pendusta yang efektif.
Kapitalisasi Citra dan Manipulasi Emosi
Politik demokratis juga berjalan melalui logika
kapitalisme media dan industri konsultansi. Kandidat yang ingin menang harus
memiliki: (1) sumber dana besar, (2) akses ke media, (3) tim pencitraan
profesional, dan (4) kemampuan memengaruhi algoritma digital.
Dalam literatur political marketing, seperti
dijelaskan Jennifer Lees-Marshment (2011), politisi modern diproduksi seperti
produk komersial: diuji, disurvei, diubah, dan dikemas sesuai keinginan pasar.
Ketika politik tunduk pada logika pasar, maka otentisitas hilang, dan kepalsuan
menjadi komoditas.
Emosi publik juga menjadi target utama manipulasi.
Cass Sunstein (2017) mencatat bahwa algoritma media sosial memperkuat polarisasi
dan memperbesar insentif bagi politisi untuk menggunakan ujaran provokatif,
sensasional, atau manipulatif — karena konten semacam ini lebih mudah viral.
Hasilnya, pemimpin palsu dan pendusta justru mendapat panggung lebih besar.
Salah satu patologi demokrasi modern adalah munculnya
pemimpin populis, tokoh yang mengaku “penyelamat rakyat” tetapi menggunakan
retorika hiperbolis dan klaim palsu untuk memobilisasi dukungan. Maka, jangan
heran jika banyak artis justru bertaransformasi jadi pejabat, padahal sangat
dipertanyakan kapasitasnya. Mereka tak lebih hanya ingin menambah pundi-pundi
materi, taka da pikiran tentang nasib rakyat.
Populisme muncul karena: (1) kekecewaan rakyat
terhadap elite, (2) ketidakpuasan ekonomi, (3) kerinduan akan pemimpin kuat. Namun
populisme sering kali menghasilkan pemimpin yang: (1) memanipulasi emosi massa,
(2) memproduksi musuh imajiner, (3) menawarkan solusi sederhana untuk masalah
kompleks, dan (4) mengklaim diri “mewakili rakyat” padahal memecah belah.
Jan-Werner Müller (2016) menegaskan bahwa inti
populisme adalah klaim moral palsu: hanya mereka yang mewakili rakyat yang
sesungguhnya, sedangkan yang lain dianggap tidak sah. Klaim ini membuka ruang
kebohongan struktural, karena kebenaran digantikan oleh narasi identitas dan
loyalitas.
Sistem demokrasi idealnya berjalan dengan prasyarat
besar: warga negara yang terdidik secara politik. Namun banyak negara
menghadapi situasi sebaliknya: (1) rendahnya literasi politik, (2) ketergantungan
pada media sosial sebagai sumber utama informasi, (3) dominasi hoaks dan
disinformasi, dan (4) polarisasi politik yang ekstrem.
Ketika pemilih tidak memiliki kecakapan kritis, mereka
menjadi sasaran empuk manipulasi. Dalam situasi ini, pemimpin yang manipulatif
justru lebih berpeluang menang daripada pemimpin yang jujur. Alexis de
Tocqueville dalam Democracy in America (1835) sudah memperingatkan hal
ini: demokrasi dapat terjebak dalam tyranny of the majority, ketika
opini populer mengalahkan kebenaran rasional.
Demokrasi modern menghadapi tantangan serius akibat
logika pemasaran politik, dominasi media, polarisasi, kerapuhan literasi
publik, serta tekanan kapital. Semua faktor itu menciptakan kondisi yang subur
bagi munculnya pemimpin yang pandai berjanji tetapi miskin integritas; mahir
beretorika tetapi miskin etika; unggul dalam pencitraan tetapi rapuh dalam
kejujuran.
Pernyataan bahwa demokrasi melahirkan pemimpin
pendusta dan palsu memiliki dasar kuat dalam teori dan praktik. Namun
kritik ini bukan alasan untuk meninggalkan demokrasi, melainkan panggilan untuk
memperbaikinya.
Demokrasi akan tetap rentan selama kebenaran
dikalahkan oleh citra, integritas dikalahkan oleh retorika, dan kualitas
pemimpin ditentukan oleh popularitas semata. Tantangan terbesar demokrasi bukan
pada sistemnya, tetapi pada manusia yang menjalankannya dan masyarakat yang
memilihnya.
Sistem Islam Melahirkan Pemimpin Ideal
Sistem politik Islam dibangun di atas fondasi akidah,
syariah, dan akhlak, sehingga orientasi kepemimpinan tidak sekadar
administratif atau teknokratis, tetapi juga moral dan spiritual.
Pemimpin dalam Islam diwajibkan memiliki takwa sebagai
syarat utama, karena takwa menjadi pemandu etika dalam kekuasaan. Al-Māwardī dalam Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah
menegaskan bahwa pemimpin (imam/khalifah) harus memiliki integritas moral,
menjauhi kezaliman, dan memprioritaskan kemaslahatan publik.
Dengan demikian, sistem Islam sejak awal mendesain
kekuasaan sebagai amanah, bukan sekadar jabatan politik. Orientasi sakral
inilah yang membedakan model kepemimpinan Islam dari sistem sekuler yang
seringkali bebas nilai.
Selain bertaqwa, sistem Islam menuntut pemimpin yang profesional
dan memiliki kompetensi. Prinsip al-amānah (kepercayaan) dan al-kifā’ah
(kapabilitas) menjadi standar yang ditegaskan Al-Qur’an dalam kisah Nabi Yusuf:
“Sesungguhnya aku adalah penjaga yang amanah dan berpengetahuan” (QS.
Yusuf: 55).
Para ulama seperti Ibn Taymiyyah dalam As-Siyāsah
As-Syar’iyyah menegaskan bahwa kekuasaan harus diberikan kepada orang yang
paling kuat kapasitasnya dan paling amanah moralnya, bukan kepada orang yang
paling populer.
Sejarah Islam menunjukkan standar ini diterapkan
ketat, misalnya dalam pemilihan para gubernur dan panglima pada masa Khulafā’
Rāsyidīn, yang berdasarkan integritas dan kompetensi, bukan kepentingan
politik.
Sistem Islam juga secara struktural melahirkan
pemimpin yang pro rakyat melalui mekanisme syura, keadilan sosial, dan larangan
keras terhadap penindasan. Khalifah Umar bin Khattab terkenal sebagai simbol
pemimpin pro rakyat: ia membuka akses pengaduan publik, hidup sederhana, dan
memprioritaskan kesejahteraan warga, sebagaimana dicatat oleh Muhammad Husayn
Haykal dalam Al-Faruq Umar.
Prinsip-prinsip seperti maqāṣid al-syarī‘ah
(perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) juga menjamin bahwa
kebijakan negara wajib berorientasi pada kemaslahatan umum, bukan elit
tertentu. Dengan demikian, sistem Islam mengikat pemimpin secara moral dan
hukum untuk memihak rakyat dan melawan segala bentuk eksploitasi.
Pada akhirnya, sistem politik Islam menyatukan antara spiritualitas,
kompetensi, dan keadilan sosial sebagai pilar kepemimpinan. Takwa memastikan
integritas moral, profesionalisme memastikan efektivitas kerja, dan
keberpihakan kepada rakyat memastikan lahirnya kebijakan berkeadilan.
Literatur klasik maupun modern dari Al-Māwardī hingga
Wael Hallaq menunjukkan bahwa struktur syariah dirancang untuk mencegah
kekuasaan koruptif dan mendorong lahirnya pemimpin yang adil dan bertanggung
jawab. Karena itu, sistem Islam bukan hanya konsep normatif, tetapi model
kepemimpinan komprehensif yang berorientasi pada kemaslahatan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Māwardī. (1996). Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah.
Dār al-Fikr.
Ellul, J. (1962). Propaganda: The formation of
men’s attitudes. Vintage Books.
Hallaq, W. (2013). The Impossible
State: Islam, Politics, and Modernity’s Moral Predicament. Columbia
University Press.
Haykal, M. H. (1999). Al-Faruq Umar.
Dār al-Ma‘ārif.
Ibn Taymiyyah. (1998). As-Siyāsah
As-Syar’iyyah. Mu’assasah al-Risālah.
Lees-Marshment, J. (2011). Political marketing:
Principles and applications (2nd ed.). Routledge.
Müller, J.-W. (2016). What is populism?
University of Pennsylvania Press.
Postman, N. (1985). Amusing ourselves to death:
Public discourse in the age of show business. Penguin Books.
Runciman, D. (2013). The confidence trap: A history
of democracy in crisis from World War I to the present. Princeton
University Press.
Sunstein, C. R. (2017). #Republic: Divided
democracy in the age of social media. Princeton University Press.
Tocqueville, A. de. (1835). Democracy in America.
Saunders and Otley.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1191/26/11/25
: 09.34 WIB)

