MAKIN OTORITER KEKUASAAN, MAKA MAKIN CEPAT KERUNTUHANNYA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Kisah Fir‘aun yang diceritakan dalam Al-Qur’an bukan sekadar narasi masa lampau; ia berfungsi sebagai studi kasus politis dan moral tentang bagaimana kekuasaan yang otoriter, ditopang kesombongan, penindasan, dan klaim legitimasi absolut, mengandung benih-benih kehancurannya sendiri.

 

Analisis lintas disiplin (teks religius, sejarah, dan teori politik) menunjukkan pola yang berulang: rezim yang mengedepankan dominasi total dan mengabaikan mekanisme akuntabilitas cenderung memicu resistensi, isolasi, dan pada akhirnya runtuh secara cepat atau dramatis.

 

Dalam berbagai surat, Al-Qur’an menggambarkan Fir‘aun sebagai penguasa yang menolak kebenaran, menindas rakyatnya, dan mengklaim dirinya setara dengan ilah. Penolakan Fir‘aun terhadap seruan Nabi Musa, upaya pembungkaman terhadap kebenaran, serta tindakan-tindakan represifnya (pembunuhan, perbudakan, intimidasi terhadap kelompok yang lemah) menjadi inti cerita yang menegaskan bagaimana tirani beroperasi.

 

Tirani adalah legitimasi diri lewat kekuasaan, bukan berdasarkan kebaikan bersama atau hukum yang adil. Narasi ini tidak hanya berfungsi moral, ia juga mempertontonkan dinamika politik: penyalahgunaan sumber daya, kontrol informasi, dan paksaan sebagai instrumen mempertahankan kekuasaan.

 

Teori politik modern mengidentifikasi beberapa mekanisme internal yang membuat rezim otoriter rapuh meski tampak kuat : Pertama, personalisasi kekuasaan (pemimpin sentral yang menjadi simbol dan pengambil-keputusan tunggal) menciptakan celah pengganti legitimasi.

 

Kedua, penggunaan teror dan represifitas luas memecah kepercayaan sosial dan menghancurkan jaringan sipil yang dapat menopang stabilitas jangka panjang; ketiga, penyeragaman institusi untuk menyokong rezim membuat sistem tidak adaptif di hadapan guncangan eksternal atau internal.

 

Juan J. Linz menjelaskan perbedaan bentuk-bentuk otoritarianisme dan bagaimana struktur personalistik dan sultanistik cenderung lebih mudah runtuh ketika elite pendukung atau aparatus keamanan mundur atau kehilangan legitimasi.

 

Kaitkan Fir‘aun dengan teori, mengapa sifat zolim mempercepat kejatuhan?
Kekejaman Fir‘aun sebagai simbol penindasan sistemik menciptakan dua kondisi berbahaya bagi kelangsungan rezim. Pertama, penindasan memproduksi korban dan saksi yang pada saatnya dapat menjadi agen resistensi (baik terang-terangan maupun subversif).

 

Kedua, kesombongan struktural (keyakinan bahwa kekuasaan absolut tak tergoyahkan) mengarah pada keputusan rasional yang buruk: mengabaikan nasihat, menolak kompromi, dan mengambil langkah-langkah yang mempercepat isolasi internasional maupun internal.

 

Alhasil, apa yang tampak sebagai puncak kekuatan menjadi paradoks, mempercepat proses yang justru menghancurkan kekuasaan itu sendiri. Fenomena ini sejalan dengan temuan kajian sejarah politik yang menyatakan bahwa isolasi sosial dan moral adalah pemicu runtuhnya rezim totaliter.

 

Kisah Fir‘aun juga menyorot peran pendukung rezim, baik kalangan elite, aparat keamanan, maupun massa yang terkooptasi dalam menjaga atau merongrong rezim. Runtuhnya dukungan elite (contoh: ketika aparat menjadi ragu menegakkan kebijakan represif) seringkali menjadi momen kunci.

 

Di banyak studi tentang otoritarianisme, termasuk analisis modern atas rezim sultanistik, transisi dimulai ketika biaya dukungan melebihi manfaat bagi para pendukung internal.

 

Dengan kata lain, ketika rezim menekan terlalu keras hingga merusak jaringan patronase, loyalitas membeli kompromi, dan aparatus keamanan menjadi kurang reliabel, keruntuhan menjadi lebih cepat. Narasi Fir‘aun yang berakhir dengan runtuhnya kekuasaan dan rakyat yang selamat sebagai saksi, menggambarkan pola ini secara dramatik.

 

Pelajaran yang relevan bagi pembuat kebijakan dan masyarakat modern adalah: kekuasaan yang ingin tahan lama mesti dibangun di atas legitimasi, akuntabilitas, dan ruang-ruang partisipasi, bukan pada penindasan dan klaim absolut. Institusi yang kuat, kebebasan sipil terbatas tapi ada mekanisme korektif, serta saluran distribusi keadilan menjadi penyangga terhadap kerusakan sistemik.

 

Selain itu, sejarah dan teks religius mengingatkan bahwa legitimasi moral memiliki bobot penting: penguasa yang mengabaikan martabat manusia dan keadilan sosial akhirnya menghadapi krisis loyalitas dan delegitimasi. Ini bukan hanya peringatan normatif, melainkan observasi empiris yang konsisten dalam kajian politik dan sejarah.

 

Kisah Fir‘aun bukan sekadar peringatan spiritual, ia adalah literatur politik yang kaya pelajaran : otoriterisme sistemik, keserakahan akan kekuasaan, dan penekanan terhadap kebenaran memproduksi dinamika yang dalam jangka atau secara tiba-tiba, mempercepat kejatuhan rezim itu sendiri.

 

Teori politik modern menguatkan pelajaran ini dengan bukti bahwa personalisasi kekuasaan, penggunaan teror, dan pengikisan institusi sipil membuat rezim tampak kuat namun hakikatnya rapuh. Makin otoriter, maka kekuasaan makin rapuh. Makin rapuh, maka makin cepat runtuh.

REFERENSI

Arendt, H. (1951). The Origins of Totalitarianism. Harcourt, Brace & Company.

Ibn Kathir. Tafsir Ibn Kathir (terkait kisah Fir‘aun dan Nabi Musa). (versi ringkasan/penjelasan tersedia online).

Linz, J. J. (2000). Totalitarian and Authoritarian Regimes. Lynne Rienner Publishers. 

Shaw, I. (2003). The Oxford History of Ancient Egypt. Oxford University Press. 

QuranProject / sumber terjemahan online. (n.d.). Ringkasan narasi Fir‘aun dalam Al-Qur’an.


(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1190/26/11/25 : 05.18 WIB)

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad