UNTUK APA BERKUASA, JIKA HANYA MERUSAK LINGKUNGAN DAN MENGEJAR DUNIA



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Indonesia, terutama Pulau Sumatra, menghadapi kerentanan tinggi terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor. Intensitas dan frekuensi kejadian dipengaruhi oleh interaksi antara dinamika alam (curah hujan ekstrem, pola iklim) dan intervensi manusia, seperti deforestasi, perubahan penggunaan lahan, dan perencanaan ruang yang kurang responsif terhadap risiko.

 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat total korban meninggal dunia imbas banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat mencapai 303 orang sampai Sabtu (29/11) sore.

 

Kepala BNPB Suharyanto mengatakan korban meninggal paling banyak berasal dari Sumatra Utara (Sumut) dengan 166 korban jiwa. "Saya akan uraikan dari Sumut, korban jiwa yang kemarin 116 korban jiwa, sekarang menjadi 166 jiwa meninggal dunia. Kemudian 143 jiwa yang masih hilang," ucap Suharyanto.

 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa bencana hidrometeorologi, termasuk banjir, banjir bandang, cuaca ekstrem, dan tanah longsor, merupakan salah satu jenis bencana yang paling sering terjadi di Indonesia.

 

Provinsi/daerah di Pulau Sumatra, dengan topografi yang beragam, dataran rendah, dataran sungai, hingga pegunungan dan lereng curam, memiliki potensi risiko tinggi terhadap banjir dan longsor. Studi pemetaan risiko di Sumatera Utara (SUMUT), misalnya, mengidentifikasi 12 kabupaten/kota sebagai wilayah dengan “risiko sangat tinggi” terhadap banjir, dan 15 wilayah sebagai sangat rawan longsor.

 

Fenomena bencana alam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari faktor alamiah (curah hujan, topografi, pola iklim), tetapi juga faktor antropogenik, terutama perubahan penggunaan lahan, deforestasi, urbanisasi, dan perencanaan ruang yang buruk.

 

Indonesia, termasuk Sumatra, berada di wilayah tropis dengan pola hujan musiman. Variabilitas iklim, termasuk fenomena intraseasonal seperti Madden–Julian Oscillation (MJO), diketahui berperan dalam memodulasi curah hujan ekstrem dengan periode aktif MJO meningkatkan probabilitas kejadian presipitasi ekstrem di wilayah barat dan utara Indonesia hingga 70%.

 

Dalam jangka panjang, perubahan iklim global memperburuk kondisi tersebut, dengan potensi meningkatnya frekuensi dan intensitas hujan ekstrem yang kemudian meningkatkan peluang banjir bandang dan longsor. Banyak kajian bencana menekankan bahwa mitigasi tidak semata soal reaksi pasca bencana, tetapi adaptasi sistemik terhadap perubahan iklim dan mode pembangunan.

 

Hutan dan tutupan vegetasi memegang peran krusial dalam siklus hidrologi: akar pohon menstabilkan tanah, menyerap air hujan, dan mengurangi limpasan permukaan. Saat vegetasi hilang akibat deforestasi atau konversi lahan, kemampuan penyimpanan air berkurang, air hujan lebih cepat mengalir sebagai permukaan (surface runoff), memicu banjir serta longsor, terutama di daerah hulu dan lereng curam.

 

Menurut analisis oleh lembaga riset lingkungan, deforestasi hulu secara langsung meningkatkan potensi bencana di hilir, termasuk banjir dan longsor di daerah jelajah sungai dan permukiman di dataran rendah.

 

Dari sisi tata ruang, studi pemetaan di Sumut menunjukkan bahwa risiko bencana sangat dipengaruhi oleh variabel-variabel seperti kemiringan lereng, topografi, bentuk lahan, dan penutup lahan (land cover). Jika pembangunan dilakukan tanpa mempertimbangkan peta risiko, misalnya membangun permukiman atau infrastruktur di zona rawan longsor atau banjir, maka potensi bencana akan selalu ada.

 

Banyak penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa mitigasi bencana yang efektif memerlukan gabungan langkah struktural (infrastruktur, teknik sipil), non-struktural (edukasi, kesadaran masyarakat, sistem peringatan dini), serta kebijakan pengelolaan lingkungan dan tata guna lahan.

 

Sebagai contoh, studi di daerah rawan longsor menekankan pentingnya terasering, dinding penahan, sistem drainase, serta penguatan vegetasi di lereng sebagai upaya untuk menurunkan risiko longsor. Di sisi lain, literatur menunjukkan bahwa mitigasi non-struktural, pelatihan masyarakat, sosialisasi tanggap darurat, edukasi risiko, juga penting untuk meningkatkan kapasitas adaptif komunitas.

 

Dengan munculnya teknologi dan era data modern, beberapa penelitian menawarkan pendekatan baru: misalnya menggunakan kecerdasan buatan (AI) dan data sains untuk prediksi hujan ekstrem, peringatan dini, analisis kerentanan, dan sistem keputusan cepat untuk penanggulangan bencana.

 

Pendekatan ini bisa meningkatkan ketepatan dan kecepatan respons, serta mendukung perencanaan dan mitigasi jangka panjang. Namun demikian, efektivitasnya sangat tergantung pada keberpihakan kebijakan dan komitmen institusi.

 

Dalam konteks ini, “kekuasaan”, pemerintahan pusat, pemerintah daerah, serta aktor-aktor pengambil keputusan, memiliki peran penting dalam menentukan apakah daerah berisiko akan tetap rentan atau mampu mengurangi risiko. Bila kebijakan difokuskan pada eksploitasi sumber daya alam (misalnya konversi lahan, izin tambang/ perkebunan, pembangunan infrastruktur tanpa analisis risiko), maka kekuasaan menjadi instrumen perusakan dan memperbesar bahaya.

 

Sebaliknya, jika kekuasaan dipahami sebagai amanah, maka kebijakan pembangunan harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan keberlanjutan ekologis, serta melindungi masyarakat dari dampak risiko alam.

 

Hal ini menuntut: (1) Integrasi kebijakan mitigasi dan adaptasi dengan perencanaan pembangunan jangka panjang. (2) Transparansi dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan tata ruang, izin lahan, konservasi hulu, dan kebijakan lingkungan (3) Alokasi anggaran nyata untuk mitigasi, peringatan dini, rehabilitasi kawasan kritis, serta pengembangan kapasitas lokal

 

Terdapat beberapa hambatan dalam penerapan mitigasi dan pengelolaan risiko, antara lain: Pertama, Keterbatasan data dan pemetaan risiko, meskipun sudah ada studi pemetaan seperti di Sumut, banyak daerah lain yang belum memiliki peta risiko terintegrasi; tanpa peta risiko, perencanaan ruang dan izin pembangunan mudah mengabaikan bahaya.

 

Kedua, Kepentingan ekonomi jangka pendek, pembangunan infrastruktur, izin perkebunan atau tambang, konversi lahan untuk pemukiman sering diprioritaskan tanpa evaluasi risiko bencana atau dampak lingkungan.

 

Ketiga, Rendahnya kapasitas dan kesadaran lokal, mitigasi struktural dan non-struktural memerlukan partisipasi masyarakat; tanpa edukasi dan pelibatan warga, program mitigasi sering gagal atau tidak berkelanjutan.

 

Keempat, Fragmentasi kebijakan dan koordinasi lemah antar pemerintah pusat, daerah, dan komunitas, mitigasi bencana seringkali dipandang sebagai urusan “darurat” atau “tanggap” saja, bukan bagian integral dari pembangunan.

 

Perbaikan memerlukan pendekatan komprehensif : pengembangan peta risiko berbasis data (topografi, tutupan lahan, hidrologi), konservasi dan rehabilitasi hulu, regulasi ketat atas izin lahan, pendidikan mitigasi bencana, serta penerapan teknologi modern termasuk AI dan sistem peringatan dini dalam kerangka kebijakan yang adil dan berkelanjutan.

 

Berdasarkan analisis di atas, berikut rekomendasi kebijakan: Pertama, Pemetaan Risiko Berbasis GIS. Semua provinsi/kabupaten/kota di Sumatra dan wilayah berpotensi bencana harus membuat peta risiko banjir dan longsor dengan variabel topografi, kemiringan lereng, tutupan lahan, DAS (daerah aliran sungai). Ini menjadi dasar izin tata ruang dan pembangunan infrastruktur. (mirip studi di SUMUT)

 

Kedua, Konservasi dan Rehabilitasi Kawasan Hulu. Kebijakan tegas terhadap deforestasi, pengawasan perizinan, serta program reboisasi atau restorasi lahan kritis (hulu DAS), agar fungsi ekologis sungai dan lereng bisa dipulihkan. (mengacu data deforestasi dan kaitannya dengan bencana)

 

Ketiga, Investasi Infrastruktur Mitigasi dan Drainase. Pembangunan sistem drainase, terasering di lereng, dinding penahan di zona rawan, kolam retensi air, terutama di area hulu dan bantaran sungai untuk menahan limpasan air dan tanah longsor. (bersandar pada praktik mitigasi longsor dan banjir).

 

Keempat, Sistem Peringatan Dini dan Teknologi dan Data Sains. Mengadopsi sistem informasi berbasis AI/data-science untuk prediksi hujan ekstrem, model kerentanan, peringatan dini, dan sistem respons cepat pada kejadian ekstrem.

 

Kelima, Pendidikan Mitigasi & Partisipasi Masyarakat. Edukasi risiko, simulasi darurat, penyuluhan di sekolah, pelibatan komunitas dalam perencanaan, agar kapasitas adaptasi dan respons lokal meningkat.

 

Keenam, Good Governance dan Transparansi Perizinan. Setiap keputusan perizinan lahan, pembangunan, konversi hutan harus berdasarkan analisis risiko dan dampak lingkungan; melibatkan masyarakat terdampak dan mempertimbangkan keberlanjutan ekologis.

 

Bencana alam di Sumatra, secara struktural, tidak bisa dilepaskan dari interaksi antara faktor alam dan keputusan manusia, dimulai dari tanda tangan pejabat. Kerentanan yang tinggi adalah hasil akumulasi kebijakan: deforestasi, konversi lahan, perencanaan ruang tanpa memperhatikan risiko, serta prioritas ekonomi jangka pendek.

 

Kekuasaan, bila hanya dipakai untuk mempercepat pembangunan dan mengejar keuntungan akan memperkuat ketidakadilan dan memperbesar kemungkinan kehancuran ketika alam “berbicara” melalui hujan ekstrem, banjir atau longsor. Bencana alam karena kerusakan alam adalah contoh nyata betapa buruknya penerapan sistem kapitalisme yang dikuasai oleh para oligarki rakus dan pejabat serakah.

 

Sebaliknya, jika kekuasaan dipahami sebagai amanah, tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan, maka kekuasaan dapat menjadi instrumen perlindungan, mitigasi, dan keadilan ekologis.

 

Dengan demikian, tujuan pembangunan tidak boleh sebatas “kemajuan ekonomi” dalam arti sempit; harus mempertimbangkan dimensi ekologis, sosial, dan keberlanjutan. Hanya dengan itu, kita bisa menjawab pertanyaan mendasar: untuk apa berkuasa jika tidak untuk menjaga, melindungi, dan memelihara kehidupan, melainkan hanya untuk merusak alam dan mengejar dunia ?.

 

Daftar Pustaka

Akhmad Taufan Maulana & Andriansyah Andriansyah. (2021). Mitigasi Bencana di Indonesia. COMSERVA.

Retongga, I. N. (2024). Mitigasi Bencana Longsor sebagai Dasar Penurunan Risiko Bencana di Sepanjang Jalan Karanganyar–Karanggayam. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Nusantara.

Idrus, I., & Umar, B. (2024). Mitigasi Bencana Banjir Akibat Longsor pada Daerah Aliran Sungai terhadap Ketersediaan Air Bersih di Kecamatan Dondo. Jurnal Bangunan Konstruksi (BARAKKA), 2(1), 46–52.

Safii Damanik, M. R., & Restu, R. (2012). Pemetaan Risiko Banjir dan Longsor Sumatera Utara Berbasis Sistem Informasi Geografis. Jurnal Geografi.

Muhammad, F. R., Lubis, S. W., & Setiawan, S. (2020). Impacts of the Madden–Julian Oscillation on Precipitation Extremes in Indonesia. arXiv.

Sinambela, M. & Suharini, Y. S. (2025). Pendekatan AI dan Data Sains dalam Bencana Geo-Hidrometeorologi di Sumatera Utara. TAMIKA.

Hidayat, M., & Assegaf, A. H. (2024). Komunikasi Risiko Mitigasi Bencana Hidrometeorologi dan Dampak Kerusakan Lingkungan. Jurnal Komunikatio.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No. 1192/30/11/25 : 05.05 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad