KAPITALISME DAN BENCANA HIDROMETEOROLOGI



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Di Indonesia dan khususnya di wilayah rawan seperti pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan wilayah hulu-sungai bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor telah menjadi bagian tragis dari kehidupan sehari-hari. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengindikasikan bahwa sebagian besar bencana yang terjadi di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir adalah bencana hidrometeorologi.

 

Namun, penyebab utama dari meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana ini bukan hanya karena perubahan iklim global atau intensitas hujan ekstrem semata. Di balik banyak tragedi alam tersebut, terdapat dinamika struktural: deforestasi masif, konversi lahan secara besar-besaran, urbanisasi agresif, dan pembangunan tanpa perencanaan ekologis, semua ini seringkali digerakkan oleh logika keuntungan ekonomi cepat.

 

Dengan kata lain: sistem kapitalisme yang mengejar akumulasi modal cepat, dan kolusi antara oligarki industri dengan pejabat yang memberi izin, turut bertanggung jawab terhadap bencana ekologis.

 

Indonesia termasuk negara dengan kerentanan tinggi terhadap bencana hidrometeorologi. Curah hujan tinggi, iklim tropis, pola cuaca ekstrem, serta geografi yang terdiri dari banyak lereng dan daerah hulu–hilir membuat banyak wilayah rawan banjir dan longsor.

 

Menurut data terkini, sebagian besar kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi, termasuk banjir, longsor, dan cuaca ekstrem lain seperti angin kencang atau badai kecil.

 

Studi kuantitatif menunjukkan bahwa perubahan tutupan lahan di daerah DAS (Daerah Aliran Sungai) dan zona hulu secara signifikan memengaruhi risiko banjir dan luas genangan. Misalnya, penelitian pada DAS Cimanuk menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim mempengaruhi peningkatan inundasi (genangan banjir) di bagian hulu dan hilir sungai.

 

Lebih lanjut, penelitian terkini menggunakan kombinasi penginderaan jauh (remote sensing) dan model statistik / machine learning menunjukkan bahwa konversi lahan terutama hilangnya hutan primer atau vegetasi alami menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap longsor di daerah lereng dan hulu sungai.

Secara umum, kerusakan ekosistem alam, khususnya hilangnya hutan dan resapan air — dan perubahan iklim global berinteraksi untuk memperbesar kemungkinan bencana hidrometeorologi.

 

Deforestasi, Konversi Lahan dan Sistem Kapitalisme Ekstraktif

 

Mengapa terjadi deforestasi dan konversi lahan secara massif ?. Di baliknya, terdapat logika ekonomi-politik yang kuat: eksploitasi sumber daya alam untuk keuntungan cepat guna industri kelapa sawit, pertambangan, perkebunan besar, atau perluasan lahan permukiman dan infrastruktur komersial. Banyak laporan menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan akibat konversi lahan ini menjadi pemicu utama meningkatnya bencana ekologis.

 

Konversi hutan menjadi perkebunan, tambang, atau kawasan industri seringkali dilakukan dengan izin resmi oleh pejabat. Di banyak kasus, izin ini diberikan dalam “perselingkuhan” antara oligarki (pelaku bisnis besar) dengan elit politik atau birokrasi mengabaikan aspek lingkungan, ekologis, dan keselamatan masyarakat luas. Praktik seperti ini merupakan manifestasi nyata dari kapitalisme ekstraktif, di mana alam diperlakukan sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi demi keuntungan.

 

Akibatnya, fungsi ekologis penting seperti resapan air, penahan erosi, penahan aliran air hujan, dan stabilitas tanah hilang menggantikan hutan lebat dengan perkebunan monokultur, tambang, atau beton sehingga ketika hujan ekstrem terjadi, dampaknya menjadi jauh lebih besar: banjir bandang, longsor, tanah terkikis, sungai meluap, dan suplai air bersih terganggu. Hal ini bukan lagi “bencana alam murni,” melainkan bencana sistemik yang disebabkan oleh relasi kekuasaan, politik, dan kapital.

 

Krisis Iklim, Konsumsi Global, dan Peran Sistem Ekonomi

 

Selain deforestasi, krisis iklim global  yang sebagian besar didorong oleh emisi gas rumah kaca dari industri, transportasi, dan produksi massal juga memperparah potensi hujan ekstrem dan peristiwa iklim ekstrim lain. Bencana hidrometeorologi tidak bisa dileparkan dari konteks global perubahan iklim.

 

Dalam sistem kapitalisme global, konsumsi dan produksi massal, ekspansi industri, dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek menjadi tujuan utama. Akibatnya, praktik lingkungan yang destruktif sering diabaikan ketika keuntungan finansial lebih diprioritaskan daripada keberlanjutan ekologis dan kesejahteraan rakyat jangka panjang.

 

Ketika iklim berubah, pola hujan dan ekstrem cuaca meningkat; jika di saat yang sama pengelolaan lingkungan dan tata ruang gagal menjaga ekosistem resapan air hilang, hutan ditebang, sungai dikeruk/dipersempit, maka potensi bencana meningkat drastis. Inilah simbiosis antara krisis iklim global dan krisis kapitalisme lokal yang secara struktural mendukung kerusakan lingkungan dan memperbesar risiko bencana.

 

Mekanisme Perselingkuhan Sistemik

 

Salah satu aspek penting yang sering kurang mendapat sorotan adalah mekanisme institusional yakni bagaimana izin-izin untuk deforestasi, konversi lahan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur diberikan.

 

Ketika pejabat (pemerintah daerah maupun pusat) memberi izin tanpa analisis dampak lingkungan serius atau bahkan dengan motif korupsi, nepotisme, atau tekanan oligarki, maka keputusan itu bukan hanya moral-politik yang problematik, tetapi juga ekologi dan kemanusiaan.

 

Beberapa peneliti dan aktivis lingkungan telah mengecam legalisasi deforestasi dan ekspansi industri di hutan sebagai penyebab utama “bencana ekologis.” Dengan kondisi demikian, bencana alam bukan lagi fenomena alam semata, melainkan konsekuensi dari kebijakan manusia, kebijakan yang dipengaruhi oleh kepentingan modal, oligarki, dan korupsi.

 

Akibat dari kombinasi kondisi di atas, deforestasi, konversi lahan, krisis iklim, korupsi izin, dampaknya tidak hanya ekologis, tetapi juga sosial dan ekonomi: (1) Hilangnya mata pencaharian masyarakat lokal, terutama komunitas adat, petani kecil, atau masyarakat bergantung hutan. (2) Kehilangan hunian dan pemukiman akibat banjir bandang atau longsor. (3) Kerugian ekonomi besar: infrastruktur rusak, fasilitas publik hancur, biaya rekonstruksi tinggi, migrasi internal warga. (4) Ketidakadilan sosial: korban bencana seringkali adalah masyarakat yang termarjinalkan, bukan oligarki atau elit yang mendapat keuntungan besar.

 

Dengan demikian, bencana hidrometeorologi di banyak wilayah Indonesia harus dipahami sebagai bencana ekologis dan struktural, yang dihasilkan oleh sistem ekonomi-politik yang tidak adil dan ekologi yang dirusak secara disengaja.

 

Ketika kekuasaan politik dan ekonomi dipergunakan untuk mengejar keuntungan semata melalui konversi hutan, pembangunan eksploitatif, dan izin yang mudah, maka kekuasaan menjadi instrumen destruktif, bukan pelindung.

 

Sebaliknya, jika kekuasaan dipahami sebagai tanggung jawab terhadap rakyat dan alam, maka harus ada paradigma pembangunan alternatif: yang berlandaskan keadilan lingkungan, konservasi, tata ruang berkelanjutan, dan pelibatan masyarakat.

 

Hal ini berarti: Pertama, Peninjauan ulang izin-izin konversi lahan dan ekstraksi sumber daya dengan analisis dampak lingkungan dan sosial menyeluruh. Kedua, Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam kebijakan tata ruang dan pembangunan.

 

Ketiga, Perlindungan terhadap hutan, DAS, resapan air, kawasan konservasi, bukan sebagai hal sekunder, melainkan sebagai elemen utama dari pembangunan. Keempat, Integrasi mitigasi dan adaptasi bencana dalam perencanaan ekonomi dan pembangunan, bukan sebagai beban tambahan, tetapi sebagai unsur fundamental.

 

Dengan demikian, kekuasaan seharusnya menjadi alat untuk melindungi kehidupan rakyat dan lingkungan, bukan untuk memfasilitasi perusakan demi keuntungan segelintir pihak.

 

Bencana hidrometeorologi di Indonesia, seperti banjir, banjir bandang, dan longsor dalam banyak kasus bukan semata “akibat alam,” melainkan konsekuensi sistemik dari deforestasi, konversi lahan, perubahan iklim, dan kolusi antara oligarki dan pejabat. Sistem kapitalisme ekstraktif, yang menempatkan keuntungan finansial di atas keberlanjutan ekologis dan keselamatan manusia, memainkan peran sentral dalam memproduksi kerentanan ekologis dan sosial.

 

Dengan demikian, setiap upaya mitigasi bencana dan adaptasi iklim harus disertai dengan reformasi struktural: reformasi dalam tata kelola lingkungan, pertanahan, izin usaha, dan paradigma pembangunan. Tanpa itu, kekuasaan tetap akan menjadi alat perusakan dan rakyat tetap akan membayar mahal.

 

REFERENSI

 

Acemoglu, D., & Robinson, J. (2012). Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty. Crown.

Blaikie, P., & Brookfield, H. (1987). Land Degradation and Society. Methuen.

BNPB. (2023). Laporan Tahunan Bencana Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

BRIN. (2022). Kajian Bencana Hidrometeorologi dan Perubahan Iklim di Indonesia. Badan Riset dan Inovasi Nasional.

BRIN. (2024). Analisis Banjir Bandang Sumatra Barat. Pusat Riset Kebencanaan.

CIFOR. (2021). Deforestation Dynamics in Indonesia. Center for International Forestry Research.

FAO. (2020). Global Forest Resources Assessment.

Global Forest Watch. (2021). Indonesia Deforestation Report.

Hadiz, V. R., & Robison, R. (2017). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. Routledge.

ICEL. (2021). Tambang dan Banjir Kalimantan. Indonesian Center for Environmental Law.

ICEL. (2022). Analisis Lubang Tambang dan Dampaknya.

KLHK. (2022). Status Hutan dan Kehutanan Indonesia.

UNDP. (2020). Climate Risk Country Profile: Indonesia.

WRI (World Resources Institute). (2021). Forest and Land Use in Indonesia.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1192/30/11/25 : 10.28 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad