Oleh : Ahmad Sastra
Telah nyata di hadapan manusia kerusakan yang melanda
daratan dan lautan, sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an: “Telah tampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia” (QS.
Ar-Rum [30]: 41).
Ayat ini menjadi dasar teologis bahwa krisis ekologis
dan sosial bukan terjadi secara tiba-tiba, tetapi merupakan konsekuensi dari
perilaku manusia yang mengabaikan batas-batas moral dan hukum syariat.
Para mufassir seperti Ibn Katsir menegaskan bahwa
kerusakan itu mencakup bencana alam, kekeringan, hilangnya keberkahan, serta
kerusuhan sosial, yang kesemuanya muncul akibat manusia menuruti hawa nafsu dan
meninggalkan ketaatan kepada Allah.
Salah satu bentuk ulah tangan manusia yang menjadi
penyebab utama kerusakan adalah praktik kemaksiatan struktural yang terlembaga
melalui sistem kapitalisme modern.
Kapitalisme, menurut Harvey (2014), bekerja dengan
logika akumulasi tanpa batas, memprioritaskan keuntungan di atas keberlanjutan
lingkungan dan kesejahteraan manusia.
Dalam konteks ini, perilaku rakus dan konsumtif bukan
sekadar sifat individu, tetapi menjadi bagian dari sistem ekonomi yang
mendorong eksploitasi berlebihan terhadap alam. Ketika manusia menuhankan
materi dan menjadikan keuntungan sebagai standar moral, maka kerusakan ekologis
menjadi keniscayaan.
Lebih jauh, penerapan kapitalisme global telah
menghasilkan kelompok oligarki yang menguasai sumber-sumber ekonomi strategis. Oligarki
ini, menurut Winters (2011), adalah kelompok kecil yang memiliki kontrol tidak
proporsional terhadap kekayaan dan kekuasaan, sehingga mampu mengarahkan
kebijakan negara sesuai kepentingan mereka sendiri.
Dalam banyak kasus, kebijakan yang dihasilkan lebih
menguntungkan elite ketimbang masyarakat luas, seperti eksploitasi hutan,
penambangan besar-besaran, dan privatisasi sumber daya alam. Situasi ini
menunjukkan bahwa kekayaan dunia, betapapun besarnya, tidak akan pernah cukup
bagi kelompok yang terjebak dalam logika akumulasi tanpa batas.
Kerakusan ini diperparah oleh pejabat-pejabat yang
kehilangan integritas moral dan bersekutu dengan kelompok oligarki. Dalam teori
state capture, Hellman dan Kaufmann (2001) menjelaskan bagaimana pejabat
publik dapat dimanipulasi atau ikut terlibat dalam melanggengkan kebijakan yang
menguntungkan kelompok kaya.
Fenomena ini terjadi ketika pejabat tidak lagi
berfungsi sebagai pelayan publik, tetapi berubah menjadi agen kepentingan
oligarki. Akibatnya, keputusan politik sering kali mengorbankan kelestarian
lingkungan, keadilan sosial, dan kesejahteraan rakyat banyak.
Dalam perspektif Islam, Rasulullah ﷺ telah mengingatkan bahwa kecintaan berlebihan terhadap dunia
adalah akar segala kerusakan moral: “Cinta dunia adalah pangkal segala
kesalahan” (HR. Baihaqi).
Kerusakan yang terjadi di darat dan lautan adalah
refleksi dari krisis moral dan struktural yang bersumber dari sistem ekonomi
yang tidak mengenal batas dan aktor-aktor yang menuhankan keuntungan. Untuk
mengatasi kerusakan ini, diperlukan transformasi paradigma yang berorientasi
pada keadilan, keberlanjutan, dan tanggung jawab moral terhadap ciptaan Allah.
Islam menawarkan paradigma alternatif yang menekankan
amanah, keseimbangan (mīzān), dan larangan berbuat kerusakan (lā tufsidu fī
al-ard). Tanpa perubahan fundamental dalam cara manusia memandang kekayaan,
kekuasaan, dan tanggung jawab, kerusakan bumi hanya akan semakin bertambah,
sebagaimana diperingatkan oleh para ilmuwan dan ulama sepanjang zaman.
Pengelolaan ekologi berbasis syariah Islam
Pengelolaan ekologi berbasis syariah Islam menawarkan
pendekatan menyeluruh yang menempatkan manusia sebagai khalifah yang
bertanggung jawab menjaga bumi, bukan mengeksploitasinya secara serampangan.
Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah telah menjadikan
manusia sebagai khalīfah fī al-ard (QS. Al-Baqarah [2]: 30), yang
berarti manusia wajib menjaga keseimbangan alam dan dilarang membuat kerusakan
(fasād) di bumi (QS. Al-A’raf [7]: 56). Konsep ini tidak sekadar
moral-spiritual, tetapi juga menjadi prinsip dasar dalam tata kelola lingkungan
yang berkelanjutan.
Para ulama seperti Al-Qaradawi (2001) menekankan bahwa
syariah Islam memiliki seperangkat aturan yang secara eksplisit mengatur
pelestarian hutan, perlindungan sumber air, dan pengelolaan sumber daya alam
secara adil.
Selain menjaga lingkungan, pendekatan ekologis
berbasis syariah juga berdampak langsung pada kesejahteraan sosial. Dalam
Islam, seluruh sumber daya alam pada hakikatnya merupakan “hak publik” (al-ḥuqūq
al-'āmmah) yang tidak boleh dimonopoli oleh individu atau oligarki, sebagaimana
ditegaskan dalam hadis Nabi ﷺ: “Manusia
berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud).
Prinsip ini
menunjukkan bahwa ketentuan syariah menolak komersialisasi total atas
sumber-sumber vital kehidupan dan memastikan masyarakat memiliki akses yang
adil terhadap kebutuhan dasar.
Model pengelolaan ini sangat relevan dalam konteks
modern, ketika privatisasi dan eksploitasi berlebihan sering kali merugikan
masyarakat kecil dan memperbesar ketimpangan ekonomi.
Dengan demikian, tata kelola lingkungan berbasis
syariah tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme konservasi ekologis, tetapi
juga sebagai instrumen kesejahteraan masyarakat.
Studi akademik seperti karya Foltz (2010) dan Izzi
Dien (2000) menunjukkan bahwa etika lingkungan Islam memadukan antara
spiritualitas, hukum, dan aspek sosial-ekonomi sehingga menghasilkan sistem
pengelolaan yang holistik dan berkeadilan.
Ketika prinsip-prinsip ini diterapkan secara
konsisten, ia mampu menciptakan keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya dan
keberlanjutan generasi mendatang.
Dengan kata lain, syariah Islam menyediakan kerangka
ekologis yang tidak hanya menyelamatkan lingkungan, tetapi juga memastikan
pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Manajemen Ekologi Yang Membawa Rahmat
Penerapan ajaran Islam secara kaffah berarti
menghadirkan prinsip-prinsip syariah dan nilai moral Islam dalam seluruh aspek
kehidupan, termasuk tata kelola lingkungan dan kesejahteraan manusia.
Al-Qur’an memerintahkan kaum beriman untuk “masuk ke
dalam Islam secara keseluruhan” (QS. Al-Baqarah [2]: 208), yang oleh para
mufassir seperti Al-Tabari dipahami sebagai kewajiban mengamalkan seluruh nilai
Islam, bukan hanya sebagian.
Ketika prinsip kaffah ini diwujudkan dalam
praktik sosial, ekonomi, dan ekologis, Islam tidak sekadar menjadi sistem nilai
spiritual, tetapi kerangka etika yang mengatur hubungan manusia dengan alam
secara bertanggung jawab dan berkeadilan.
Islam juga membawa visi penyelamatan lingkungan dengan
menempatkan manusia sebagai penjaga amanah bumi. Konsep khilāfah al-insān
dalam QS. Al-An’am [6]: 165 dan QS. Al-Baqarah [2]: 30 menunjukkan bahwa
manusia wajib mengelola bumi dengan prinsip keseimbangan (mīzān)
sebagaimana ditegaskan dalam QS. Ar-Rahman [55]: 7–8.
Para ulama kontemporer seperti Izzi Dien (2000) dan
Seyyed Hossein Nasr (1996) menekankan bahwa etika lingkungan Islam didasarkan
pada larangan melakukan kerusakan (fasād) dan kewajiban memelihara
kelestarian alam.
Dengan demikian, penerapan nilai-nilai Islam secara
menyeluruh bukan hanya persoalan spiritual, tetapi juga solusi untuk mengatasi
krisis ekologis yang diakibatkan pola konsumsi dan eksploitasi yang tidak
berkelanjutan.
Akhirnya, prinsip bahwa Islam diturunkan sebagai
“rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107) menjadi landasan teologis
bahwa syariah dan etika Islam membawa keberkahan bagi manusia, hewan, tumbuhan,
dan seluruh ekosistem.
Ulama seperti Al-Razi dan Al-Qurtubi menafsirkan ayat
ini sebagai penegasan bahwa misi kenabian mencakup perbaikan moral, sosial, dan
ekologis. Ketika nilai rahmatan lil ‘alamin diterapkan dalam kebijakan publik,
tata kelola lingkungan, dan etika sosial, ia akan melahirkan masyarakat yang
adil, harmonis, dan berkelanjutan.
Dengan demikian, menghadirkan Islam secara kaffah
bukan hanya panggilan keimanan, tetapi upaya komprehensif untuk menyelamatkan
lingkungan dan menjaga keberlanjutan hidup seluruh makhluk. Penerapan syariah
secara kaffah hanya bisa diwujudkan dalam daulah Islam, yakni khilafah
islamiyah.
Daftar Referensi
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and
Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.
Al-Faruqi, Ismail R. Islamization of Knowledge:
General Principles and Workplan. Herndon, VA: International Institute of
Islamic Thought (IIIT), 1982.
Al-Qaradawi, Yusuf. Ri‘ayat al-Bi’ah fi al-Shari‘ah
al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Shuruq, 2001.
Bagader, Abubakr Ahmed, et al. Environmental
Protection in Islam. 2nd ed. Gland: IUCN—International Union for
Conservation of Nature, 1994.
Foltz, Richard C., Frederick M. Denny, and Azizan
Baharuddin, eds. Islam and Ecology: A Bestowed Trust. Cambridge, MA:
Harvard University Press, 2003.
Izzi Dien, Mawil Y. The Environmental Dimensions of
Islam. Cambridge: Lutterworth Press, 2000.
Kamali, Mohammad Hashim. Environmental Care in
Islam: A Qur’anic Perspective. Kuala Lumpur: IAIS Malaysia, 2017.
Nasr, Seyyed Hossein. Man and Nature: The Spiritual
Crisis of Modern Man. Chicago: ABC International Group, 1997.
Saniotis, Arthur. “Muslims and Ecology: Fostering
Islamic Environmental Ethics.” Contemporary Islam 6, no. 2 (2012):
155–171.
Sardar, Ziauddin. Exploring Islam: Theology and
Society in the Middle East. London: Christopher Hurst, 2011.
UNEP (United Nations Environment Programme). Faith
for Earth: A Call for Action. Nairobi: UNEP, 2020.
World Bank. The Cost of Environmental Degradation:
Indonesia Case Study. Washington, DC: World Bank, 2019.
Zehdi, Salih. Al-Fiqh al-Bi’i: Dirasah fi Usul
al-Tashri‘ al-Islami wa Mawqi‘ih min Qadaya al-Bi’ah. Beirut: Dar al-Fikr
al-Mu‘asir, 2010.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1194/01/12/25 : 13.32
WIB)

