KETIKA ORMAS HANYA JADI BANCAKAN JABATAN DAN UANG



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Organisasi kemasyarakatan (ormas) pada hakikatnya dibentuk sebagai wadah partisipasi warga, sarana memperjuangkan kepentingan publik, dan ruang untuk membangun solidaritas sosial. Di Indonesia, keberadaan ormas dijamin oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 (yang direvisi melalui Perppu No. 2 tahun 2017), yang menegaskan bahwa ormas berfungsi memperkuat demokrasi, meningkatkan kesejahteraan, serta menjadi mitra negara dalam pembangunan.

 

Namun, idealitas tersebut sering berbenturan dengan realitas. Dalam dua dekade terakhir, muncul fenomena ketika sebagian ormas berubah dari alat pemberdayaan menjadi “bancakan jabatan dan uang”, yakni ruang perebutan posisi, dana, dan keuntungan politik. Fenomena ini tidak hanya menurunkan legitimasi ormas, tetapi juga mengganggu kesehatan demokrasi dan kehidupan masyarakat sipil.

 

Akar Permasalahan: Ormas dalam Medan Patronase Politik

 

Secara historis, ormas di Indonesia memiliki hubungan yang sangat erat dengan kekuasaan. Pada masa Orde Baru, banyak ormas dijinakkan melalui mekanisme patronase: negara memberikan fasilitas, jabatan, dan perlindungan, sementara ormas diwajibkan mendukung kebijakan pemerintah (Mietzner, 2009). Struktur patronase ini tidak hilang setelah reformasi, tetapi justru melebar seiring kompetisi politik yang semakin terbuka.

 

Dalam struktur patronase tersebut, jabatan dalam ormas sering diperlakukan sebagai aset politik yang dapat meningkatkan posisi tawar seseorang di hadapan elite. Kepemimpinan ormas dapat membuka akses kepada calon legislatif, pemerintah daerah, atau partai politik. Ketika ormas menjadi “kendaraan politik”, maka posisi pimpinan bukan lagi representasi aspirasi anggota, melainkan alat untuk membangun kekuasaan personal.

 

Fenomena inilah yang menyebabkan konflik internal, perebutan kepengurusan, hingga munculnya “kubu-kubu” dalam ormas besar. Bagi sebagian aktor politik, ormas bukan lagi ruang pengabdian sosial, melainkan ladang investasi politik.

 

Di era demokrasi elektoral, massa adalah aset bernilai ekonomi dan politik. Ormas yang memiliki anggota besar atau basis massa kuat sering dilirik politisi sebagai sumber dukungan suara. Fenomena “sewa massa”, mobilisasi demonstrasi berbayar, hingga jual-beli dukungan politik adalah gejala yang banyak dibahas oleh para peneliti masyarakat sipil (Aspinall & Berenschot, 2019).

 

Dana yang masuk ke ormas tidak selalu transparan. Dalam beberapa kasus, dana bantuan pemerintah (hibah), dana proyek CSR, serta dukungan dari kandidat politik mudah disalahgunakan. Ketika aliran dana tidak disertai mekanisme akuntabilitas yang kuat, organisasi rentan menjadi sarang kepentingan personal.

 

Bukan hanya dana politik, tetapi juga proyek sosial, pengelolaan aset ormas, hingga honorarium kegiatan bisa menjadi sumber konflik. Pada titik ini, ormas tidak lagi menjadi organisasi sosial, tetapi berubah menjadi arena ekonomi, tempat para elite berlomba memperoleh keuntungan material.

 

Salah satu faktor utama mengapa ormas mudah menjadi bancakan jabatan dan uang adalah lemahnya tata kelola internal. Banyak ormas tidak memiliki mekanisme audit independen, laporan keuangan yang terbuka, atau sistem rekrutmen yang profesional. Keputusan penting kerap bergantung pada figur tertentu, dan tidak ada mekanisme “check and balance”.

 

Dalam kajian masyarakat sipil, organisasi yang kuat membutuhkan tiga unsur: transparansi, partisipasi anggota, dan akuntabilitas publik (Edwards, 2011). Ketika ketiganya tidak terpenuhi, ormas mudah didominasi oleh elite sempit.

 

Ketiadaan sistem kaderisasi juga menyebabkan posisi pimpinan menjadi rebutan. Jika tidak ada mekanisme regenerasi yang sehat, jabatan akan direbut oleh mereka yang memiliki modal finansial atau koneksi politik. Akhirnya, ormas kehilangan legitimasi moral dan sosial.

 

Ketika ormas menjadi bancakan jabatan dan uang, dampak sosialnya sangat signifikan. Pertama, terjadi degradasi moral organisasi. Aktivitas ormas tidak lagi berorientasi pada pemberdayaan, tetapi sekadar kegiatan seremonial untuk mendapatkan anggaran. Kader tidak dididik dengan etika pengabdian, melainkan dilatih untuk mengejar proyek.

 

Kedua, fungsi sosial masyarakat sipil melemah. Ormas seharusnya menjadi mediator antara negara dan rakyat, penyambung aspirasi, sekaligus mekanisme kontrol terhadap kekuasaan. Namun, ketika ormas justru bersekutu dengan elite politik demi kepentingan finansial, fungsi pengawasan masyarakat menjadi mandul.

 

Ketiga, hilangnya kepercayaan publik. Masyarakat menjadi sinis dan tidak percaya pada lembaga sosial. Studi menunjukkan bahwa kepercayaan publik sangat menentukan efektivitas organisasi masyarakat sipil (Putnam, 2000). Jika kepercayaan hilang, ormas tidak akan mampu menjalankan perannya, bahkan bisa dianggap beban sosial.

 

Keempat, munculnya konflik horizontal. Perebutan jabatan antar-kubu sering berujung kekerasan. Di berbagai daerah, konflik internal ormas bahkan berpotensi menimbulkan kerawanan keamanan.

 

Untuk mengembalikan ormas sebagai institusi yang sehat, beberapa langkah strategis perlu dilakukan. Pertama, memperkuat tata kelola organisasi. Ormas harus memiliki laporan keuangan yang diaudit, sistem promosi kader yang jelas, dan proses pemilihan yang transparan. Pemerintah dapat mendorong model good governance melalui regulasi, tanpa mengintervensi independensi organisasi.

 

Kedua, menutup celah korupsi dan politik uang. Bantuan pemerintah atau dukungan pihak ketiga harus berbasis program, bukan kedekatan personal. Transparansi publik perlu diperketat.

 

Ketiga, membangun budaya etika organisasi. Ormas harus menanamkan nilai pengabdian, integritas, dan kepemimpinan yang bersih. Pendidikan kader harus diarahkan pada nilai, bukan proyek.

 

Keempat, memperkuat masyarakat sipil independen. Ormas yang terlalu dekat dengan elite politik rentan dikendalikan. Karena itu, penting menjaga jarak sehat antara ormas dan kekuasaan.

 

Kelima, memulihkan fungsi advokasi. Ormas harus kembali menjadi ruang kritik konstruktif, bukan sekadar pendukung kekuasaan. Dengan reformasi struktural dan perubahan etika, ormas dapat kembali pada tujuan awal: memperkuat solidaritas masyarakat, mengembangkan kepemimpinan berbasis moral, dan menjadi pilar demokrasi yang sehat.

 

Ormas sebagai Wadah Amar Ma’ruf Nahi Munkar

 

Organisasi kemasyarakatan (ormas) memiliki peran penting dalam menggerakkan partisipasi publik, memperkuat solidaritas sosial, serta menjadi wadah perjuangan nilai-nilai kebaikan. Dalam perspektif Islam, keberadaan ormas sangat terkait dengan tugas kolektif umat untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran).

 

Prinsip ini bukan hanya ajaran moral individual, tetapi juga mandat sosial yang memerlukan struktur, kepemimpinan, dan tata organisasi yang tertib. Karena itu, ormas dalam Islam tidak sekadar entitas sosial, melainkan instrumen peradaban yang melanjutkan misi profetik: menyebarkan nilai kemaslahatan, keadilan, dan kepedulian terhadap sesama.

 

Secara normatif, dasar syariat mengenai fungsi sosial ini terdapat dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 104 yang berbunyi: “Hendaklah ada di antara kalian satu kelompok yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

 

Ayat ini, menurut Al-Tabari dan Ibn Katsir, menegaskan pentingnya adanya ṭā’ifah (kelompok terorganisir) yang bergerak secara sistematis untuk menjaga moral publik dan melakukan koreksi sosial ketika terjadi penyimpangan. Dengan kata lain, ormas yang berorientasi pada nilai Islam memiliki legitimasi teologis untuk mengisi ruang publik melalui kerja-kerja sosial, pendidikan, advokasi, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat.

 

Dalam sejarah peradaban Islam, fungsi ormas dalam menguatkan amar ma’ruf nahi munkar dapat dilihat pada institusi-institusi klasik seperti hisbah, awqaf, dan majelis-majelis keilmuan. Institusi hisbah, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Mawardi dalam Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, merupakan organisasi resmi maupun semi-organis yang bertugas menjaga etika pasar, mengawasi penipuan, mendorong keadilan, dan memastikan aktivitas sosial berjalan sesuai nilai syariah.

 

Di sisi lain, lembaga waqf juga menjadi “ormas sosial” yang mengelola dana publik untuk pendidikan, kesehatan, dan kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam sejak masa awal telah membangun pola organisasi masyarakat sipil yang kuat dan visioner.

 

Agar ormas tetap menjadi instrumen kebaikan dalam perspektif Islam, ada beberapa prinsip fundamental yang harus ditegakkan. Pertama, menjaga keikhlasan tujuan, sebagaimana diingatkan dalam QS. Al-Bayyinah [98]: 5 bahwa ibadah sosial tidak bernilai tanpa niat yang bersih.

 

Kedua, menerapkan prinsip kemaslahatan (al-maṣlaḥah al-‘āmmah) dalam setiap program sebagaimana diteorikan oleh Al-Ghazali dalam Al-Mustaṣfa. Ketiga, menegakkan akuntabilitas dan transparansi agar ormas tidak menjadi ruang penyimpangan kekuasaan dan finansial.

 

Keempat, mengedepankan dakwah yang penuh hikmah, sebagaimana perintah QS. An-Naḥl [16]: 125. Dengan cara ini, ormas dapat menjalankan peran profetiknya sebagai penggerak nilai kebaikan, penjaga moral sosial, dan penguat keadaban publik.

 

Dengan demikian, ormas dalam perspektif Islam adalah pilar masyarakat yang menghidupkan amanah amar ma’ruf nahi munkar melalui kerja kolektif yang terorganisir. Ia bukan hanya wadah berkumpul, tetapi institusi yang harus berperan sebagai agen perubahan, penegak keadilan, serta penyemaian rahmat bagi seluruh umat manusia. Ketika ormas menjaga integritas dan misinya, ia menjadi kekuatan transformasi sosial yang membawa manfaat nyata bagi masyarakat dan bangsa.

 

Konsep Partai Politik dalam Islam

 

Allah SWT mengisyaratkan hal ini didalam firman-Nya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (TQS. Ali ’Imran[3]: 104).

 

Imam Al-Qurthubi mendefinisikan kata (أمة) dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, sebagai sekumpulan orang yang terikat dalam satu akidah. Tetapi, menurutnya, umat dalam surat Ali ‘Imran ayat 104 ini juga bermakna kelompok karena adanya lafadz “minkum” (di antara kalian).

 

Imam Ath-Thabari, seorang faqih dalam tafsir dan fiqh, berkata dalam kitabnya Jami’ Al-bayan tentang arti ayat ini yakni: ‘’(Wal takun minkum) Ayuhal mu’minun (ummatun) jama’atun‘’, artinya: “Hendaknya ada di antaramu (wahai orang-orang beriman) umat )jama’ah yang mengajak pada hukum-hukum Islam(”.

 

Al-Qadhi Al-Baydhawi dalam kitabnya, Tafsir al-Baidhawi tentang arti ayat ini menyatakan: Lafadz Min —dalam ayat tersebut— mempunyai konotasi li at-tab’idh (menujukkan makna sebagian). Karena amar makruf dan nahi munkar merupakan fardhu kifayah.

 

Disamping karena aktivitas tersebut tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, ketika orang yang diperintah oleh nash tersebut harus mempunyai sejumlah syarat, yang tidak bisa dipenuhi oleh semua orang. Seperti pengetahuan tentang hukum, tingkat kecakapan, tatacara menunaikannya dan kemampuan melaksanakannya.

 

Perintah tersebut memang menyerukan kepada seluruhnya (umat Islam), namun yang diminta mengerjakannya hanya sebagian dari mereka. Itu membuktikan, bahwa perintah tersebut wajib untuk seluruhnya, sehingga ketika mereka meninggalkan pokok kewajiban tersebut, semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut dinyatakan gugur dengan dikerjakan oleh sebagian di antara mereka. (Al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz I, hal. 374).

 

 

Pada titik terakhir ini, Imam as-Syathibi memberikan penegasan, “Pada dasarnya mereka (kaum Muslim) dituntut untuk menunaikannya secara keseluruhan. Namun, mereka ada yang mampu melaksanakannya secara langsung. Mereka inilah orang-orang berkompeten untuk melaksanakannya. Sedangkan yang lain, meski mereka tidak mampu, tetapi tetap mampu menghadirkan orang-orang yang berkemampuan.

 

Jadi, siapa saja yang mampu menjalankan pemerintahan (wilayah), dia dituntut untuk melaksanakannya. Bagi yang tidak mampu, dituntut untuk melakukan perkara lain, yaitu menghadirkan orang yang mampu dan memaksanya untuk melaksanakannya. Kesimpulannya, yang mampu dituntut untuk menjalankan kewajiban tersebut, sementara yang tidak mampu dituntut untuk menghadirkan orang yang mampu.

 

Alasannya, karena orang yang mampu tersebut tidak akan ada, kecuali dengan dihadirkan. Ini merupakan bagian dari Ma la yatimmu al-wajib illa bihi, yaitu kewajiban yang hanya bisa dijalankan dengan sempurna dengan adanya perkara tadi.” (as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, juz I, hal. 128-129)

 

Ringkasnya, di dalam ayat itu disebutkan ‘Hendaknya ada di antara kamu segolongan umat …’, artinya, hendaknya ada sekelompok/segolongan orang dari kaum Muslim (ummatan minal muslimin atau jama’atan minal muslimin). Ayat ini menegaskan perintah kepada kaum Muslim tentang keharusan adanya kelompok/jama’ah.

 

Kelompok untuk apa? Untuk menjalankan dua fungsi: pertama, da’wah ilal khair (menyeru kepada al-khoir) dan kedua, amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari perkara munkar).

 

Kata al-khair dalam frase da’wah ilal khair menurut tafsir Jalalain berarti al-Islam (Tafsir al-Quran al-’Azhim li al-imamain Jalalain, hal. 58), sehingga makna da’wah ilal khair adalah mendakwahkan/menyeru manusia kepada Islam. Sementara itu, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa al-khair adalah mengikuti al-Quran dan as-Sunnah.

 

Maksud ayat tersebut, lanjutnya adalah hendaknya ada dari umat ini suatu kelompok yang solid dalam menjalankan tugas tersebut sekalipun hal itu juga merupakan kewajiban atas setiap individu umat ini (Ibn Katsir, Tafsir al-Quran al-’Azhim, Juz I, hal. 478). Berdasarkan hal ini, jelaslah kelompok yang dikehendaki Allah adalah kelompok yang secara penuh berjuang untuk menyerukan Islam.

 

Pada sisi lain, kelompok tersebut berbentuk partai politik. Hal ini dipahami dari fungsi kedua dari kelompok itu, yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Cakupan amar ma’ruf nahi munkar amat luas, termasuk di dalamnya menyeru para penguasa agar mereka berbuat ma’ruf (melaksanakan syariah Islam) dan melarangnya berbuat munkar (menjalankan sesuatu yang bertentangan dengan syariah Islam). Bahkan, mengawasi para penguasa dan menyampaikan nasihat kepadanya merupakan bagian terpenting dari aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.

 

Padahal, aktivitas demikian merupakan aktivitas politik sekaligus termasuk kegiatan politik yang amat penting, yang menjadi ciri utama kegiatan sebuah partai politik. Jadi, ayat tersebut mengisyaratkan tentang kewajiban mendirikan partai-partai politik yang berdasarkan Islam. Dengan kata lain, partai politik yang harus ada adalah partai politik yang tegak di atas ideologi (mabda) Islam atau partai Islam ideologis.

 

Berdasarkan hal tersebut, partai politik Islam adalah partai yang berideologi Islam, mengambil dan menetapkan ide-ide, hukum-hukum dan pemecahan problematika dari syariah Islam, serta metode operasionalnya mencontoh metode (thariqah) Rasulullah SAW.

 

Partai politik Islam adalah partai yang berupaya menyadarkan masyarakat dan berjuang bersamanya untuk melanjutkan kehidupan Islam. Partai politik Islam tidak ditujukan untuk meraih suara dalam Pemilu atau berjuang meraih kepentingan sesaat, melainkan partai yang berjuang untuk merubah sistem Sekular menjadi sistem yang diatur oleh syariah Islam.

 

Orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama semuanya haruslah didasarkan dan bersumber dari Islam.

 

Karenanya, partai Islam yang ideologis memiliki beberapa karakter, di antaranya:  Pertama, Dasarnya adalah Islam. Hidup matinya adalah untuk Islam. Kedua, Orang-orangnya adalah orang-orang yang berkepribadian Islam. Mereka berpikir berdasarkan Islam dan berbuat berdasarkan Islam.

 

Partai politik Islam terus menerus melakukan pembinaan kepada para anggotanya hingga mereka memiliki kepribadian Islam sekaligus memiliki pemikiran, perasaan, pendapat dan keyakinan yang sama, sehingga orientasi, nilai, cita-cita dan tujuannya pun sama.

 

Merekapun menjadi sumberdaya manusia (SDM) yang siap untuk menerapkan syariah Islam. Pada saat yang sama, ikatan yang menyatukan mereka bukan kepentingan atau uang melainkan akidah Islamiyah.

 

Ketiga, Memiliki amir/pemimpin partai yang menyatu dengan pemikiran Islam dan dipatuhi selama sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Nabi SAW bersabda, “Jika kalian bertiga dalam satu safar, tunjuklah amir satu di antaramu” (HR Muslim).

 

Keempat, Memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas terkait berbagai hal. Partai Islam haruslah memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas tentang sistem ekonomi, sistem politik, sistem pemerintahan, sistem sosial, sistem pendidikan, politik luar negeri, dll.

 

Semuanya harus tersedia dan siap untuk disampaikan. Konsepsi inilah yang disosialisasikan kepada masyarakat hingga mereka menjadikan penerapan semua sistem Islam tersebut sebagai kebutuhan bersama.

 

Syariah Islam inilah yang diperjuangkan untuk ditegakkan. Pada sisi lain, konsepsi tidak akan dapat dilakukan kecuali adanya metode pelaksanaan (thariqah). Dan metode pelaksanaan hukum Islam tersebut adalah melalui pemerintah yang menerapkan Islam. Upaya mewujudkan pemerintahan yang menerapkan hukum Islam (khilafah) tersebut merupakan arah yang dituju partai Islam.

 

Kelima, Mengikuti metode yang jelas dalam perjuangannya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pertama, melakukan pembinaan dan pengkaderan. Kedua, bergerak dan bergaul bersama dengan masyarakat. Ketiga, menegakkan syariah secara total dengan dukungan dan bersama dengan rakyat.

 

Keenam, Melakukan aktivitas: (1) Membangun tubuh partai dengan melakukan pembinaan secara intensif sehingga menyakini ide-ide yang diadopsi oleh partai. (2) Membina umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syara’ yang diadopsi oleh partai, sehingga tercipta opini tentang syari’at Islam sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah umat dan keharusan menerapkan syariah Islam dalam wadah Khilafah.

 

(3) Melakukan perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang bertentangan dengan Islam. (4) Melakukan koreksi terhadap penguasa yang tidak menerapkan Islam atau menzhalimi rakyat. (5) Perjuangan politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa yang zhalim.

 

Referensi

 

Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Cornell University Press.

Edwards, M. (2011). Civil Society. Polity Press.

Mietzner, M. (2009). Military Politics, Islam, and the State in Indonesia. ISEAS Publishing.

Putnam, R. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon & Schuster.

Salamon, L. M. (1999). The Third Sector and the Future of Public Governance. Brookings Institution Press.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1188/24/11/25 : 09.35 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad