Oleh : Ahmad Sastra
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
kembali menjadi sorotan publik karena memuat sejumlah pasal yang dinilai
berpotensi melemahkan perlindungan hak asasi manusia, memperluas kewenangan
aparat penegak hukum tanpa kontrol, serta membuka celah penyalahgunaan
kekuasaan.
Dalam perdebatan publik, polemik KUHAP bukan hanya
soal pasal-pasal prosedural, tetapi juga berkaitan erat dengan bagaimana
demokrasi Indonesia dipraktikkan—seringkali lebih bersifat retoris daripada
substantif. Konsep demokrasi retoris imajinatif dapat digunakan untuk
membaca relasi antara klaim negara tentang demokrasi dengan praktik pengambilan
keputusan hukum yang sering jauh dari semangat partisipasi, transparansi, dan
rasionalitas publik.
Akar Kontroversi : KUHAP sebagai Instrumen Kekuasaan
KUHAP adalah instrumen fundamental dalam menjamin
proses peradilan pidana yang adil (fair trial). Sejak disahkan pada
tahun 1981, KUHAP menggantikan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR),
produk kolonial yang sangat represif.
KUHAP hadir dengan semangat melindungi hak tersangka,
membatasi kekuasaan penyidik, serta menjamin proses hukum yang lebih manusiawi
(Muladi, 1995). Namun, revisi yang belakangan dilakukan justru dinilai sebagian
pihak sebagai langkah mundur.
Beberapa pasal yang dikritik antara lain: pelebaran
kewenangan penyadapan tanpa kontrol pengadilan, penahanan yang lebih longgar,
serta lemahnya standar due process. Banyak organisasi masyarakat sipil
seperti ICJR, KontraS, dan LBH menyatakan bahwa revisi KUHAP berpotensi
menciptakan rezim hukum yang represif. Inilah titik masuk persoalan demokrasi:
apakah hukum dibuat untuk memperkuat kontrol negara atau melindungi warga
negara?
Secara historis, hukum acara pidana sangat menentukan
watak relasi negara–warga. Negara demokratis menempatkan hukum acara sebagai
batas kekuasaan, sementara negara otoriter menggunakannya sebagai alat
menundukkan warga (Carnegie, 2015). Kontroversi KUHAP, dengan demikian,
menyingkap pertarungan antara dua model negara: yang demokratis dan yang
mengutamakan kontrol.
Konsep demokrasi retoris imajinatif merujuk
pada keadaan ketika demokrasi dipraktikkan hanya sebagai slogan indah tanpa
mekanisme deliberasi yang bermakna. Demokrasi terasa hidup dalam kata-kata,
tetapi tidak hadir dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks revisi
KUHAP, banyak pihak menilai bahwa proses legislasi dilakukan tanpa sosialisasi
memadai, minim konsultasi publik, dan dilakukan secara elitis.
Rapat-rapat pembahasan rancangan KUHAP sering
berlangsung tertutup, sementara dokumen draf sulit diakses publik. Kritik dari
akademisi dan lembaga bantuan hukum sering kali direspons sebatas formalitas,
tanpa mengubah substansi kebijakan. Dalam situasi seperti ini, musyawarah dan
partisipasi tidak menjadi alat mencapai kebijakan terbaik, melainkan sekadar
ornamen demokrasi.
Secara teoritis, Jurgen Habermas menggambarkan bahwa
demokrasi menuntut ruang publik yang rasional dan inklusif. Namun, ketika
legislator menggunakan bahasa transparansi tanpa menyediakan ruang deliberatif,
maka demokrasi berubah menjadi rhetorical democracy: demokrasi yang
hidup dalam pidato, bukan dalam struktur (Habermas, 1996). Imajinasi politik
warga, harapan akan sistem yang adil—ditransformasikan menjadi retorika kosong.
Salah satu argumentasi yang sering digunakan
pemerintah dalam memperluas kewenangan aparat penegak hukum adalah kebutuhan
menjaga stabilitas dan ketertiban. Namun, narasi keamanan ini sering kali
dipakai secara retoris untuk membenarkan limitasi terhadap kebebasan sipil.
Padahal, literatur hukum internasional menegaskan bahwa pembatasan hak harus
bersifat proporsional, jelas batasnya, dan melalui mekanisme kontrol yudisial
yang kuat (UN Human Rights Committee, 2014).
Dalam revisi KUHAP, misalnya, kewenangan penyadapan
diberikan tanpa persetujuan hakim. Hal ini berpotensi melanggar prinsip checks
and balances yang menjadi pilar demokrasi. Penahanan awal yang tidak
memerlukan pembuktian kuat juga membuka ruang represivitas. Dengan demikian,
revisi KUHAP menjelma instrumen perluasan kekuasaan negara, bukan perlindungan
warga.
Di sinilah letak paradoks: negara berbicara
menggunakan bahasa demokrasi—“melindungi masyarakat”, “menjamin kepastian
hukum”—tapi praktiknya menggerus prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Retorika yang digunakan membentuk imajinasi publik seolah-olah kebebasan adalah
ancaman, bukan hak.
Dalam demokrasi sehat, publik tidak sekadar menjadi
objek hukum, tetapi subjek yang berperan dalam pembentukan hukum. Namun, revisi
KUHAP menunjukkan betapa publik dikondisikan untuk menerima hukum sebagai
produk final, bukan proses bersama. Ketika masyarakat kritis dianggap sebagai
pemberi “gangguan”, maka demokrasi mengalami pembusukan dari dalam.
Konsep demokrasi retoris imajinatif di sini
menyingkap bagaimana imajinasi politik warga negara, yakni aspirasi menciptakan
sistem hukum yang adil—dipinggirkan. Retorika elit politik yang menggunakan
istilah “demi masyarakat” seolah-olah mewakili suara rakyat, padahal tidak
melibatkan rakyat. Ini adalah bentuk appropriation of imagination,
pengambilalihan imajinasi publik oleh narasi negara.
Selanjutnya, minimnya literasi hukum masyarakat turut
membuat retorika semakin efektif. Ketika publik tidak memiliki akses yang
memadai untuk memahami dampak pasal-pasal revisi, maka retorika “demi keamanan”
menjadi persuasif meskipun tidak rasional. Demokrasi akhirnya tereduksi menjadi
kompetisi retorika, bukan kontestasi gagasan substantif.
Banyak pakar berpendapat bahwa agar revisi KUHAP
mencerminkan demokrasi substantif, beberapa langkah perlu dilakukan. Pertama,
membuka proses legislasi secara penuh untuk diawasi publik melalui konsultasi,
publikasi draf, dan diskusi ilmiah terbuka. Kedua, memperkuat mekanisme kontrol
yudisial terutama dalam pembatasan hak seperti penahanan dan penyadapan.
Ketiga, meningkatkan literasi hukum masyarakat agar publik dapat terlibat
secara kritis, bukan sekadar pasif.
Demokrasi tidak boleh berhenti pada wacana. Ia harus
menjadi praktik politik yang melibatkan warga dalam membentuk kehidupan
bersama. Ketika hukum disusun melalui partisipasi publik dan deliberasi
rasional, imajinasi warga mengenai sistem keadilan yang ideal dapat diwujudkan
menjadi kebijakan nyata. Dengan demikian, kontroversi KUHAP seharusnya bukan
dipandang sebagai ancaman, tetapi peluang untuk memperbaiki kualitas demokrasi
Indonesia.
Para pakar politik juga memberikan anjuran bahwa demokrasi
retoris imajinatif harus ditransformasikan menjadi demokrasi imajinatif
substantif: demokrasi yang menggabungkan imajinasi akan keadilan dengan
proses politik yang transparan, rasional, dan inklusif. Jika revisi KUHAP dapat
diarahkan ke sana, Indonesia tidak hanya menjunjung demokrasi dalam kata-kata,
tetapi juga dalam tindakan.
Keunggulan Legislasi dalam Sistem Islam
Legislasi dalam sistem Islam memiliki karakteristik
unik yang membedakannya dari tradisi hukum lain, terutama karena bersumber dari
wahyu sekaligus rasionalitas manusia. Sistem ini tidak hanya menekankan
legalitas formal, tetapi juga moralitas, keadilan substantif, dan kemaslahatan
umum.
Dalam sejarah, hukum Islam berkembang menjadi sistem
yang komprehensif melalui interaksi antara teks suci (Al-Qur’an dan Sunnah),
ijtihad ulama, dan dinamika sosial politik. Keunggulan ini menjadikan legislasi
Islam relevan sebagai model etika hukum bercorak nilai, prinsip, dan
rasionalitas.
Pertama, legislasi Islam memiliki fondasi normatif
yang kokoh, yakni syariat yang menekankan keadilan (al-‘adl),
kemaslahatan (maslahah), dan pencegahan kerusakan (mafsadah).
Al-Qur’an secara tegas memerintahkan agar hukum ditegakkan secara adil tanpa
diskriminasi (QS. An-Nisa: 135).
Prinsip ini menjadi kerangka dasar bahwa setiap
kebijakan legislatif harus mengarah pada perlindungan hak manusia, bukan
sekadar melayani kepentingan penguasa. Fakhruddin ar-Razi dalam Mafâtih
al-Ghayb menegaskan bahwa keadilan adalah tujuan utama syariat karena
tanpanya masyarakat akan kehilangan legitimasi politik.
Kedua, legislasi Islam unggul dalam fleksibilitas
metodologis melalui konsep ijtihad. Ketika teks tidak memberikan
ketentuan eksplisit, para ulama menggunakan metode seperti qiyas, istihsan,
istislah, dan sadd al-dzari‘ah untuk merumuskan hukum baru.
Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjelaskan
bahwa syariat hadir untuk menjaga lima tujuan utama: agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta. Karena itu, hukum dapat berkembang mengikuti perubahan
zaman selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariat. Fleksibilitas ini
menjadikan legislasi Islam adaptif, berbeda dari pandangan yang menganggapnya
kaku.
Ketiga, sistem legislasi Islam menempatkan etika
sebagai inti hukum. Dalam tradisi Barat modern, hukum sering kali dipisahkan
dari moralitas. Namun, dalam Islam, hukum dan moralitas merupakan satu
kesatuan.
Imam al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din menegaskan
bahwa syariat adalah jalan menuju kemaslahatan moral-spiritual manusia, bukan
hanya mekanisme pengaturan sosial. Karena itu, legislasi Islam tidak hanya
memikirkan efek jangka pendek, tetapi juga dampak moral jangka panjang bagi
masyarakat.
Keempat, legitimasi legislasi dalam Islam tidak
bersifat absolut karena kekuasaan politik tidak boleh bertentangan dengan
syariat. Mekanisme seperti hisybah, peran qadhi, dan otoritas ulama
menjadi sistem kontrol untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Pada masa
klasik, Khalifah Umar bin Khattab dikenal sebagai pemimpin yang terbuka
terhadap kritik masyarakat; praktik ini menegaskan bahwa hukum harus tunduk
pada prinsip keadilan, bukan kepentingan personal penguasa.
Terakhir, legislasi Islam unggul dalam prinsip
keadilan sosial. Instrumen seperti zakat, larangan riba, dan regulasi
pengelolaan pasar menunjukkan orientasi ekonomi yang berpihak pada masyarakat
lemah. Sistem ini membuktikan bahwa hukum Islam tidak hanya mengatur ibadah,
tetapi menciptakan tatanan sosial yang seimbang.
Dengan fondasi normatif yang kuat, fleksibilitas
metodologis, integrasi etika, mekanisme kontrol politik, dan orientasi keadilan
sosial, legislasi dalam sistem Islam menawarkan model hukum yang seimbang
antara wahyu, rasionalitas, dan kemaslahatan publik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali. (2005). Ihya’ Ulum al-Din.
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Syathibi. (1997). Al-Muwafaqat fi
Ushul al-Shari‘ah. Dar al-Ma‘rifah.
Ar-Razi, F. (1990). Mafâtih al-Ghayb.
Dar al-Fikr.
Carnegie, A. (2015). Power and Law in Authoritarian
States. Cambridge University Press.
Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms:
Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. MIT Press.
Hallaq, W. (2009). An Introduction to
Islamic Law. Cambridge University Press.
ICJR. (2023). Policy Briefs on Criminal Procedure
Reform. ICJR Press
Kamali, M. H. (2008). Shari’ah Law: An
Introduction. Oneworld Publications.
Muladi. (1995). Hak Asasi Manusia, Politik, dan
Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP.
UN Human Rights Committee. (2014). General Comment
No. 35: Article 9 (Liberty and Security of Person). United Nations.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1187/24/11/25 : 08.47
WIB)

