Oleh : Ahmad Sastra
Kementerian Agama (Kemenag) RI akan
menggelar perayaan Natal bersama untuk pertama kalinya. Langkah ini disebut
sebagai wujud nyata merawat kerukunan dan kebersamaan di tengah keberagaman
bangsa. Hal itu disampaikan Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar saat
menghadiri acara Jalan Sehat Lintas Agama yang digelar di Kantor Kemenag
Thamrin, Jakarta, Minggu (23/11/2025).
"Selama ini kan Natal Kristen, Natal
Katolik. Tapi Natal Kementerian Agamanya nggak. Nah hari ini dan tahun ini kita
akan membuat sejarah di Kementerian Agama," kata Nasaruddin. Menurutnya,
kementerian lain sudah sering mengadakan perayaan Natal bersama. Maka dari itu
menurut Menag, sudah seharusnya Kemenag sebagai promotor kerukunan yang
memulai.
Nasaruddin Umar menekankan bahwa kunci
utama dalam menikmati kemajuan dan kekayaan negara adalah kerukunan. Ia
menyebut Indonesia sebagai lukisan terindah di muka bumi yang harus terus dirawat.
"Tanpa kerukunan kita tidak bisa
menikmati. Betapa banyak negara kaya, tapi tidak bisa menikmati kekayaannya.
Kenapa? Tidak bisa keluar rumah," jelasnya. Oleh karena itu, Kemenag harus
menjadi motor penggerak utama dalam merekatkan, mempererat, dan
mengintegrasikan semua perbedaan yang ada.
"Kata kunci untuk merukunkan bangsa
ini adalah Kementerian Agama. Maka itu saya mohon betul kita Kementerian Agama
ini harus kompak," imbuhnya. Ia juga mengajak seluruh jajaran Kemenag
untuk memiliki kemampuan menahan diri dan menjinakkan ego sebagai bahasa agama
untuk mencapai persatuan. Perayaan Natal bersama Kemenag tersebut rencananya
akan digelar pada 20 Desember 2025 dengan mengangkat tema 'Sea Light:
Christmas, Loving God, Harmony and Humanity Together.
Natal Bersama dalam Pandangan Hukum Islam
Perdebatan mengenai kehalalan atau keharmanan praktik
“Natal bersama”, yaitu perayaan Natal yang diikuti bersama-sama antara warga
Muslim dan non-Muslim dalam suatu acara publik atau institusional, kerap muncul
di masyarakat majemuk.
“Natal bersama”
di sini dimaknai sebagai suatu acara bersama antara Muslim dan non-Muslim yang
berisi unsur perayaan Natal (misalnya misa singkat, nyanyian pujian religius
khas Kristen, penyalaan simbol-simbol keagamaan, pembacaan liturgi) yang
diadakan dalam institusi publik, sekolah, atau komunitas yang mencakup umat
Islam. Pertanyaan fiqh sentral: apakah partisipasi Muslim dalam acara semacam
itu dapat dibenarkan secara syariah?
Hukum Islam dibangun atas al-Qur’an, Sunnah, ijma‘ dan
qiyas. Secara umum, sejumlah prinsip dasar relevan :
Pertama, Larangan syirik dan memuliakan selain Allah. Al-Qur’an
berulang menegaskan larangan menyekutukan Allah (tauhid) dan memuliakan
selain-Nya. Bila sebuah praktik mengandung unsur penyembahan, penyerahan
ritual, atau pengakuan penafsiran ketuhanan yang bertentangan dengan tauhid,
maka ikut serta dalam praktik tersebut menjadi terlarang.
Kedua, Prinsip tashabbuh (imitasi). Banyak ulama
klasik menempatkan suatu larangan pada tindakan imitasi ritual atau simbol
keagamaan kaum lain bila tindakan itu bermakna identitas religius dan dapat
menimbulkan kekeliruan tentang akidah. Peribahasa fiqh “man tashabbaha bi
qawmin fa huwa minhum” (barang siapa meniru suatu kaum maka ia termasuk
golongan mereka) sering dikutip dalam konteks ini sebagai prinsip moral dan
identitas.
Ketiga, Larangan beribadah menurut agama lain. Secara
umum, menjalankan atau turut serta dalam ibadah agama lain, bukan sekadar
interaksi sosial, diposisikan terlarang karena mengaburkan batas ibadah yang
hanya diperuntukkan bagi Allah menurut definisi syariat.
Partisipasi ritualistik (mis. berdiri untuk doa
liturgi yang menyebut “Yesus sebagai Tuhan”, ikut berdoa dalam bentuk yang jelas
merupakan ibadah Kristen), ini cenderung diharamkan karena menyangkut
ibadah/akidah.
Ulama kontemporer mengedepankan beberapa kaidah
aplikatif : Pertama, Kaidah sadd adh-dhara’i (menutup pintu kemudharatan). Jika
keikutsertaan berpotensi menimbulkan fitnah, kekeliruan akidah, atau kesan
kompatibilitas teologis, maka larangan diberlakukan.
Kedua, Kaidah mu‘amalat vs ibadat. Interaksi sosial
dan kerja sama (mu‘amalat) diperbolehkan sejauh tidak mengandung unsur ibadah dan
tidak menjurus kepada pengingkaran prinsip akidah. Ketiga, Prinsip niat dan
keterpaksaan. Niat memainkan peran; namun niat baik tidak selalu membolehkan
tindakan yang secara lahir batin identik dengan ibadah agama lain.
Berdasarkan prinsip di atas, rekomendasi praktis:
Pertama, Hindari ikut serta dalam ritual yang jelas-jelas adalah ibadah Kristen
(mis. membaca liturgi sakral, mengikuti misa, menyatakan pengakuan iman yang
bertentangan dengan syariat).
Kedua, Institusi Muslim (sekolah, kantor) sebaiknya
merumuskan kebijakan yang membedakan antara kegiatan lintas agama yang bersifat
sosial dan kegiatan liturgi, serta menyediakan alternatif bagi Muslim yang
berpegang pada prinsip. Ketiga, Pendidikan keagamaan dan literasi hukum penting
agar umat memahami perbedaan antara muamalah (interaksi) dan ibadah.
Hukum Islam memberi dasar tegas soal larangan
beribadah menurut agama lain dan kehati-hatian terhadap tindakan yang dapat
mengaburkan identitas akidah.
Desember dan Jebakan Sinkretisme Aqidah
Setiap datang bulan desember, umat Islam
seolah selalu dipaksa untuk mengikuti paham sesat yang mencampuraduk haq dan
batil (sinkretisme aqidah). Sinkretisme adalah pencampuradukan paham, keercayaan
dan agama. Perayaan natal bersama, pemakaian simbol-simbol agama lain, ucapan
salam lintas agama, doa lintas agama dan perayaan tahun baru masehi adalah
sederet sinkretisme agama yang merupakan refleksi dari paham haram pluralisme.
Padahal sudah jelas bahwa paham
sekulerisme, liberalisme dan pluralisme dalam fatwa MUI tahun 2005 telah tegas
dinyatakan haram. Begitupun fatwa MUI no 56 tahun 2016 dinyatakan haram jika
seorang muslim menggunakan simbol atau atribut agama lain. Dalam istilah Islam disebut
sebagai hadharah yakni paham atau simbol maupun benda yang mengandung nilai
keyakinan dan ideologi diluar Islam, maka haram hukumnya mengadopsi, memakai
dan menyebarkannya.
Setiap bulan desember datang, umat Islam
selalu dijebak dengan istilah toleransi dan radikalisme. Umat Islam yang ikut
merayakan dan mengucapkan natal disebut toleransi, sementara yang tidak akan
dituduh sebagai intoleran dan radikal. Padahal beberapa sekte kristen seperti saksi yahuwa,
adventis [GMHK] dan mormon tidak merayakan Natal karena dianggap bid’ah ajaran
kafir, sebab diyakini tanggal 25 Desember adalah kelahiran dewa matahari, bukan
kelahiran Yesus.
Begitupun saat menjelang tahun baru masehi
yang merupakan tradisi di luar Islam, maka umat Islam diharamkan merayakan dengan
berbagai bentuk aktivitas khusus. Namun ironisnya, umat Islam yang tidak
merayakan natal dan tahun baru sering distigma sebagai kaum intoleran dan
radikal.
Aksi bela Islam yang dilakukan oleh kaum
muslimin pada akhir tahun 2016 hingga 212 tahun 2019 sebagai respons atas aksi
penistaan Islam justru seringkali dinilai sebagai aksi intoleran dan dianggap
memicu aksi radikalisme. Sementara sang penista sendiri tidak dianggap
demikian. Kaum misionaris barat akan terus ngotot dan kebelet untuk mendekonstruksi
Islam dengan berbagai cara licik seperti ular hingga cara-cara halus seperti
merpati.
Karena itu mendudukkan postulat toleransi
dan radikalisme dalam paradigma yang benar jauh lebih penting sebelum
menganalisa berbagai fakta dan dinamika gerakan kaum muslimin akhir-akhir ini.
Jika istilah toleransi dan radikalisme hendak disematkan kepada Islam dan kaum
muslimin, maka kedua istilah ini juga harus digali dari epistemologi Islam.
Akan menjadi masalah jika kedua istilah itu justru ditimbang dengan epistemologi neomodernisme Barat.
Sebab secara diametral kedua epistemologi itu sangat berbeda, baik dari asas,
metode dan penafsiran.
Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin
memiliki paradigma yang khas terkait berbagai konsep pemikiran dan nilai-nilai.
Membicarakan Islam mesti merujuk kepada sumber nilai agama ini yakni Al Qur’an
dan al Hadist, bukan perilaku umatnya, apalagi dengan menggunakan sumber nilai
dari luar Islam. Islam sebagai sebuah konsepsi berbeda dengan muslim sebagai
orang yang menjalankan nilai. Sebab perilaku orang muslim tidak selalu
mencerminkan nilai-nilai Islam.
Bahkan jika ditelusuri lebih dalam banyak
sekali konsepsi-konsepsi paradigmatik menggunakan kata Islam justru berasal
dari paradigma Barat yang anti Islam. Sebagai contoh istilah-istilah yang
berkembang dalam dunia akademik seperti Islam liberal, Islam Inklusif, Islam
radikal, Islam moderat dan bahkan Islam fundamentalis. Istilah-istilah itu
sesungguhnya secara genealogis bukan berakar dari epistemologi Islam.
Istilah-istilah itu dibangun berdasarkan
kajian-kajian epistemologi Barat yang
disinyalir justru untuk memecah persatuan kaum muslimin. Dari perbedaan
pendapat atas istilah-istilah itulah seringkali menimbulkan berbagai friksi internal
kaum muslimin.
Hegemoni demokrasi yang sudah terlanjur
banyak diadopsi oleh kaum muslimin di dunia telah menempatkan Islam sebagai
obyek. Islam ditempatkan sebagai obyek penilaian yang kadang tidak
proporsional. Hasilnya jika Islam dan perilaku kaum muslimin tidak sejalan
dengan nilai-nilai demokrasi Barat maka akan diberikan lebel fundamentalis dan
radikalis. Sementara pemahaman Islam yang sejalan dengan nilai-nilai Barat
seperti kebebasan dan HAM akan dianggap sebagai Islam moderat mitra Barat. Umat
Islam dituduh radikal jika tidak pro barat dan disebut moderat jika pro barat
penjajah.
Sebagai contoh paling jelas adalah
penilaian Barat terhadap konsep jihad dan khilafah sangat berbeda dengan konsep
Islam. Kata jihad menurut Sayyid Sabiq
berasal dari kata juhd, artinya upaya, usaha, kerja keras dan perjuangan.
Seorang muslim dikatakan berjihad jika ia berusaha mati-matian dengan
mengerahkan segenap kemampuan fisik maupun material dalam memerangi dan melawan
musuh agama (Islam) (lihat Fiqh as Sunnah, Bairut : Mu’assasat ar Risalah, 1422 H/2002,3:79). Makna
singkatnya jihad berarti berperang melawan musuh Islam (lihat QS 9 :73 dan 66 :
9).
Konsep jihad dan khilafah yang digali dari
epistemologi Islam ini oleh Barat dianggap sebagai sebuah ancaman bagi hegemoni
demokrasi. Karena itu konsep jihad oleh Barat direduksi menjadi sekedar
bersungguh-sungguh dan menghapus makna jihad dengan perang, sementara khilafah
dicitrakan sebagai paham radikal. Makna reduktif inilah yang kemudian diadopsi
oleh pengusung Islam moderat. Sementara gerakan dakwah yang masih berpegang
teguh atas makna jihad yang sesungguhnya dianggap sebagai gerakan radikal dan
fundamentalis bahkan dianggap teroris.
Problem epistemologis inilah yang kini
sedang dikembangkan di negeri ini. Kata toleransi oleh Barat dimaknai sebagai
paham pluralisme yang oleh fatwa MUI 2005 telah dinyatakan haram. Sebab
pluralisme adalah paham yang mengakui kebenaran setiap agama. Konsep pluralisme
Barat memiliki dimensi teologis,
sementara dalam Islam pluralitas itu berdimensi sosiologis. Sebab Islam melarang kaum muslimin untuk
mencampur aduk kebenaran dan kebatilan. Karena itu haram hukumnya mengucapkan
salam pluralisme yang menyebutkan ucapan salam agama-agama secara bersamaan.
Islam adalah agama toleran dalam arti
menghargai keragaman suku, agama dan bahasa. Daulah Islam yang dipimpin oleh
Rasulullah sebagai representasi penerapan hukum Islam justru dengan indah
menghargai dan melindungi entitas teologis dan sosiologis yang berbeda selama
mentaati aturan daulah Islam dengan membayar jizyah.
Allah menegaskan Islam sebagai agama
toleran dalam surat al Kafirun ayat 1 sampai 6, Katakanlah: "Hai
orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang
aku sembah, untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
Sementara perjuangan Islam adalah sebuah
kewajiban setiap muslim. Perjuangan Islam sebagaimana dilakukan oleh Rasul
adalah dengan dakwah hingga Islam menjadi rahmat bagi alam semesta dengan
tegaknya daulah madinah. Islam adalah agama dakwah amar ma’ruf nahi mungkar
dengan cara memberikan pemahaman dan kesadaran kepada masyarakat akan kebenaran
Islam, tanpa ada unsur paksaan.
Sementara Jihad adalah upaya
mempertahankan negara dan kaum muslimin dari serangan dan penjajahan
musuh-musuh Islam sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah dan para ulama masa
penjajahan. Konsep jihad dan implementasinya adalah sebuah kemuliaan karena
bagian dari ketundukan akan perintah Allah. Berbeda dengan konsep dan aksi
terorisme yang justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Dengan demikian istilah toleransi dan
radikalisme adalah dua kata jebakan ekstrim terhadap Islam dan kaum muslimin
ketika ditimbang berdasarkan epistemologi Barat. Sementara masyarakat muslim
seringkali salah kaprah dalam memahami istilah toleransi dan radikalisme. Dua
kutub yang diciptakan Barat bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.
Kutub pertama toleransi dalam arti
pluralisme dan kutub kedua jihad dalam arti terorisme atau radikalisme. Sebab
Islam adalah agama sempurna, mulia dan penuh perdamaian. Islam bukan agama
oplosan tapi juga bukan agama terorisme. Islam adalah Islam dengan seluruh kemuliaan
ajarannya, tanpa embel-embel yang berasal dari sumber di luar Islam. Islam
sebagaimana asal katanya bermakna selamat, sejahtera dan damai.
Maka teruslah waspada terhadap kejahatan
Barat dalam merusak Islam dan kaum muslimin dengan narasi toleransi,
intoleransi, moderat dan radikalisme ini. Umat Islam diharamkan mencampur aduk
ajaran Islam dengan agama lain. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak
dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu
mengetahui” [QS Al Baqarah : 42].
REFERENSI
Al-Bukhari, M. ibn I. (2002). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.
Dār Ṭawq al-Najāḥ.
Az-Zuhayli, W. (1985). Al-fiqh al-islāmī wa
adillatuh (Vols. 1–10). Dār al-Fikr.
Az-Zuhayli, W. (1986). Uṣūl al-fiqh al-islāmī
(Vols. 1–2). Dār al-Fikr.
Az-Zarkasyi, B. (1994). Al-baḥr al-muḥīṭ fī uṣūl
al-fiqh (Vols. 1–6). Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Bin Bayyah, A. (2015). Ṣinā‘at al-fatwā wa fiqh
al-aqalliyyāt. Markaz al-Muwāṭanah.
Esposito, J. L. (1995). Islam and the West: The
making of an image. Oxford University Press.
Ghazali, A. H. al-. (2004). Iḥyā’ ‘ulūm ad-dīn
(Vols. 1–4). Dār al-Ma‘ārif.
International Islamic Fiqh Academy. (1983–). Majallat
Majma‘ al-Fiqh al-Islāmī. OIC.
Ibn ‘Ābidīn, M. A. (2000). Radd al-muḥtār ‘alā
ad-durr al-mukhtār (Vols. 1–14). Dār al-Fikr.
Ibn Qudāmah, A. A. (1983). Al-mughnī (Vols.
1–15). Maktabah ar-Riyāḍ al-Ḥadīthah.
Ibn Taymiyyah, T. (1998). Iqtiḍā’ aṣ-ṣirāṭ
al-mustaqīm li mukhālafah aṣḥāb al-jaḥīm. Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Kamali, M. H. (2003). Principles of Islamic
jurisprudence (Revised ed.). Islamic Texts Society.
Majelis Ulama Indonesia. (1981). Fatwa tentang
Perayaan Natal Bersama (No. 3/1981). Sekretariat MUI.
Majelis Ulama Indonesia. (2011). Himpunan fatwa MUI
sejak 1975. Sekretariat MUI.
Muslim ibn al-Hajjaj. (1991). Ṣaḥīḥ Muslim. Dār
Ihyā’ at-Turāth al-‘Arabī.
Nawawi, Y. al-. (1997). Al-majmū‘ sharḥ al-muhaẓẓab
(Vols. 1–20). Dār al-Fikr.
Shaṭibī, I. al-. (1997). Al-muwāfaqāt fī uṣūl
asy-syarī‘ah. Dār Ibn ‘Affān.
Qaradhawi, Y. al-. (1985). Ghayr al-muslimīn fī
al-mujtama‘ al-islāmī. Mu’assasah ar-Risālah.
Qaradhawi, Y. al-. (1997). Fiqh al-awlawiyyāt.
Mu’assasah ar-Risālah.
[Ahmad Sastra, Kota Hujan,
No.1189/25/11/25 : 20.54 WIB]

