Oleh : Ahmad Sastra
Hasilnya nilai TKA untuk mapel
Matematika jenjang SMA 2025 terbilang buruk. Hal ini disampaikan Menteri
Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti dalam pembukaan
Musyawarah Nasional ke-20 Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) di Jakarta, Rabu
(19/11/2025) silam. "Saya bocorkan
di sini walaupun belum taklimat, TKA 2025 yang kita selenggarakan itu
matematikanya juga jeblok-blok-blok-blok," kata Mu'ti dikutip dari
Kompas.com, Minggu (23/11/2025).
Mendikdasmen mengungkapkan
beberapa faktor penyebab nilai matematika TKA 2025 jeblok, antara lain. Mulai
dari buku yang digunakan untuk belajar. Hinga cara guru mengajarkan tidak
membuat siswa ingin terus belajar matematika. Selain itu juga ada faktor masalah
rendahnya numerasi siswa-siswa di Indonesia. "Kemampuan numerasi
siswa-siswa di Indonesia masih rendah karena adanya anggapan bahwa Matematika
adalah materi yang sulit," beber Abdul Mu'ti.
Strategi Meningkatkan Literasi Numerasi
Literasi dan numerasi merupakan kompetensi dasar yang
menjadi fondasi keberhasilan belajar sepanjang hayat. Literasi bukan sekadar
kemampuan membaca kata, melainkan memahami, menilai, dan menggunakan informasi
tertulis; numerasi lebih dari menghitung, ia mencakup kemampuan memaknai,
menginterpretasikan, dan menggunakan konsep matematika dalam konteks
sehari-hari.
Di era informasi dan teknologi, kemampuan ini
menentukan kemampuan siswa untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, dan
berpartisipasi dalam masyarakat. Oleh karena itu, penguatan literasi-numerasi
harus menjadi prioritas sistem pendidikan melalui strategi terpadu yang
berlandaskan bukti.
Pembelajaran yang mengaitkan materi dengan situasi
nyata memudahkan siswa memahami relevansi literasi dan numerasi. Pendekatan
berbasis masalah (problem-based learning) dan pembelajaran kontekstual menuntun
siswa untuk menerapkan konsep matematika saat menyelesaikan tugas nyata, misalnya
mengolah data sederhana dari survei sekolah atau menghitung anggaran proyek
kecil. Studi dan praktek pedagogis menunjukkan bahwa konteks nyata meningkatkan
motivasi dan transfer pembelajaran (OECD, 2019).
Kompetensi literasi dan numerasi bukan hanya soal
prosedur, melainkan berpikir analitis, evaluatif, dan kreatif. Guru perlu
merancang tugas yang menuntut interpretasi teks, penalaran kuantitatif, serta
argumen berbasis bukti, misalnya meminta siswa menulis laporan singkat yang
memuat interpretasi grafik atau membuat prediksi berdasarkan pola numerik.
Strategi ini selaras dengan temuan bahwa pembelajaran yang menekankan berpikir
tingkat tinggi meningkatkan hasil belajar jangka panjang (Hattie, 2009).
Untuk numerasi, alat bantu manipulatif (benda nyata,
model, visualisasi digital) membantu siswa membangun konsep abstrak menjadi
konkret. Representasi ganda—angka, grafik, gambar, kata—memperkuat pemahaman
dan memfasilitasi koneksi antara simbol matematis dan makna nyata. Pendekatan
seperti ini didukung oleh teori perkembangan kognitif yang menekankan peran
representasi dalam pembelajaran (Bruner; Vygotsky).
Penilaian formatif yang terintegrasi dalam proses
pembelajaran memberi informasi real-time bagi guru dan siswa tentang progres
kompetensi. Kuis singkat, tugas berulang, atau portofolio menyediakan data
untuk menyesuaikan strategi pengajaran. Kunci efektifitasnya adalah umpan balik
yang spesifik, actionable, dan tepat waktu yang menunjukan langkah konkret
perbaikan, bukan hanya penilaian numerik (Hattie, 2009).
Guru merupakan faktor penentu keberhasilan. Program
pengembangan profesional harus fokus pada strategi pengajaran
literasi-numerasi, interpretasi data asesmen, dan teknik pemberian umpan balik.
Pembelajaran kolaboratif antar-guru (lesson study, komunitas praktik) memberi
ruang berbagi praktik baik dan refleksi bersama. Penelitian menunjukkan bahwa
investasi pada kualitas guru berdampak besar pada peningkatan hasil belajar
siswa (OECD).
Teknologi dapat memperkaya pengalaman belajar:
platform adaptif memberi latihan yang disesuaikan tingkat kesulitan, simulasi
visual membantu representasi konsep, dan alat analisis data sekolah mempermudah
monitoring capaian. Namun, teknologi harus dipilih berdasarkan tujuan
pembelajaran dan aksesibilitas; bukan sekadar penggunaan gadget. Pemanfaatan
blended learning yang dirancang dengan baik dapat mempercepat perkembangan
numerasi dan literasi.
Sekolah yang produktif dalam literasi menciptakan
lingkungan membaca—kelas dengan bahan bacaan variatif, waktu membaca terjadwal,
serta program membaca ganda (reading buddies). Keterlibatan keluarga juga
penting: orang tua didorong untuk menyediakan bahan bacaan, berdiskusi tentang
isi bacaan, dan melibatkan anak dalam aktivitas matematis sehari-hari (memasak,
belanja, merencanakan perjalanan). Kolaborasi sekolah-keluarga memperpanjang
waktu praktik dan konteks aplikasi kompetensi.
Siswa datang dengan latar belakang, kemampuan, dan
gaya belajar berbeda. Diferensiasi—baik dalam materi, tingkat kesulitan, atau
jenis tugas—memungkinkan setiap siswa memperoleh tantangan yang sesuai. Untuk
siswa dengan kebutuhan khusus, adaptasi materi dan pendekatan multisensori
membantu akses pembelajaran numerasi dan literasi. Kebijakan sekolah perlu
memastikan sumber daya tersedia untuk praktik inklusif.
Hasil studi internasional seperti PISA dan TIMSS serta
asesmen nasional menyediakan gambaran capaian literasi-numerasi dan
kesenjangan. Data ini harus digunakan untuk merumuskan kebijakan, alokasi
sumber daya, dan intervensi terfokus pada jenjang, mata pelajaran, atau wilayah
yang paling membutuhkan. Pemantauan berkala memungkinkan evaluasi efektivitas
strategi dan adaptasi kebijakan.
Rekomendasi kebijakan singkat : Pertama, Jadikan
penguatan literasi-numerasi sebagai prioritas kurikulum nasional dengan sasaran
terukur. Kedua, Alokasikan anggaran untuk pengembangan profesional guru dan
penyediaan materi manipulatif serta buku bacaan.
Ketiga, Implementasikan sistem asesmen formatif
terstandar yang membantu guru melakukan intervensi dini. Keempat, Dorong
kolaborasi sekolah-keluarga dan penyediaan program literasi komunitas. Kelima, Gunakan
data internasional dan nasional untuk menyusun intervensi wilayah prioritas.
Meningkatkan kompetensi literasi dan numerasi siswa
bukan tugas satu pihak—ia membutuhkan sinergi antara kebijakan, guru, sekolah,
keluarga, dan masyarakat. Strategi yang berfokus pada konteks nyata,
pengembangan berpikir tingkat tinggi, penilaian formatif, penguatan guru, dan
penggunaan teknologi yang tepat akan menciptakan ekosistem pembelajaran yang
memungkinkan setiap siswa berkembang menjadi warga yang mampu berpikir kritis
dan memecahkan masalah secara efektif. Investasi hari ini akan menghadirkan generasi
yang siap menghadapi tantangan kompleks masa depan.
Sejarah Kemajuan Sains dan Numerasi dalam Peradaban
Islam
Peradaban Islam mengalami masa keemasan sains dan
numerasi sejak abad ke-8 hingga ke-14 M, sebuah fase sejarah yang dikenal
sebagai Golden Age of Islam. Kemajuan ini lahir dari perintah agama
untuk membaca (iqra’), berpikir, dan menalar ciptaan Allah sebagaimana
ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS. Al-‘Alaq: 1–5).
Selain itu, para khalifah Abbasiyah seperti Al-Ma’mun
membangun pusat ilmu Bayt al-Hikmah di Baghdad yang menjadi pusat penerjemahan
karya-karya Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab. Melalui proses
akulturasi keilmuan ini, umat Islam tidak hanya mengalihbahasakan pengetahuan,
tetapi juga mengkritisi, mengembangkan, dan memperluasnya sehingga melahirkan
tradisi ilmiah yang kuat.
Salah satu tonggak kemajuan terbesar adalah
perkembangan matematika dan numerasi. Ilmuwan Persia Muhammad ibn Musa
al-Khwarizmi (w. 850 M) dianggap sebagai Bapak Aljabar melalui karyanya Al-Kitab
al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah. Buku ini bukan hanya
menyusun sistem aljabar secara sistematis, tetapi juga memperkenalkan metode
perhitungan yang digunakan hingga sekarang.
Dari namanya, istilah algorithm berasal,
sementara sistem angka Hindu-Arab yang ia populerkan menjadi fondasi
perkembangan matematika global, termasuk konsep nol (á¹£ifr) yang kemudian
diadopsi ke Eropa (Berggren, 2016). Kemajuan ini memungkinkan perkembangan
geometri, trigonometri, dan astronomi yang lebih presisi.
Sains terapan juga berkembang pesat dalam tradisi
Islam. Di bidang astronomi, observatorium seperti Maragha dan Samarkand
menghasilkan katalog bintang yang lebih akurat dibanding karya Ptolemaeus.
Al-Battani (858–929 M) menemukan nilai panjang tahun
matahari yang sangat mendekati standar modern, sementara Al-Biruni (973–1050 M)
membuat metode pengukuran radius bumi dengan tingkat kesalahan yang sangat
kecil (Sayili, 1981). Kesempatan para ilmuwan untuk menggabungkan matematika,
pengamatan empiris, dan penggunaan instrumen astronomi menjadikan dunia Islam
pusat riset astronomi dunia selama berabad-abad.
Kemajuan sains Islam juga tampak dalam bidang
kedokteran. Ibnu Sina melalui Al-Qanun fi al-Tibb menyusun ensiklopedia
medis yang digunakan di universitas-universitas Eropa hingga abad ke-17.
Al-Razi mengembangkan metode klinis berbasis observasi
dan eksperimentasi yang menjadi dasar evidence-based medicine modern.
Selain itu, kemajuan kimia (al-kimya’) melalui tokoh seperti Jabir ibn
Hayyan menghasilkan klasifikasi zat dan metode destilasi yang digunakan dalam
kimia modern. Sistem rumah sakit (bimaristan) yang profesional di Baghdad dan
Damaskus menjadi model layanan kesehatan dunia.
Keberhasilan peradaban Islam dalam sains dan numerasi
bukan hanya hasil kecerdasan individual, tetapi buah dari ekosistem intelektual
yang menghargai ilmu. Tradisi waqf mendukung pendirian perpustakaan,
madrasah, dan observatorium; keterbukaan budaya mendorong dialog keilmuan; dan
patronase negara memungkinkan riset jangka panjang.
Kemajuan ini memberi kontribusi besar kepada peradaban
dunia, menjadi fondasi Renaisans Eropa, dan menunjukkan bahwa Islam memiliki
tradisi rasionalitas yang kuat. Di era modern, menggali kembali etos ilmiah ini
penting untuk membangun generasi muslim yang literat, kritis, dan berdaya saing
global.
REFERENSI
Berggren,
J. L. (2016). Episodes in the Mathematics of Medieval Islam. Springer.
Sayili, A. (1981). The Observatory in Islam and Its Place in the General
History of the Observatory. Ankara: Türk Tarih Kurumu Basımevi.
Saliba, G. (2007). Islamic Science and the Making of the European
Renaissance. MIT Press.
Ibn Sina. (1999). The Canon of Medicine. Great Books of the Islamic
World.
Rashed, R. (1994). The Development of Arabic Mathematics. Springer.
Bruner,
J. S. (1960). The Process of Education. Harvard University Press.
Hattie, J. (2009). Visible Learning. Routledge.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2019). PISA
2018 Results (Volume I): What Students Know and Can Do. OECD Publishing.
UNESCO. (2020). Global Education Monitoring Report 2020: Inclusion and
Education. UNESCO Publishing.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and
Standards for School Mathematics. NCTM.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2013). Kurikulum
2013.
(Ahmad
Sastra, Kota Hujan, No.1186/24/11/25 : 08.24 WIB)

