Oleh : Ahmad Sastra
Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan akan mengambil
langkah tegas dengan melaporkan seluruh anggota Komisi III DPR ke Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD). Langkah ini dipilih karena Koalisi menilai adanya
pelanggaran serius dalam proses legislasi yang sedang berjalan, khususnya
terkait pembahasan RUU KUHAP.
Menurut mereka, tindakan anggota Komisi III tidak
hanya bertentangan dengan ketentuan formal peraturan perundang-undangan, tetapi
juga mengabaikan prinsip-prinsip dasar keterbukaan dalam pemerintahan demokratis.
Koalisi menegaskan bahwa dugaan pelanggaran hukum dan
etik tersebut muncul dari praktik pengabaian partisipasi publik yang dianggap
sebagai bagian fundamental dalam penyusunan kebijakan.
Dalam proses pembahasan RUU KUHAP, Komisi III dinilai
tidak memberikan ruang yang memadai bagi kelompok masyarakat sipil, akademisi,
dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyampaikan pandangan dan kritik.
Padahal, partisipasi publik merupakan instrumen penting untuk memastikan bahwa
produk legislasi benar-benar mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat
luas.
Dengan dasar itu, Koalisi Masyarakat Sipil berharap
bahwa laporan ke MKD dapat membuka jalan bagi evaluasi menyeluruh terhadap
perilaku anggota Komisi III dalam menjalankan fungsi legislasi. Mereka menekankan
bahwa mekanisme akuntabilitas harus ditegakkan agar proses pembentukan
undang-undang tidak dilakukan secara tertutup dan sewenang-wenang.
Koalisi juga mengingatkan bahwa tanpa adanya kepatuhan
pada prinsip transparansi dan partisipasi publik, kualitas hukum yang
dihasilkan akan semakin diragukan dan berpotensi merugikan masyarakat.
Pembahasan RUU KUHAP mendapat sorotan tajam dari
berbagai kalangan karena dinilai tidak transparan dan minim keterlibatan
publik. Proses legislasi yang berlangsung tertutup ini menimbulkan kecurigaan
bahwa sejumlah ketentuan penting bisa saja dirumuskan tanpa kontrol sosial yang
memadai.
Padahal, keterbukaan informasi dalam pembentukan
undang-undang merupakan prinsip dasar yang memastikan masyarakat dapat
mengawasi arah kebijakan hukum yang sedang dibahas.
Kurangnya partisipasi publik dalam pembahasan RUU
KUHAP juga menimbulkan kekhawatiran bahwa para pembuat kebijakan tidak
memperoleh masukan yang komprehensif dari akademisi, praktisi hukum, organisasi
masyarakat sipil, maupun kelompok terdampak lainnya. Tanpa dialog yang sehat
dan pertukaran gagasan yang memadai, besar kemungkinan rumusan undang-undang
yang dihasilkan menyimpang dari kebutuhan nyata di lapangan. Kondisi ini
memperlihatkan lemahnya komitmen terhadap prinsip inklusivitas dalam proses
legislasi.
Situasi tersebut memunculkan kekhawatiran publik bahwa
pemerintah dan DPR akan mengulang kesalahan serupa seperti dalam penyusunan UU
Cipta Kerja, yang banyak dikritik karena prosesnya tergesa-gesa, tertutup, dan
dianggap cacat secara prosedural.
Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa produk hukum
yang lahir dari proses yang tidak partisipatif rentan menimbulkan kontroversi,
penolakan, bahkan uji materi di Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu,
pembahasan RUU KUHAP dinilai perlu dilakukan secara lebih terbuka dan
melibatkan publik secara substantif agar tidak mengulangi kegagalan legislasi
sebelumnya.
Selain persoalan prosedural dalam penyusunannya, draf
RUU KUHAP juga memunculkan kekhawatiran serius terkait substansi pasal-pasal
yang diusulkan. Banyak ketentuan dianggap tidak sejalan dengan prinsip negara
hukum modern yang mengutamakan perlindungan terhadap warga negara. Hal ini
menimbulkan pertanyaan mengenai arah reformasi hukum pidana yang seharusnya
memperkuat kepastian hukum, bukan justru memperlemah hak-hak dasar masyarakat.
Sejumlah pasal dalam draf tersebut dinilai berpotensi
melanggar hak asasi manusia karena membuka ruang pembatasan kebebasan secara
berlebihan. Misalnya, ketentuan tertentu memberikan celah bagi pembatasan hak
privasi, hak atas bantuan hukum, serta hak untuk tidak mengalami perlakuan
sewenang-wenang selama proses penegakan hukum. Ketidakjelasan batasan norma
dalam beberapa pasal memperbesar peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan di
lapangan.
Selain itu, draf RUU KUHAP cenderung memperluas
kewenangan aparat penegak hukum secara signifikan tanpa disertai mekanisme
pengawasan yang proporsional. Beberapa ketentuan memberikan otoritas tambahan
kepada penyidik dan penuntut umum untuk mengambil tindakan intrusif, seperti
penggeledahan atau penyitaan, dengan persyaratan yang lebih longgar daripada
aturan yang berlaku saat ini. Jika tidak diawasi secara ketat, hal ini dapat
membuka jalan bagi pelanggaran terhadap prinsip due process of law.
Ketiadaan kontrol dan akuntabilitas yang memadai
membuat peningkatan kewenangan tersebut semakin problematis. Dalam sistem hukum
yang ideal, perlu ada keseimbangan antara kekuasaan negara dan perlindungan hak
warga negara. Tanpa pengawasan internal dan eksternal yang efektif, baik
melalui lembaga peradilan, pengawas independen, maupun partisipasi public, kewenangan
penegak hukum yang terlalu luas berpotensi mengarah pada tindakan represif.
Oleh sebab itu, berbagai kalangan menilai bahwa revisi
KUHAP seharusnya diarahkan pada penguatan transparansi, akuntabilitas, dan
perlindungan terhadap hak-hak individu. Reformasi hukum pidana tidak boleh
hanya fokus pada efisiensi penegakan hukum, tetapi juga harus memastikan bahwa
setiap tindakan aparat berada dalam koridor hukum dan etika yang benar. Tanpa
perbaikan substansi yang komprehensif, draf RUU KUHAP justru dapat membawa
kemunduran dalam pembangunan sistem peradilan pidana yang adil dan beradab.
Kritik Hukum Islam atas Revisi KUHAP
Revisi KUHAP merupakan salah satu agenda reformasi
hukum pidana di Indonesia yang bertujuan meningkatkan efektivitas sistem
peradilan. Namun prosesnya dipandang bermasalah karena minim transparansi dan
partisipasi publik, serta karena sejumlah pasal dinilai berpotensi memberi
kewenangan berlebih kepada aparat penegak hukum. Kondisi ini menimbulkan
urgensi untuk menilai revisi KUHAP dari perspektif hukum Islam sebagai sumber
nilai normatif mayoritas masyarakat Indonesia.
Dalam khazanah hukum Islam, reformasi hukum harus
diarahkan pada terpenuhinya maqāṣid al-syarī‘ah, yakni perlindungan terhadap
jiwa, harta, kehormatan, kebebasan, serta keadilan. Oleh sebab itu, kajian
terhadap revisi KUHAP dari perspektif Islam penting untuk memastikan bahwa
proses legislasi dan substansi aturan sesuai dengan prinsip kemaslahatan.
Menurut al-Ghazālī (2005) dan al-Syatibi (1997),
tujuan syariat adalah menjaga lima hal pokok (al-ḍarūriyyāt al-khamsah): agama,
jiwa (nafs), akal, keturunan, dan harta. Kontemporer kemudian menambahkan
perlindungan terhadap kehormatan dan kebebasan (Kamali, 2008).
Instrumen maqāṣid dapat digunakan untuk menguji apakah
revisi KUHAP: (1) melindungi atau justru merusak kemaslahatan masyarakat, (2) mencegah
atau membuka peluang terjadinya zhulm (kezaliman), (3) memperkuat atau
melemahkan hak asasi manusia.
Fiqh jinayah menekankan asas keadilan prosedural,
seperti: Pertama, Asas praduga tak bersalah berdasarkan hadis: “Bukti
adalah kewajiban penuduh, dan sumpah bagi yang mengingkari.” (HR. Baihaqi).
Kedua, Larangan penangkapan dan penahanan tanpa bukti kuat (Ibn Taymiyyah, al-Siyāsah
al-Syar‘iyyah).
Ketiga, Hak atas
perlakuan manusiawi berlandaskan QS. Al-Isrā’ 70 tentang kemuliaan manusia. Keempat,
Pembatasan kewenangan aparat, prinsip sadd al-dharā’i (mencegah peluang
kerusakan).
Menurut Al-Māwardī (1996), pengambilan keputusan
publik wajib melibatkan ahl al-ra’yi (pihak yang kompeten) dan
masyarakat. QS. Ash-Shūrā 38 secara tegas memerintahkan musyawarah dalam urusan
publik. Dengan demikian, proses legislasi yang tertutup bertentangan dengan
prinsip syurā dan mengurangi legitimasi hukum menurut perspektif Islam.
Proses pembahasan revisi KUHAP dipandang minim
partisipasi publik dan tidak didukung dokumen pembahasan yang transparan. Dalam
perspektif hukum Islam, hal ini problematis karena:
Pertama, Syurā menuntut partisipasi publik dan
keterbukaan. Keputusan publik yang dihasilkan tanpa syurā dinilai lemah dalam
legitimasi moral.
Kedua, Potensi bias kepentingan meningkat. Tanpa
diskusi dengan akademisi, ulama, aktivis, dan masyarakat, hasil legislasi
rentan menyimpang dari kemaslahatan.
Ketiga, Bertentangan dengan amanah kekuasaan. QS.
An-Nisā’: 58 menegaskan kewajiban pemimpin untuk menetapkan hukum secara adil
dan amanah. Proses tertutup menimbulkan risiko penyalahgunaan amanah publik. Dengan
demikian, secara prosedural revisi KUHAP berpotensi tidak selaras dengan
prinsip hukum Islam apabila tidak disertai mekanisme syurā dan transparansi.
Sejumlah pasal dalam revisi KUHAP dinilai memberi
kewenangan tambahan kepada aparat penegak hukum, seperti penggeledahan,
penyitaan, dan penahanan yang lebih mudah dilakukan.
Dari sudut pandang hukum Islam, terdapat beberapa
persoalan: Islam memandang zhulm sebagai dosa besar. Ibn Qayyim (1980)
menyatakan bahwa hukum yang menyebabkan kerusakan dan mengurangi hak manusia
bukan bagian dari syariat.
Jika revisi KUHAP membuka peluang penyalahgunaan
wewenang, maka hal itu bertentangan langsung dengan prinsip: (1) Hifz al-nafs
(perlindungan jiwa), (2) Hifz al-‘irdh (perlindungan kehormatan), (3) Hifz
al-hurriyyāt (perlindungan kebebasan).
Pasal yang mengurangi akses pendampingan hukum atau
memperpanjang penahanan tanpa kontrol pengadilan bertentangan dengan fiqh
jinayah, yang memberikan hak kepada tersangka untuk: (1) memperoleh pembelaan,
(2) tidak disiksa, (3) tidak dipaksa mengaku, (4) tidak dihukum sebelum bukti
kuat. Islam menuntut kejelasan (bayyinah) dalam aturan. Pasal yang multitafsir
dikhawatirkan membuka peluang kriminalisasi dan intimidasi.
Dalam sistem politik Islam, kekuasaan aparat penegak
hukum harus diimbangi: (1) Pengawasan hakim (qadha’) (2) Pengawasan hisbah
(ombudsman) (3) Kontrol masyarakat.
Jika revisi KUHAP memperkuat polisi dan jaksa tetapi
tidak memperkuat kewajiban kontrol pengadilan, maka sistem tersebut
bertentangan dengan siyāsah syar‘iyyah karena: (1) memberi kekuasaan
tanpa pengawasan, (2) berpotensi menyebabkan fasād (kerusakan sosial), (30 melemahkan
hak warga dalam memperoleh keadilan.
Agar selaras dengan hukum Islam, revisi KUHAP
seharusnya: (1) Memastikan keterbukaan prosedural melalui publikasi draf,
konsultasi publik, dan pelibatan ahli syariah, hukum, dan HAM. (2) Memperkuat
perlindungan hak tersangka sejalan dengan prinsip fiqh jinayah dan HAM Islam.
(3) Menyeimbangkan kewenangan aparat dengan mekanisme kontrol yudisial. (4) Membangun
sistem akuntabilitas sesuai prinsip hisbah. (5) Menutup peluang zhulm melalui
pasal-pasal yang jelas dan tidak multitafsir. Dengan cara ini, revisi KUHAP
dapat menjadi instrumen keadilan substantif dan prosedural sesuai maqāṣid
al-syarī‘ah.
Analisis ini menunjukkan bahwa revisi KUHAP harus
ditinjau tidak hanya dari efektivitas penegakan hukum, tetapi juga dari
perspektif moral dan etika hukum Islam. Suatu peraturan pidana hanya sah secara
syar‘i jika: (1) melindungi hak dasar manusia, (2) mencegah kezaliman, (3) disusun
melalui proses yang bermusyawarah dan transparan, (4) membatasi kekuasaan
negara dan aparat, (5) menghasilkan kemaslahatan publik. Apabila revisi KUHAP
tidak memenuhi prinsip-prinsip tersebut, maka ia berpotensi bertentangan dengan
hukum Islam dan tujuan-tujuan syariat.
Daftar Pustaka
- Al-Ghazālī. (2005). Al-Mustashfā min ‘Ilm al-Uṣūl. Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
- Al-Māwardī. (1996). Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah. Cairo: Dar
al-Fikr.
- Al-Syātibī. (1997). Al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Syarī‘ah.
Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
- Ibn Qayyim al-Jawziyyah. (1980). I‘lām al-Muwaqqi‘īn.
Beirut: Dar al-Fikr.
- Ibn Taymiyyah. (1999). Al-Siyāsah al-Syar‘iyyah. Riyadh: Dar
al-‘Asimah.
- Kamali, M. H. (2008). Shari’ah Law: An Introduction. Oxford:
Oneworld Publications.
- Rahman, F. (1982). Islam and Modernity. University of
Chicago Press.
- An-Na‘im, A. A. (2008). Islam and the Secular State. Harvard
University Press.
- Zuhaili, Wahbah. (2010). Fiqh al-Islami wa Adillatuhu.
Damascus: Dar al-Fikr
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1185/21/11/25 : 05.19
WIB)

