PENGESAHAN RUU KUHAP DAN DEMOKRASI OMON-OMON



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Kemarin, DPR tancap gas mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi undang-undang, meski mendapat protes dari masyarakat sipil karena terdapat banyak pasal bermasalah.

 

Sejumlah ketentuan dalam KUHAP baru ini dianggap memperluas kewenangan polisi tanpa pengawasan pengadilan yang memadai. Sejak tahap penyelidikan saja misalnya, penangkapan dan penahanan bisa dilakukan tanpa izin hakim. Penerapan pasal-pasal ini dikhawatirkan bakal menyuburkan praktik penyalahgunaan kekuasaan.

 

Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengklaim semua tindakan tersebut bakal dilakukan secara hati-hati. Berbaik sangka tentu boleh saja. Masalahnya, rekam jejak kepolisian selama ini menunjukkan hal yang berbeda.

 

Data Kontras mencatat, sepanjang Juni 2023-2024, Polri menjadi aktor dalam 602 kasus kekerasan, mulai dari penyiksaan hingga pembunuhan di luar hukum. Sebanyak 86 warga menjadi korban—sepuluh di antaranya meninggal dunia. Kepercayaan publik terhadap Polri juga rendah, terutama dengan banyaknya kasus penahanan terhadap sejumlah aktivis terkait demo Agustus 2025.

 

Dengan pengesahan KUHAP baru ini, siapa pun berpotensi menjadi korban. Masyarakat bisa diamankan, ditangkap, dan ditahan tanpa kejelasan. Ironisnya, aturan ini disahkan di tengah hangatnya isu reformasi Polri. Oleh karenanya kita patut bertanya, apakah agenda reformasi Polri ini akan benar-benar berjalan atau hanya menjadi slogan semata?

 

Disatu sisi negeri ini selalu diteriakkan demokrasi dan kebasan, tapi dalam kasus RUU KUHAP justru ditemukan sejumlah pasal bermasalah yang perlu dicermati oleh masyarakat :

 

Pasal 16. Beri kewenangan polisi lakukan undecover Buy dan controlled delivery untuk seluruh tindak pidana. Polisi punya kewenangan tanpa batas dan tanpa diawasi memberi karpet merah pada polisi untuk menjebak, menciptakan pidana dan merekayasa siapa saja untuk menjadi pelaku sesuai selera mereka.

 

Pasal 5: beri kewenangan tanpa batas kepada polisi lakukan penangkapan di tahap penyelidikan. Padahal pada tahap ini tindak pidana belum bisa dikonfirmasikan.

 

Bagaimana mungkin seseorang sudah bisa ditangkap padahal belum ditetapkan sebagai tersangka dan tindak pidana belum bisa dipastikan ada atau tidaknya ?

 

Pasal 90-93: beri kewenangan kepada polisi lakukan upaya penahan paksa. Membuka lebar kesewenang-wenangan dan represif polisi karena tidak ada pengawasan melalui pemeriksaan “habeas corpus” dan penyimpangan waktu penahan yg perpanjang lebih dari 1 x 24 jam.

 

Pasal 105, 112A, 132A: memberi kewenangan kepada Polisi (penyidik) lakukan penggeledahan, penyitaan, penyadapan, pemblokiran terhadap siapapun (rakyat) yg mereka kehendaki. Polisi bisa melakukannya tanpa perlu mengantongi izin hakim.

 

Terkait kewenangan penyadapan, dilakukan polisi tanpa perlu izin dan diawasi oleh pengadilan. Membuka ruang kesewenang-wenangan polisi injak-injak, robek-robek kebebasan rakyat Indonesia.

 

Pasal 74a: beri kewenangan kepada Polisi lakukan restorative justice antara pelaku dan korban dapat dilaksanakan pada tahapan belum terdapat tindak pidana (penyelidikan). Jelas tidak masuk akal. bagaimana mungkin belum ada tindak pidana namun sudah ada yg dikategorikan pelaku dan korban?

 

Pengaturan ini dapat menyebabkan orang diperas dan dipaksa damai dengan dalih restorative justice, bahkan di ruang penyelidikan yang belum terbukti ada tindak pidana.

 

Mirisnya lagi. Polisi tidak berkewajiban melaporkan Hasil kesepakatan damai yg menandai berakhirnya proses penyelidikan kepada otoritas apapun. Jelas ini menjadi ruang gelap yg memunculkan perilaku korup. Sederhananya, pengaturan baru soal restorative justice ini menjadi bisnis korup baru di kepolisian.

 

Pasal 7 & 8: mewajibkan penyidik PNS dan penyidik khusus berada di bawah koordinasi dan kendali penyidik polisi. Menjadikan polisi sebagai lembaga superpower (otoriter) dengan kontrol sangat besar.

 

Dengan aturan seperti ini, jelas polisi makin perkasa. Kewenangan polisi makin kuat. Bebas bertindak tanpa batas dan tanpa pengawasan. Membuka peluang kesewenang-wenangan, otoriter, politisasi penegakan hukum, menindas, merampas kebebasan rakyat serta bebas lakukan korupsi.

 

Ini jelas jelas penipuan dan pengkhiatan publik yg dilakukan Prabowo dan DPR. Reformasi Polri yg awalnya dijanjikan dan dikampenyakan, hanya tinggal Omon-Omon.

 

Semangat reformasi Polri, sampai dibentuk tim reformasi Polri, geliat positif juga ditunjukkan lewat MK yg di yg memutuskan Polisi aktif tidak bisa lagi duduki jabatan sipil.

 

Ternyata semua hanya tipuan. Ujungnya disepakati RUU KUHP yg justru membuat Polri makin kuat, kewenangan tanpa batas, tanpa pengawasan bertindak otoriter dan korup. Rakyat makin ditindas. Rakyat mampus juga bodoh amat.

 

Paradoks Demokrasi

 

Paradoks negeri demokrasi, sebab teorinya kebebasan pendapat, realisasinya seolah pembungkam pendapat. Terlebih jika sampai ada jatuh korban, tentu saja sangat paradoks, mengapa nyawa rakyat begitu murah di negeri yang katanya kedaulatan di tangan rakyat.

 

Sebagai negara hukum, pemerintah mengakui dan berkomitmen atas hak berpendapat, berkumpul dan berserikat seperti disebutkan Pasal 28G UUD 1945.   Ya mestinya apa yang tertera dalam UU itu direalisasikan, bukan diingkari sendiri oleh para pembuat hukum. Paradoks demokrasi memang begitu, pembuatan hukum itu sarat kepentingan, kadang malah hanya untuk melindungi kekuasaan, bukan untuk mensejahterakan rakyat.

 

Tentu saja rakyat yang bisa menilai, apakah telah terjadi banyak penindasan atas hak-hak rakyat, namun dari pemberitaan, kita bisa melihat dengan banyaknya kasus-kasus dimana rakyat jadi korban kebijakan atau menjadi pihak yang dirugikan, tentu saja sudah sangat banyak.

 

Demokrasi itu secara genetik adalah realisasi sistem kapitalisme yang dihegemoni oleh kepentingan oligarki, jadi jika terjadi banyak penindasan dan ketidakadilan merupakan sebuah keniscayaan. 

 

Apakah polisi menjadi pelaku utama dalam rangkaian peristiwa yang terjadi terkait pelanggaran hak berekspresi ?. Hak berekspresi rakyat itu kan biasanya dilakukan dengan cara unjuk rasa dengan jumlah besar, baik di depan istana maupun di depan gedung DPR, maka polisi sebagai aparat keamanan langsung berhadapan dengan pengunjuk rasa.

 

Disinilah seringkali terdapat banyak pelanggaran hak berekspresi, baik karena perintah atasan maupun inisiatif polisi sendiri. Polisi berpotensi melanggar HAM dalam setiap aksi unjuk rasa, terlebih jika berada pada pembelaan kepada penguasa yang dinilai rakyat tidak adil. Padahal rakyatlah yang menggaji polisi.

 

Apakah bentuk pembungkaman kini perlahan telah bergeser menjadi penyerangan secara digital, instrumen hukum seringkali dijadikan sebagai senjata ampuh untuk membungkam publik seperti halnya dengan UU ITE dan delik penyebaran berita bohong ?.  

 

Munculnya UU ITE itu kan juga mendapat beragam respons dari masyarakat, baik yang pro dan kontra. Pihak yang kontra meyakini bahwa UU ITE adalah bentuk-bentuk represifitas penguasa atas hak berpendapat di sosial media.

 

UU ITE ini juga sangat rawan disalahgunakan oleh penguasa untuk membungkan dan menekan rakyat yang ingin menyuarakan pendapat, khususnya kritik atas kebijakan penguasa dengan berbagai dalih soal berita bohong hingga makar. UU ITE adalah paradoks negeri yang katanya demokrastis ini.

 

Apakah rangkaian represi terhadap hak - hak berekspresi menandai pemerintahan otoritarian? Otoritarian itu bisa diukur sebanyak apa orang yang memberikan pendapat lalu ditangkap dan dipenjarakan dengan berbagai tuduhan. Mungkin kasus RG bisa menjadi semacam baro meter terkait sikap penguasa atas hak berpendapat rakyatnya.

 

Otoritarian juga bisa diukur sejauh mana penguasa lebih mementingkan kekuasaan dari pada kebaikan rakyatnya sendiri. Semisal tidak mau dikritik dan selalu merasa benar semua kebijakannya. Sementara kekuasaan demokrasi itu seringkali berkolaborasi dengan oligarki.

 

Perbaikan mendesak adalah presiden republik Indonesia untuk memastikan agar aparatur di bawah kendalinya menghentikan segala bentuk upaya pembungkaman kritik lewat kekerasan, kriminalisasi dan menjamin kebebasan sipil warga negara

 

Perbaikan semestinya pada paradigma bahwa pendapat rakyat adalah untuk kebaikan penguasa. Kedua, mestinya dilakukan pendekatan dialogis sehingga terjadi dialektika, sebab penguasa bukan pihak yang selalu benar, sementara rakyat selalu salah.

 

Ketiga, mungkin bisa juga berganti penguasa yang lebih pro rakyat, bukan pro oligarki. Keempat, pentingnya juga perubahan sistem yang telah terbukti tidak pro rakyat, tapi pro oligarki, yakni sistem kapitalisme. Sistem Islam bisa menjadi alternatif yang harus terus didialogkan, bukan dipersekusi.

 

Dalam Islam, kedudukan rakyat begitu mulia, sehingga dibuka ruang yang luas untuk menyampaikan pendapat sebagai sebuah aktivitas amar ma’ruf nahi munkar serta muhasabah kepada penguasa yang dinilai telah melenceng dari hokum-hukum Allah dalam mengemban amanah kekuasaan. Selain tentu saja jaminan ketaqwaan individu dan kekuatan sistem hokum yang adil. Ketiga aspek ini menjadikan masyarakat dalam pemerintahan Islam sulit memunculkan penguasa yang zolim.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1184/20/11/25 : 13.06 WIB)

 

 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad