MENATA MOTIVASI MENJADI PENULIS



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Menulis merupakan aktivitas intelektual yang menuntut ketekunan, kedalaman berpikir, dan kematangan emosional. Dalam era digital, orientasi menulis sering bergeser dari idealisme intelektual menjadi pragmatisme finansial.

 

Menulis adalah bagian tak terpisahkan dari proses berpikir dan tradisi keilmuan. Dalam sejarah Islam maupun Barat, kemajuan peradaban selalu lahir dari pena dan gagasan yang ditulis dengan kesungguhan. Akan tetapi, di era digital yang serba cepat ini, motivasi menulis sering kali bergeser.

 

Banyak penulis baru yang memandang menulis semata sebagai sarana popularitas dan sumber penghasilan, bukan sebagai aktivitas intelektual dan spiritual. Padahal, tulisan yang bermakna lahir dari proses panjang yang melibatkan banyak membaca, banyak berlatih, banyak bersabar, dan menjunjung tinggi orientasi intelektual.

 

Membaca Banyak: Fondasi Ilmu dan Gagasan

 

Tidak ada penulis besar yang miskin bacaan. Membaca merupakan proses pengisian bahan bakar intelektual bagi setiap penulis. Dengan membaca, seseorang tidak hanya memperoleh informasi, tetapi juga memahami cara berpikir para pemikir sebelumnya. Menurut al-Ghazali (Ihya’ Ulumuddin), ilmu yang tidak diserap secara mendalam tidak akan mampu diajarkan atau ditulis dengan baik. Hal yang sama ditegaskan Pramoedya Ananta Toer bahwa membaca membuka kesadaran sosial dan memperkaya imajinasi.

 

Penulis yang banyak membaca akan memiliki keluasan wawasan, kedalaman makna, dan sensitivitas terhadap konteks sosial. Ragam bacaan, dari karya ilmiah, sastra, sejarah, hingga teks keagamaan, membentuk cara pandang yang holistik. Sebaliknya, penulis yang enggan membaca akan menghasilkan tulisan yang dangkal, repetitif, dan tidak inspiratif.

 

Latihan Banyak: Menulis Sebagai Keterampilan yang Ditempa

 

Menulis bukan semata hasil bakat atau ilham, melainkan keterampilan yang ditempa melalui latihan berulang. Hemingway menyebut bahwa “menulis adalah pekerjaan merevisi,” artinya proses menulis selalu melibatkan penyempurnaan terus-menerus. Setiap paragraf yang baik lahir dari banyak kegagalan yang diatasi dengan disiplin dan ketekunan.

 

Latihan menulis setiap hari membantu mengasah kemampuan berpikir logis, membangun argumen, dan memilih diksi yang tepat. Dalam dunia akademik, mahasiswa dan peneliti yang rajin menulis akan terbiasa berpikir sistematis serta memiliki kepekaan terhadap struktur pengetahuan. Dengan latihan yang konsisten, menulis akan menjadi bagian alami dari cara berpikir, bukan sekadar kegiatan insidental.

 

Sabar Banyak: Proses Panjang Menuju Kematangan Intelektual

 

Kesabaran adalah unsur penting dalam dunia kepenulisan. Tidak semua ide mengalir dengan mudah, dan tidak semua naskah diterima tanpa revisi. Menulis menuntut kemampuan menghadapi kegagalan, kritik, dan kebosanan. Dalam perspektif keislaman, kesabaran menulis merupakan bentuk mujahadah ilmiah, perjuangan intelektual yang membutuhkan ketabahan dan keikhlasan.

 

Sabar juga berarti tidak tergesa-gesa ingin diakui atau mendapat imbalan materi. Banyak karya besar yang diakui dunia justru ditulis dalam keterbatasan. Seorang penulis sejati memahami bahwa nilai tulisan tidak diukur dari popularitas atau honorarium, tetapi dari dampak dan kedalaman maknanya bagi masyarakat.

 

Orientasi Intelektual, Bukan Semata Finansial

 

Dalam masyarakat modern, menulis sering dijadikan sumber pendapatan. Hal ini wajar, tetapi ketika orientasi finansial menjadi tujuan utama, maka integritas keilmuan mulai terancam. Penulis dapat tergoda untuk menyesuaikan isi tulisannya demi selera pasar, bukan demi kebenaran ilmiah.

 

Dalam pandangan Al-Farabi dan Ibnu Sina, tujuan ilmu adalah menyempurnakan akal dan menumbuhkan kebahagiaan intelektual, bukan memperoleh keuntungan duniawi. Oleh karena itu, orientasi menulis seharusnya tetap berakar pada tanggung jawab moral dan etika keilmuan. Menulis dengan orientasi intelektual berarti berkomitmen pada pencerahan dan pengembangan peradaban, bukan sekadar kepentingan pragmatis.

 

Menulis adalah aktivitas ilmiah yang sarat nilai spiritual dan sosial. Agar menulis menjadi jalan intelektual yang bermartabat, penulis perlu menanamkan empat prinsip utama: banyak membaca untuk memperkaya wawasan, banyak berlatih untuk mengasah keterampilan, banyak bersabar untuk menumbuhkan kematangan, dan berorientasi pada nilai-nilai intelektual, bukan material. Dengan motivasi yang benar, menulis akan menjadi amal ilmu yang melahirkan manfaat luas bagi masyarakat dan peradaban.

 

 

Menulis Untuk Dakwah

 

Menulis merupakan salah satu bentuk dakwah yang paling efektif dan berkelanjutan. Melalui tulisan, pesan keislaman dapat disampaikan secara luas melintasi ruang dan waktu, bahkan ketika penulisnya telah tiada. Dalam sejarah Islam, banyak ulama dan cendekiawan yang berdakwah melalui karya tulis.

 

Imam al-Ghazali dengan Ihya’ Ulumuddin dan Ibnu Khaldun dengan Muqaddimah-nya menunjukkan bahwa tulisan bukan sekadar media informasi, tetapi sarana transformasi spiritual dan intelektual. Dakwah melalui tulisan memungkinkan nilai-nilai Islam disebarkan dengan cara yang santun, argumentatif, dan mudah diterima oleh berbagai kalangan.

 

Menulis untuk berdakwah juga menuntut tanggung jawab moral dan intelektual. Seorang penulis muslim tidak boleh menulis secara sembarangan, sebab setiap kata yang ditulis akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Oleh karena itu, dakwah dalam bentuk tulisan harus berpijak pada keilmuan yang benar, kejujuran hati, dan niat yang ikhlas.

 

Tulisan yang lahir dari ketulusan dan kedalaman ilmu akan menyentuh akal sekaligus hati pembacanya. Dalam konteks ini, penulis muslim berperan sebagai muballigh bil qalam—pendakwah melalui pena—yang menebarkan hikmah, pencerahan, dan akhlak mulia.

 

Selain itu, dakwah melalui tulisan memiliki peran strategis di era digital. Ketika media sosial dan internet menjadi sumber utama informasi publik, maka tulisan bernilai dakwah sangat dibutuhkan untuk menyeimbangkan arus informasi yang sering kali dangkal atau menyesatkan.

 

Penulis muslim perlu memanfaatkan ruang digital untuk menyebarkan nilai-nilai Islam yang moderat, beradab, dan rasional. Dengan menulis secara konsisten, sistematis, dan beretika, seorang da’i dapat membangun literasi keislaman yang mencerahkan umat serta memperkuat identitas keilmuan Islam di tengah tantangan globalisasi.

 

Daftar Pustaka

 

Al-Ghazali. (t.t.). Ihya’ Ulumuddin. Kairo: Dar al-Ma’arif.

Farabi, Al-. (1986). Al-Madinah al-Fadhilah. Beirut: Dar al-Masyriq.

Hemingway, E. (1999). On Writing. New York: Scribner.

Ibnu Sina. (1956). Al-Syifa: Ilahiyyat. Kairo: Dar al-Ma’arif

Pramoedya Ananta Toer. (1982). Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Lentera Dipantara.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1177/02/11/25 : 08.40 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad