Oleh : Ahmad Sastra
Krisis pendidikan karakter di Indonesia makin mengkhawatirkan. Sekadar
contoh, dalam kasus paling mutakhir, seorang kepala sekolah dilaporkan ke Polisi.
Sebabnya sebetulnya sepele. Hanya karena menegur dan menampar siswa yang
merokok di sekolah. Ironisnya, ratusan siswa justru berpihak kepada temannya
yang melakukan pelanggaran. Mereka mogok massal dan menuntut pemecatan kepala
sekolahnya.
Di sisi lain, seorang mahasiswa Universitas Udayana bunuh diri diduga
akibat alami perundungan. Tragisnya, setelah meninggal, ia pun tetap di-bully
di grup WhatsApp kampusnya. Ini hanyalah secuil kasus moral di dunia
pendidikan.
Sementara itu, tayangan Trans7 secara tendensius menggambarkan adab santri
yang menghormati gurunya sebagai budaya feodal dan tak pantas. Padahal
penghormatan murid kepada guru adalah adab agung
dalam Islam.
Dalam salah satu atsar
dinyatakan: Bukan
termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan yang tua, tidak menyayangi
yang muda dan tidak mengetahui hak orang alim di antara kita (Al-Qurthubi, Al-Jami’
li Ahkaam al-Qur’aan, 17/241). Dalam Islam, pendidikan
sejati bukan sekadar transfer ilmu, tetapi terutama pembentukan karakter dan
akhlak yang bersumber dari akidah Islam.
Krisis Pendidikan karakter ini sesungguhnya berakar pada sistem pendidikan
sekuler. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan ini telah menghapus
orientasi spiritual dan moral dari dunia pendidikan. Akibatnya, anak didik
kehilangan arah dan makna hidup. Tujuan pendidikan berubah menjadi sekadar demi
bekal mencari pekerjaan, bukan membentuk kepribadian mulia.
Para guru pun banyak yang ikut terseret arus krisis moral. Tidak sedikit
kasus kekerasan, pelecehan dan korupsi di dunia pendidikan melibatkan pendidik
itu sendiri. Intinya, masih banyak guru yang belum bisa menjadi teladan bagi
murid-muridnya. Padahal kata Imam al-Qusyairi: Siapa saja yang tidak bisa
menanamkan adab pada dirinya, maka orang lain tidak mungkin mempelajari adab
dari dia (Al-Qusyairi, Tafsiir al-Qusyayri, 2/36).
Inilah buah dari sistem pendidikan sekuler yang sejak awal memang berpaling
dari al-Quran. Padahal Allah SWT telah menegaskan: Siapa saja yang berpaling
dari peringatan-Ku (al-Quran), maka sesungguhnya bagi dia kehidupan yang sempit
(QS Thaha [20]: 124). Ketika sistem kehidupan, khususnya sistem pendidikan,
tidak berlandaskan wahyu Allah SWT, maka hasilnya adalah kebingungan,
penyimpangan dan kehancuran moral.
Dalam Islam, tujuan pendidikan bukan sekadar mencetak manusia cerdas,
tetapi mencetak insan yang berkepribadian Islam (syakhshiyyah islaamiyyah),
yakni membentuk pola pikir (‘aqliyyah) dan pola sikap (nafsiyyah) yang
didasarkan pada akidah Islam.
Tujuan pendidikan ini terangkum, antara lain, dalam firman Allah SWT saat
menjelaskan tujuan pengutusan Rasulullah saw.: Dilah (Allah) yang mengutus di
tengah-tengah kaum yang ummi seorang rasul dari kalangan mereka. Dia (bertugas)
membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa/diri) mereka, serta
mengajari mereka al-Quran dan hikmah; sementara mereka sebelumnya benar-benar
ada dalam kesesatan yang nyata (TQS al-Jum’ah [62]: 2).
Rasulullah ï·º pun menegaskan bahwa beliau diutus untuk membentuk akhlak mulia umat
manusia. Demikian sebagaimana sabda beliau: Sesungguhnya aku diutus hanyalah
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (HR al-Bazzaar dan al-Baihaqi).
Rasulullah saw. pun menjelaskan pentingnya akhlak mulia dan keutamaannya.
Beliau bersabda: Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah yang
paling bagus akhlaknya (HR al-Bukhari). Beliau pun menegaskan: Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di
antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya (HR al-Bukhari).
Namun, dalam sistem sekuler, ketika pendidikan memisahkan ilmu dari iman,
lahirlah generasi yang boleh jadi pandai, tetapi tidak berakhlak; boleh jadi pintar,
tetapi tidak bermoral. Karena itulah para ulama dulu sangat menekankan
pentingnya mendahulukan pembinaan adab/akhlak terlebih dulu sebelum penyampaian
ilmu. Di kalangan mereka populer pernyataan “adab sebelum ilmu” sehingga dikatakan:
Pelajarilah oleh kalian adab (akhlak) sebelum
kalian mempelajari ilmu (Ibn ‘Abd al-Barr, Jaami‘ Bayaan al-‘Ilm wa Fadlih, 1/164).
Adab (akhlak) adalah fondasi ilmu. Dengan itu sistem pendidikan Islam melahirkan
generasi para ulama dan ilmuwan yang cerdas sekaligus dipenuhi dengan keimanan
dan ketakwaan. Karena itu pula, dalam
konteks pendidikan, Islam menanamkan akidah Islam pada anak didik sebagai hal
pertama dan utama sebagai asas seluruh ilmu, yang akan membentuk perilaku mereka
yang diatur oleh syariah, dan mengarahkan potensi mereka untuk beramal demi
ridha Allah SWT.
Sejarah mencatat bahwa sistem pendidikan Islam mencapai puncak keemasan selama
ratusan tahun di bawah naungan Khilafah, khususnya era ‘Abbasiyah. Negara
menjadi pelopor utama pendidikan, membangun ribuan madrasah, perpustakaan dan pusat
riset. Pendidikan bersifat gratis, terbuka untuk semua kalangan dan
diselenggarakan oleh negara dengan kualitas tinggi. Tentu dengan bertumpu
pada pondasi akidah Islam yang kokoh.
Khalifah al-Ma’mun mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad. Pusat ilmu pengetahuan
dunia pada abad ke-9 M. Dari sana lahir para ilmuwan besar di bidang matematika, kimia, astronomi, kedokteran, dll. Mereka
bukan sekadar ilmuwan, tetapi juga ulama yang memadukan iman dan ilmu. Lahir
pula para ulama terkemuka yang ahli ibadah, wara’ dan zuhud dalam berbagai
disiplin ilmu seperti bahasa Arab, fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadis, tasawuf, dll.
Karya-karya mereka bahkan dikaji selama ratusan tahun hingga generasi saat ini.
Ibn Katsir mencatat bahwa dunia saat itu
(di era Khilafah, red.) dipenuhi oleh para ulama dan pelajar (Ibn Katsir, Al-Bidaayah
wa an-Nihaayah, 10/279).
Sistem pendidikan di era Khilafah berhasil memadukan spiritualitas Islam
dengan kemajuan sains dan peradaban. Hal ini hanya mungkin karena Negara
menjadikan akidah dan syariah Islam sebagai asas kebijakan dan sistem pendidikan.
Dalam Islam, Negara memiliki kewajiban langsung untuk menyelenggarakan
pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat. Sebabnya, sebagaimana sabda Nabi ï·º: Imam (Khalifah) adalah
pemimpin dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia pimpin (HR al-Bukhari dan
Muslim).
Di antara tanggung jawab pemimpin atas rakyatnya adalah menyelenggarakan
pendidikan berkualitas dan gratis untuk mereka. Ini adalah bagian dari
kemaslahatan rakyat. Seluruh
kemaslahatan yang diperlukan oleh rakyat harus ditunaikan oleh seorang
pemimpin. Demikian sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Mawardi (Al-Mawardi, Al-Ahkaam
as-Sulthaaniyyah, hlm. 27).
Negara pun wajib memastikan pendidikan berjalan dengan tujuan syar‘i yaitu:
mencetak generasi beriman, berilmu dan berakhlak mulia. Namun demikian, dalam
sistem kapitalis-demokrasi-sekuler saat ini, pendidikan gratis dan berkualitas
sekaligus mampu melahirkan manusia-manusia yang beriman dan bertakwa tampaknya
amat sulit diwujudkan.
Pendidikan semacam ini hanya mungkin terwujud di bawah sistem pemerintahan
Islam yang menjadikan akidah Islam sebagai asasnya dan syariah Islam sebagai
pilarnya. Di luar itu, pendidikan—sebagaimana pendidikan sekuler saat ini—akan
tetap bersifat materialistik dan kehilangan ruhnya.
Krisis pendidikan, khususnya pendidikan karakter, tidak bisa diselesaikan hanya dengan revisi
kurikulum atau pelatihan para guru. Krisis pendidikan karakter di Indonesia
juga bukan sekadar krisis perilaku individu. Karena itu solusinya juga bukan
sekadar menambah jam pelajaran agama. Semua itu hanya tambalan pada sistem
sekuler yang rusak sejak akar dan telah gagal membentuk manusia bertakwa.
Solusinya hanya satu: mengembalikan sistem pendidikan di bawah naungan
syariah Islam yang diterapkan oleh Negara. Dengan kata lain sistem pendidikan
sekuler harus diganti dengan sistem pendidikan Islam. Tentu di bawah sistem
pemerintahan Islam yang berasaskan akidah Islam dan menerapkan syariah Islam
secara kaaffah dalam seluruh aspek kehidupan, sebagaimana era Khilafah dulu. Inilah
sistem yang pernah menjadikan umat Islam memimpin dunia selama berabad-abad.
Kini saatnya umat kembali pada sistem tersebut, agar pendidikan benar-benar
melahirkan generasi beriman, berilmu dan beradab. Itulah generasi khayru
ummah. Allah SWT berfirman: Apakah sistem hukum Jahiliah yang mereka kehendaki?
(Hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi kaum yang yakin? (TQS
al-Ma’idah [5]: 50).
Dengan demikian hanya dengan penerapan syariah Islam secara kaaffah oleh
institusi Negara, pendidikan akan kembali memancarkan cahaya. Dengan penerapan syariah
Islam secara kaaffah, Negara akan menjadi pelindung ilmu, penjaga adab dan
penegak peradaban yang memuliakan manusia. Dari rahimnya akan lahir generasi
ulama dan mujahid; generasi pemimpin dunia yang menebarkan rahmat bagi seluruh
alam.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1176/30/10/25 : 04.52 WIB)

