Oleh : Ahmad Sastra
Setiap manusia memiliki emosi, kepentingan
pribadi, prasangka budaya, dan sudut pandang tertentu. Hal ini membuat
penilaian manusia rentan terhadap subjektivitas. Dalam filsafat, muncul
kebutuhan untuk menemukan cara berpikir yang dapat mengurangi bias agar
pengetahuan yang dihasilkan dapat dipercaya. Karena itu, obyektivitas dan
netralitas menjadi prinsip penting untuk “menjernihkan” proses berpikir.
Filsafat berusaha menjawab pertanyaan: Apa
yang benar? Tanpa obyektivitas dan netralitas, klaim kebenaran akan mudah jatuh
pada: (1) opini pribadi (2) keyakinan dogmatis (3) kekuasaan yang memaksakan
kebenaran. Untuk menghindari itu, filsafat membutuhkan standar yang rasional,
terbuka, dan dapat diuji, sehingga klaim kebenaran tidak hanya didasarkan pada
perasaan atau otoritas.
Manusia memiliki pandangan beragam
mengenai moral, politik, agama, atau realitas. Perbedaan ini sering menimbulkan
konflik karena masing-masing pihak mengklaim pendapatnya sebagai benar. Obyektivitas
dan netralitas diperlukan agar: (1) dialog dapat berjalan tanpa saling
memaksakan pandangan (2) argumentasi dapat dinilai berdasarkan alasan, bukan
preferensi (3) tercipta ruang diskusi yang adil (fair ground of reasoning)
Sejak filsafat modern (Descartes, Bacon,
Kant), muncul kesadaran bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang bila: (1)
pengamatan dilakukan secara obyektif (2) peneliti bersikap netral (3) hasil
tidak ditentukan oleh kepentingan politik, agama, atau ekonomi. Tanpa
obyektivitas dan netralitas, sains akan menjadi alat kekuasaan, bukan alat
mencari kebenaran.
Sejarah mencatat kesalahan besar akibat
hilangnya dua prinsip ini, seperti: (1) ilmu rasis pada abad 19 (2) penelitian
yang dimanipulasi demi kepentingan industry (3) dogma ilmiah yang menolak bukti
baru.
Realitas sosial, moral, dan bahkan fisik
kadang ambiguitas dan sulit ditangkap sepenuhnya. Jika tidak ada usaha untuk
menjaga obyektivitas dan netralitas, maka: (1) kesimpulan mudah disesatkan (2) teori
tidak stabil (3) penelitian tidak dapat direplikasi (4) pengetahuan sulit
diverifikasi. Karena itu filsafat menekankan perlunya metode untuk mengontrol
subjektivitas.
Dalam filsafat moral dan etika profesi,
obyektivitas dan netralitas dibutuhkan agar: (1) keputusan tidak merugikan
pihak tertentu (2) penilaian tidak diskriminatif (3) tindakan dapat
dipertanggungjawabkan secara etis. Contoh: hakim, peneliti, jurnalis, dan
birokrat dituntut menjaga netralitas agar proses sosial berjalan adil.
Pentingnya obyektivitas dan netralitas
dalam filsafat didasarkan pada masalah-masalah fundamental manusia: (1) adanya
bias dan subjektivitas alami, (2) perlunya kriteria rasional dalam pencarian
kebenaran, (3) konflik penafsiran antarindividu, (4) kebutuhan metode ilmiah
yang bebas bias, (5) tantangan memahami realitas yang kompleks, dan (6) tanggung
jawab etis dalam praktik sosial.
Karena masalah-masalah itulah filsafat
memandang obyektivitas dan netralitas sebagai prinsip dasar dalam berpikir,
menilai, dan menghasilkan pengetahuan. Dalam perspektif filsafat, obyektivitas
dan netralitas adalah dua prinsip penting yang berkaitan dengan cara memperoleh
pengetahuan yang benar, adil, dan bebas dari bias. Keduanya sering dibahas
dalam epistemologi (teori pengetahuan), etika penelitian, dan filsafat ilmu.
Obyektivitas dan Netralitas
Obyektivitas adalah sikap atau prinsip
untuk memperoleh pengetahuan berdasarkan fakta, realitas, atau kriteria yang
dapat diuji, bukan berdasarkan perasaan, kepentingan pribadi, atau prasangka.
Ciri-ciri obyektivitas dalam filsafat: (1)
Berdasarkan realitas: Klaim harus dapat diverifikasi oleh siapa pun dalam
kondisi yang sama. (2) Bebas dari bias pribadi: Pendapat, emosi, atau
preferensi individu tidak mempengaruhi penilaian. (3) Menggunakan metode
rasional: Argumen didasarkan pada logika, bukti, dan konsistensi. (4) Inter-subjectively
verifiable: Dapat diperiksa kebenarannya oleh banyak subjek independen.
Contoh sederhana : “Air mendidih pada suhu
100°C pada tekanan 1 atm” adalah pernyataan obyektif karena dapat diuji kapan
saja oleh siapa pun. Dalam filsafat ilmu, tokoh seperti Karl Popper menekankan
obyektivitas melalui prinsip falsifikasi: teori harus bisa dibuktikan salah.
Sementara yang dimaksud dengan istilah netralitas
adalah sikap untuk tidak memihak atau tidak mengambil posisi berdasarkan
kepentingan tertentu dalam proses penilaian atau penyelidikan.
Ciri-ciri netralitas dalam filsafat: (1) Tidak
berpihak: Menghindari keberpihakan pada kelompok, ideologi, atau nilai
tertentu. (2) Tidak mengintervensi hasil: Peneliti atau pemikir tidak berusaha
membuat hasil sesuai keinginannya. (3) Terbuka terhadap berbagai kemungkinan:
Semua hipotesis atau argumen diberi kesempatan dipertimbangkan secara adil. (4)
Menahan penilaian: Tidak langsung menghakimi sebelum bukti cukup.
Contoh sederhana : Seorang peneliti yang
meneliti efek obat baru tetap netral meskipun ia bekerja untuk perusahaan
farmasi; ia tidak boleh memanipulasi data demi keuntungan perusahaan. Dalam
filsafat ilmu, prinsip netralitas sering dibahas dalam konteks bebas nilai
(value-free science) menurut Max Weber, meskipun kemudian dikritik oleh banyak
filsuf karena sulit diterapkan secara sempurna.
Obyektivitas fokus pada kebenaran sesuai
fakta, sementara netralitas fokus pada ketidakberpihakan. Obyektifitas memerlukan
metode yang dapat diuji. Sementara netralitas memerlukan sikap mental yang adil.
Obyektivitas berkaitan dengan hasil, sementara netralitas berkaitan dengan
proses. Obyektivitas bisa dicapai melalui metode ilmiah, sedangkan netralitas lebih
sulit karena manusia memiliki bias bawaan
Dengan demikian, dalam filsafat,
obyektivitas dan netralitas berfungsi sebagai fondasi untuk mencapai
pengetahuan yang benar dan adil. Obyektivitas menekankan kesesuaian dengan
realitas dan bukti. Netralitas menekankan ketidakberpihakan dalam proses
berpikir.
Perspektif Epistemologi Islam
Pemikiran Islam memiliki ciri
epistemologis yang khas ketika berhadapan dengan konsep obyektivitas dan
netralitas, terutama karena Islam memadukan wahyu (naql) dan akal (‘aql) dalam
proses pencarian kebenaran. Dalam konteks ini, ada tiga poin besar analisis:
Pertama, obyektivitas dalam Pemikiran
Islam berbasis Wahyu dan Rasio. Obyektivitas sebagai kesesuaian dengan realitas
(al-ḥaqīqah). Dalam Islam, kebenaran obyektif adalah kebenaran yang sesuai
dengan realitas dan ditetapkan oleh Allah, karena: “Kebenaran itu datang dari
Tuhanmu” (QS. Al-Baqarah: 147).
Maka obyektivitas tidak hanya berdasarkan
observasi empiris, tetapi juga kesesuaian dengan nilai-nilai wahyu. Ini
menjadikan obyektivitas dalam Islam tidak sekadar netral-faktual, tetapi juga
normatif-transenden.
Dalam epistemologi Islam adalah model integrasi
wahyu dan akal. Tokoh seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Al-Ghazali menekankan
bahwa akal dapat mencapai kebenaran obyektif ketika: (1) metode rasional
digunakan (2) dibimbing oleh prinsip-prinsip wahyu. Sehingga obyektivitas Islam
adalah integrasi rasio dan wahyu. Berbeda
dari obyektivitas sekuler modern yang menolak sumber transenden.
Islam memandang objektivitas melalui
metode ilmiah Islam klasik. Cendekiawan Muslim mengembangkan metode kritis,
seperti: (1) Ilmu dirayah dan riwayah (validasi hadis) (2) Qiyas, ijma’, dan
istidlal (3) Metode falsafi dan observasi ilmiah (Ibn al-Haytham). Metode ini
bertujuan mengurangi bias sehingga menghasilkan pengetahuan yang valid dan
obyektif.
Dalam filsafat Barat modern, netralitas
berarti tidak memihak dan bebas nilai (value-free).
Dalam Islam, konsep ini dipandang secara
berbeda. Dalam epistemologi Islam, netralitas tidak berarti bebas nilai. Islam
tidak menerima ide “bebas nilai” karena: (1) manusia selalu membawa nilai moral
(2) wahyu adalah sumber nilai yang harus dipatuhi.
Maka Islam tidak menuntut netralitas
absolut, tetapi netralitas prosedural, yaitu: (1) adil (2) tidak bias (3) tidak
diskriminatif (4) tidak dipengaruhi hawa Nafsu. Bukan netralitas absolut yang
mengabaikan nilai ilahi.
Dalam epistemologi Islam, prinsip keadilan
sebagai bentuk netralitas. Islam menekankan netralitas sebagai keadilan,
sebagaimana dalam Al-Qur’an: “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8). Netralitas Islam artinya keadilan dalam
proses, bukan bebas nilai.
Kesaksian objektif dalam Islam juga
berbeda dengan pandangan sekuler. Contoh konsep netralitas etis: (1) larangan
menyembunyikan kebenaran (2) larangan bersaksi palsu (3) larangan mengikuti
hawa nafsu dalam memutuskan perkara. Ini menunjukkan bahwa Islam menolak
netralitas pasif, melainkan mendorong objektivitas moral aktif.
Analisis Filosofis Perbandingan dengan
Paradigma Barat
Dalam paradigma Barat (modern),
obyektivitas harus bebas nilai, observasi empiris. Netralitas dalam pandangan
sekulerisme barat adalah tidak memihak, tidak memakai nilai moral dalam
penelitian, maka realitas harus dijelaskan secara materialistik.
Sementara dalam paradigma Islam,
obyektivitas adalah ketika sesuai realitas empiris dan wahyu. Netralitas dalam epistemologi
Islam bertumpu pada nilai keadilan, tetapi tidak bebas nilai moral. Realitas
dalam pandangan Islam terdiri dari aspek materi dan aspek transenden.
Dari paparan ini, maka ada konsekuensi
epistemologisnya. Islam mengakui bahwa:
(1) Sepenuhnya netral itu mustahil (manusia selalu membawa orientasi moral dan
akidah) (2) Obyektivitas dapat dicapai melalui metode ilmiah dan nilai ketakwaan
(3) Netralitas etis justru menjamin objektivitas, bukan menghambatnya
Dengan demikian, obyektivitas dalam Islam
bersifat teosentris karena berlandaskan wahyu dan rasio. Netralitas dalam Islam
bersifat etis, bukan bebas nilai, melainkan fokus pada keadilan dan anti-bias. Islam
tidak menerima netralitas absolut, tetapi menerima netralitas metodologis
(penelitian harus adil, jujur, dan tidak bias).
Islam memandang bahwa pencarian kebenaran
obyektif harus mengintegrasikan: (1) metode ilmiah (2) argumentasi rasional (3)
nilai moral wahyu. Paradigma ini menghasilkan epistemologi unik yang tidak
sepenuhnya empiris, tidak sepenuhnya rasional, dan tidak sepenuhnya dogmatis melainkan
holistik.
REFERENSI
Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and secularism.
International Institute of Islamic Thought and Civilization.
Al-Faruqi, I. R. (1982). Islamization of knowledge:
General principles and work plan. International Institute of Islamic
Thought.
Author Unknown. (2022). Revisiting Al-Faruqi’s
Islamization of knowledge: A hermeneutical critique. Indonesian Journal of
Religion and Education, 4(1), 55–70.
Author Unknown. (2023). Islamization of knowledge of
Ismail Raji al-Faruqi: A critical review. International Journal of Islamic
Studies, 8(1), 77–95.
Author Unknown. (2024). Islamic journalism and the
challenges of objectivity. Journal of Islamic Media Studies, 9(2),
101–120.
Author Unknown. (2025). Epistemological synthesis of
Al-Attas and Al-Faruqi. Journal of Islamic Thought, 15(2), 45–60.
Kamali, M. H. (2003). Principles of Islamic
jurisprudence (2nd ed.). Islamic Texts Society.
Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the sacred.
State University of New York Press.
Rahman, F. (1982). Islam and modernity:
Transformation of an intellectual tradition. University of Chicago Press.
Yusuf, H. (2019). A perspective of Islamic
epistemology. Walisongo: Journal of Islamic Studies, 27(1), 1–22.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,
No.1183/20/11/25 : 08.51 WIB)

