Oleh : Ahmad Sastra
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) mencatat ada 753 jiwa meninggal dunia dan 650 jiwa dinyatakan hilang
pada penanganan darurat banjir dan longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat,
dan Aceh.
Penambahan jumlah korban jiwa dan orang
hilang tersebut didapat dari situs Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi
Bencana (Pusdatin BNPB), dilihat detikcom pada Rabu (3/12/2025), pukul 06.00
WIB. Data Pusdatin BNPB juga mencatat ada sekitar 2.600 jiwa terluka, 3.600-an
rumah rusak berat, 2.100-an rumah rusak sedang, dan 3.700-an rumah rusak
ringan.
Indonesia adalah negeri dengan intensitas bencana alam
tertinggi di dunia. Letaknya di pertemuan tiga lempeng tektonik besar, sabuk
gunung api Pasifik, serta garis khatulistiwa menjadikan wilayah Nusantara rawan
gempa, tsunami, banjir, erupsi gunung api, dan tanah longsor.
Di antara seluruh kawasan tersebut, Sumatera dan Aceh
termasuk wilayah paling rentan dan paling sering mengalami bencana berkategori
besar. Rentetan bencana yang terjadi selama beberapa dekade terakhir
menunjukkan bahwa dampak ekologis, sosial, ekonomi, dan psikologisnya jauh
melampaui batas administratif provinsi, sehingga secara ilmiah dan kebijakan
publik, Sumatera dan Aceh layak dikategorikan sebagai kawasan dengan status
bencana nasional.
Sumatera dan Aceh, Wilayah dengan Kerentanan Geologis
Ekstrem
Secara geologis, Sumatera berdampingan langsung dengan
Sesar Sumatera (Great Sumatran Fault), zona megathrust Sunda, dan puluhan
gunung api aktif. Aceh berada pada segmen paling utara dari zona tektonik ini,
sehingga menerima tekanan paling besar dari interaksi lempeng Indo-Australia
dan Eurasia. Para pakar geologi internasional seperti Kerry Sieh dan Benjamin
N. Brooks telah lama menegaskan bahwa Sumatera adalah salah satu kawasan dengan
potensi gempa terbesar di dunia (Sieh, 2007).
Catatan sejarah memperlihatkan bahwa gempa dan tsunami
di Aceh pada tahun 2004 menjadi salah satu bencana alam terbesar yang pernah
dicatat peradaban modern. Selain itu, gempa Nias (2005), gempa Sumatera Barat
(2009), banjir bandang di berbagai kawasan, erupsi Gunung Sinabung dan Marapi,
hingga peningkatan aktivitas vulkanik di sepanjang Bukit Barisan menunjukkan
pola ancaman yang bersifat kronis dan berkala.
Dengan kata lain, bencana di Sumatera dan Aceh bukan
fenomena insidental, melainkan struktural karena terkait langsung dengan
kondisi geologi yang tak dapat diubah manusia. Oleh sebab itu, mitigasi bencana
di kawasan ini harus berskala nasional, bukan lagi parsial.
Dampak Sosial Ekonomi yang Melampaui Kapasitas Daerah
Bencana yang terjadi di Aceh dan Sumatera tidak hanya
menimbulkan korban jiwa; ia juga menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial dan
ekonomi dalam skala besar. Sebagai contoh, laporan UNDP (2010) mencatat bahwa
tsunami Aceh 2004 menimbulkan kerugian ekonomi lebih dari USD 4,5 miliar, angka
yang tidak mungkin ditangani hanya dengan kapasitas fiskal daerah.
Bahkan setelah dua dekade berlalu, banyak daerah
terdampak masih memerlukan intervensi pemerintah pusat dalam bentuk
rekonstruksi berkelanjutan, program pemulihan ekonomi, revitalisasi perikanan,
rehabilitasi pesisir, hingga penguatan infrastruktur gempa. Ini membuktikan
bahwa: (1) Kapasitas pemerintah provinsi tidak sebanding dengan skala kerusakan
(2) Dampak ekonomi menjalar ke provinsi lain (perdagangan, logistik, migrasi
tenaga kerja) (3) Pemulihan membutuhkan koordinasi nasional-internasional.
Dengan demikian, menetapkan bencana Aceh dan Sumatera
sebagai bencana nasional bukan hanya tepat, tetapi mendesak untuk memastikan
keberlanjutan pembangunan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, bencana nasional ditetapkan jika memenuhi
kriteria: (1) Jumlah korban yang besar (2) Kerugian harta benda yang signifikan
(3) Dampak terhadap berbagai sektor kehidupan (4) Cakupan dampak lintas wilayah
(5) Ketidakmampuan daerah merespons secara mandiri.
Jika indikator tersebut diterapkan pada
bencana-bencana besar di Sumatera dan Aceh, semua kriterianya terpenuhi. Bahkan
beberapa kejadian gempa dan tsunami menghasilkan dampak psikososial jangka
panjang, seperti trauma lintas generasi, perubahan demografi, dan gangguan
sistem sosial masyarakat pesisir.
Skala kerusakan dan luasnya wilayah terdampak juga
menghambat layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan energy,
sesuatu yang secara hukum dan logika kebijakan harus ditangani dalam kerangka “penyelamatan
nasional”.
Bencana alam di Sumatera dan Aceh juga berdampak pada ekosistem
nasional, karena kedua wilayah ini merupakan pusat keanekaragaman hayati global
(biodiversity hotspot). Hutan Leuser, Taman Nasional Kerinci Seblat, Bukit
Barisan, dan ekosistem pesisir di Aceh adalah benteng terakhir keanekaragaman
hayati Indonesia.
Kerusakan ekosistem akibat gempa, tsunami, banjir,
atau kebakaran hutan di Sumatera menyebabkan: (1) hilangnya fungsi ekologi yang
berakibat pada perubahan iklim mikro, (2) meningkatnya risiko bencana susulan
(banjir-longsor), (3) hilangnya habitat spesies kunci seperti gajah, harimau,
dan orangutan, (4) gangguan pada siklus air dan udara yang memengaruhi wilayah
Sumatera bagian tengah dan selatan.
Kerusakan pada ekosistem kritis ini memberikan efek
domino bagi seluruh Indonesia. Oleh karena itu, penanganan bencana di Aceh dan
Sumatera bukan hanya urusan daerah, tetapi berkaitan dengan ketahanan ekologi
nasional. Bencana besar di Sumatera dan Aceh berdampak pada stabilitas
nasional, karena:
Pertama, Mobilitas penduduk. Banyak korban bencana
melakukan migrasi lintas provinsi, bahkan antar pulau, sehingga membutuhkan
koordinasi nasional dalam hal layanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan
pekerjaan.
Kedua, Gangguan distribusi barang dan energy. Sumatera
adalah jalur logistik penting bagi Indonesia bagian barat. Kerusakan
infrastruktur akibat gempa atau tsunami dapat memengaruhi pasokan energi,
pangan, dan barang pokok secara nasional.
Ketiga, Potensi konflik sosial pasca-bencana. Studi-studi
kemanusiaan menunjukkan bahwa daerah rawan bencana berpotensi mengalami
ketegangan sosial akibat perebutan sumber daya, akses bantuan, dan tekanan psikologis
kolektif (Wisner, 2004). Karena itu, penanganan yang bersifat nasional akan
mengurangi kerentanan tersebut dan memperkuat ketahanan masyarakat.
Menetapkan suatu bencana sebagai bencana nasional
memberikan manfaat strategis: (1) Akses langsung ke anggaran penanggulangan
bencana nasional (2) Koordinasi TNI–Polri–BNPB secara terpusat (3) Mobilisasi
cepat bantuan internasional (4) Penyusunan ulang tata ruang berbasis mitigasi
skala nasional (5) Penguatan regulasi bangunan tahan gempa dan pesisir (6) Pembangunan
pusat riset kegempaan Sumatera–Aceh
Dengan penetapan bencana nasional, pemerintah tidak
lagi bersifat reaktif, tetapi bisa menyusun kebijakan jangka panjang seperti
early warning system terintegrasi, pendidikan mitigasi di sekolah, hingga
penataan permukiman pesisir yang aman.
Bencana alam di Sumatera dan Aceh layak dan
sepantasnya disebut sebagai bencana nasional berdasarkan: (1) kerentanan
geologis ekstrem, (2) dampak multidimensi lintas sektor, (3) beban ekonomi dan
sosial yang tidak mampu ditanggung oleh pemerintah daerah, (4) implikasi
ekologis dan kemanusiaan bagi Indonesia, (5) dan pemenuhan penuh kriteria
bencana nasional dalam regulasi negara.
Mengakui status tersebut bukan sekadar istilah
administratif, tetapi langkah strategis agar negara dapat memberikan
perlindungan maksimal kepada jutaan warga Indonesia yang hidup di wilayah rawan
bencana. Sumatera dan Aceh membutuhkan perhatian nasional yang berkelanjutan,
bukan hanya ketika bencana terjadi, melainkan melalui sistem mitigasi dan
kesiapsiagaan berskala negara.
DAFTAR PUSTAKA
BNPB. (2020). Indeks Risiko Bencana Indonesia.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Brooks, B. A., & Sieh, K. (2007). The Sumatran
megathrust and implications for megathrust earthquakes. Journal of
Geophysical Research.
National Research Council. (2010). Tsunami Warning
and Preparedness: An Assessment of the U.S. Tsunami Program and the Nation’s
Preparedness Efforts. National Academies Press.
UNDP. (2010). Aceh and Nias: Two Years After the
Tsunami. United Nations Development Programme.
Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., & Davis, I.
(2004). At Risk: Natural Hazards, People’s Vulnerability and Disasters.
Routledge.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1198/03/12/25 : 14.50
WIB)

