Oleh : Ahmad Sastra
Fenomena
perilaku pejabat publik yang tunduk secara membabi buta kepada pemimpin zalim
bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban manusia. Kisah Fir’aun yang
digambarkan dalam Al-Qur’an merupakan contoh paling jelas bagaimana seorang
penguasa diktator dapat bertahan lama karena ditopang oleh lingkaran kekuasaan
yang bermental budak: pasrah, penakut, oportunis, dan tanpa integritas moral.
Mentalitas
inilah yang oleh banyak mufasir disebut sebagai junūd Fir‘aun—pasukan,
pejabat, atau elite birokrasi yang menopang tirani. Tulisan ini berupaya
menganalisis karakter mental para pejabat Fir’aun, kemudian mengaitkannya
dengan fenomena birokrasi dan elit politik dalam sistem demokrasi kontemporer.
Karakter Mental Para Pembantu Fir’aun dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an
tidak hanya menyoroti kekejaman Fir’aun, tetapi juga menegaskan bahwa kezaliman
itu tidak akan berdiri sendiri tanpa dukungan struktur birokrasi dan aparatnya.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Fir’aun dan bala tentaranya berlaku sombong di
muka bumi dan mereka termasuk orang-orang yang melampaui batas.” (QS.
Al-Qashash [28]: 4)
Ayat ini,
menurut al-Tabari dalam Jāmi‘ al-Bayān, menunjukkan bahwa Fir’aun
memperkuat tiraninya melalui jaringan pejabat, penasihat, intelijen, dan aparat
yang patuh secara total meski mengetahui kezaliman pemimpinnya. Tindakan
Fir’aun yang membunuh bayi-bayi Bani Israil dan menindas rakyatnya tidak
mungkin berlangsung tanpa dukungan para pejabat tersebut.
Lebih jauh
lagi, Al-Qur’an menggambarkan mentalitas para elite ini sebagai kelompok
penakut yang rela berbohong, memutarbalikkan fakta, dan melayani kepentingan
kekuasaan.
Ketika
mukjizat Nabi Musa mengancam hegemoni mereka, para pejabat Fir’aun bukan fokus
pada kebenaran, tetapi pada cara mempertahankan kekuasaan: “Pemuka-pemuka dari
kaum Fir’aun berkata, ‘Apakah engkau (Fir’aun) membiarkan Musa dan kaumnya
berbuat kerusakan di negeri ini dan meninggalkanmu serta sembahan-sembahanmu?’”
(QS. Al-A‘raf [7]: 127)
Ibn Katsir
dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm menjelaskan bahwa para pemuka ini tidak
sedang mencari kebenaran, tetapi lebih berusaha menekan Fir’aun agar mengambil
tindakan represif. Mereka takut kekuasaan mereka goyah. Mentalitas inilah yang
disebut para ulama sebagai ‘ubūdiyyat al-sulṭān, perbudakan terhadap
kekuasaan.
Ciri-Ciri Mental Budak Para Pejabat Fir’aun
Berdasarkan
analisis ayat dan tafsir, mental budak para pejabat Fir’aun dapat dirangkum ke
dalam beberapa karakter penting: Pertama, Tunduk pada kekuasaan meski jelas
zalim. Para pejabat Fir’aun tetap setia walau pemimpin mereka melanggar batas
kemanusiaan dan ketuhanan. Mereka takut akan kehilangan jabatan, harta, dan
privilese.
Kedua, Takut pada perubahan. Pemuka Fir’aun panik
melihat dakwah Musa karena perubahan dianggap ancaman bagi kenyamanan status
quo. Ketiga, Memanipulasi informasi. Mereka menuduh Musa sebagai penyebab
kerusakan padahal justru Fir’aun yang merusak. Ini merupakan manufacturing
consent ala otokrat kuno.
Keempat, Menghalangi kebenaran demi kelangsungan
kekuasaan. Al-Qur’an menegaskan bahwa Fir’aun dan pejabatnya menolak
kebenaran bukan karena tidak tahu, tetapi karena kesombongan dan kepentingan
duniawi. Allah berfirman : Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan
kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka
perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. (QS.
An-Naml [27]: 14).
Kelima, Bersifat oportunis. Puncak oportunisme
mereka tampak ketika sedang tenggelam di laut. Mereka baru menyesal ketika
tidak ada lagi manfaat duniawi yang bisa diraih. Karakter-karakter ini
menunjukkan bahwa struktur otokratik tidak hanya lahir dari seorang tiran,
tetapi juga dari para birokrat yang secara mental bersedia menjadi budaknya.
Mental Budak Demokrasi Modern
Walau
demokrasi diklaim sebagai sistem yang menjamin kebebasan, partisipasi rakyat,
dan pengawasan terhadap kekuasaan, realitas politik kontemporer sering
menunjukkan wajah lain: oligarki, kultus individu, korupsi, pengkhianatan
amanah publik, serta birokrasi yang patuh pada kepentingan elite politik
daripada kepentingan rakyat. Dalam konteks inilah relevansi mentalitas pejabat
Fir’aun menjadi signifikan.
Menurut
Fareed Zakaria dalam The Future of Freedom, demokrasi modern kerap
berubah menjadi illiberal democracy, di mana pemimpin yang terpilih
secara demokratis kemudian memusatkan kekuasaan, mengendalikan media, dan
menekan oposisi. Fenomena ini terlihat di berbagai negara, termasuk
negara-negara berkembang dengan budaya politik feodal.
Ketika
pemimpin semakin mendekati watak otoriter, para pejabat di
sekelilingnya—menteri, kepala lembaga, jenderal, hingga pejabat daerah—sering
menunjukkan mentalitas seperti para pembantu Fir’aun: patuh tanpa kritik dan
rela melayani ambisi politik pemimpin.
Di banyak
negara, jabatan birokrasi diberikan bukan berdasarkan kompetensi, tetapi
loyalitas. Dampaknya: (1) pejabat tidak berani menolak instruksi meski
melanggar hukum, (2) mereka lebih takut kepada atasan daripada kepada Tuhan
atau hukum, (3) integritas publik tergerus demi keamanan posisi pribadi.
Ini sama
seperti pejabat Fir’aun yang lebih takut pada Fir’aun daripada pada kebenaran
yang dibawa Musa. Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay
menegaskan bahwa negara-negara yang gagal membangun birokrasi meritokratis akan
selalu terjebak dalam siklus korupsi dan penundukan diri pada elite politik.
Para pejabat
Fir’aun membantu mengarahkan persepsi rakyat bahwa Musa adalah ancaman. Hal
yang sama terjadi dalam demokrasi modern melalui: (1) propaganda politik, (2) buzzer
berbayar, (3) pencitraan ekstrem, (4) kriminalisasi kritik atau oposisi. Dengan
kata lain, pejabat dan elite demokrasi modern sering mengulang pola lama:
menyesatkan rakyat untuk mempertahankan kekuasaan.
Seperti
balā’ Fir’aun yang sombong dan hidup mewah, sebagian elite demokrasi kini
terjerat budaya hedonisme, suap, penggelapan dana publik, dan konflik
kepentingan. Laporan Transparency International tahun-tahun terakhir
menunjukkan bahwa demokrasi formal tidak otomatis mengurangi korupsi; bahkan,
dalam beberapa kasus, mekanisme politik biaya tinggi membuat korupsi justru
meningkat.
Mentalitas
pejabat Fir’aun sangat relevan dengan fenomena para birokrat dan elite
demokrasi yang: (1) tahu kebenaran tetapi memilih diam, (2) tahu kebijakan
salah tetapi tetap menandatangani, (3) tahu rakyat dirugikan tetapi tidak mau
mengambil risiko demi keadilan. Padahal menurut teori etika publik John Rawls,
keberanian moral pejabat publik merupakan fondasi keadilan politik.
Islam dan Kepemimpinan Bertaqwa
Islam
menekankan bahwa jabatan adalah amanah (QS. An-Nisa’ [4]: 58) dan bahwa pejabat
harus takut kepada Allah, bukan kepada pemimpin zalim. Nabi Muhammad ﷺ menolak keras perilaku pejabat yang
mencari ridha penguasa dengan kebohongan. Dalam Sahih Muslim, Rasulullah
ﷺ bersabda: “Pemimpin adalah pengurus dan ia
bertanggung jawab atas rakyatnya.”
Islam
menekankan tiga prinsip utama dalam kepemimpinan dan birokrasi: Pertama, Keberanian
moral di atas loyalitas buta. Ulama klasik seperti al-Mawardi dalam Al-Ahkām
al-Sulṭāniyyah menegaskan bahwa pejabat wajib menolak perintah pemimpin
yang zalim.
Kedua, Meritokrasi dan profesionalisme. Nabi ﷺ menegaskan bahwa jabatan harus diberikan
kepada ahli (“idza wussi‘a al-amru ilā ghayri ahlihi, fantazir as-sa‘ah”
– HR. Bukhari). Ketiga, Pengawasan moral melalui takwa. Pejabat Islam dipandu
oleh kesadaran bahwa Allah mengawasi setiap tindakan.
Mentalitas
budak para pembantu Fir’aun bukan sekadar kisah sejarah, tetapi cermin bagi
realitas politik modern. Demokrasi tanpa moral, tanpa keberanian pejabat, dan
tanpa integritas dapat melahirkan tirani baru yang diperkuat oleh birokrasi
oportunis.
Al-Qur’an
mengingatkan bahwa kezaliman bertahan bukan karena satu orang Fir’aun, tetapi
karena banyak pejabat yang rela menjadi instrumen kezaliman. Oleh sebab itu,
membangun sistem politik yang sehat membutuhkan: (1) pejabat yang berani
berkata benar, (2) birokrasi meritokratis, (3) budaya politik anti-kultus
individu, (4) moralitas publik yang kuat.
Tanpa itu,
sejarah Fir’aun akan terus berulang dalam wajah demokrasi modern. Karena itu
saatnya menjadikan sistem Islam sebagai solusi sistemik dan ideologis bagi
bangsa ini. Sebab sistem Islam adalah sistem yang sempurna dan adil, sebab
datang dari Allah Yang Maha Sempurna dan Maha Adil.
Daftar Pustaka
Al-Mawardi, Abu Hasan. Al-Ahkām al-Sulṭāniyyah.
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1985.
Ibn Katsir. Tafsīr
al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Kairo: Dar al-Hadits, 1998.
Al-Tabari. Jāmi‘
al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2000.
Fukuyama,
Francis. Political Order and Political Decay. New York: Farrar, Straus
and Giroux, 2014.
Zakaria,
Fareed. The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad.
New York: W.W. Norton, 2003.
Transparency
International. Corruption Perceptions Index Reports (various years).
Rawls, John.
A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press, 1971
(Ahmad
Sastra, Kota Hujan, No.1199/07/12/25 : 05.10 WIB)

