Oleh : Ahmad Sastra
Keluarga merupakan fondasi utama dalam pembentukan
masyarakat yang sehat dan beradab. Dalam Islam, keluarga tidak hanya dipahami
sebagai ikatan biologis atau sosial semata, melainkan sebagai institusi sakral
yang dibangun atas dasar iman, tanggung jawab, dan nilai-nilai ketuhanan.
Al-Qur’an dan Sunnah memberikan panduan komprehensif
mengenai bagaimana keluarga seharusnya dibangun dan dipelihara. Di antara
prinsip paling mendasar dalam membangun keluarga ideal menurut Islam adalah
cinta (mawaddah), komunikasi yang baik (tawāṣul bi al-ma‘rūf),
dan pengelolaan waktu yang berkualitas (ḥusn al-idārah li al-waqt).
Ketiganya saling berkaitan dan menjadi kunci terciptanya keluarga yang sakinah,
mawaddah, wa raḥmah.
Cinta dan Spiritualitas
Islam menempatkan cinta sebagai fondasi utama dalam
hubungan keluarga, khususnya antara suami dan istri. Al-Qur’an menegaskan bahwa
pernikahan bukan sekadar kontrak sosial, melainkan tanda kebesaran Allah.
Dalam QS. ar-Rūm [30]: 21, Allah berfirman bahwa Dia
menciptakan pasangan hidup agar manusia memperoleh ketenangan (sakinah),
serta menanamkan di antara mereka rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang
(raḥmah). Ayat ini menunjukkan bahwa cinta dalam Islam bukan hanya
perasaan emosional yang fluktuatif, tetapi nilai spiritual yang harus
dipelihara dan ditumbuhkan.
Cinta dalam keluarga ideal tidak berhenti pada
romantisme, tetapi diwujudkan dalam tanggung jawab, pengorbanan, dan komitmen
jangka panjang. Rasulullah ﷺ mencontohkan cinta yang penuh empati dan
kelembutan dalam kehidupan rumah tangganya. Beliau membantu pekerjaan rumah,
bersikap lembut kepada istri, serta mengekspresikan kasih sayang secara
terbuka.
Hal ini menunjukkan bahwa cinta dalam Islam bersifat
aktif dan nyata, bukan sekadar konsep abstrak. Ketika cinta dijadikan fondasi,
keluarga akan memiliki ketahanan emosional dalam menghadapi konflik dan ujian
kehidupan.
Komunikasi dan Harmoni
Selain cinta, komunikasi merupakan elemen krusial
dalam membangun keluarga ideal. Islam sangat menekankan pentingnya perkataan
yang baik, jujur, dan penuh hikmah. Prinsip qaulan ma‘rūfan (perkataan
yang baik) dan qaulan layyinan (perkataan yang lembut) menjadi pedoman
utama dalam interaksi keluarga. Komunikasi yang sehat memungkinkan setiap
anggota keluarga merasa didengar, dihargai, dan dipahami.
Dalam konteks keluarga, komunikasi bukan hanya soal
menyampaikan pesan, tetapi juga tentang mendengarkan dengan empati. Banyak
konflik rumah tangga bermula bukan dari masalah besar, melainkan dari kegagalan
berkomunikasi secara efektif.
Islam mengajarkan musyawarah (shūrā) sebagai
metode penyelesaian masalah, termasuk dalam lingkup keluarga. Dengan komunikasi
yang terbuka dan berlandaskan adab Islam, perbedaan pendapat dapat dikelola secara
konstruktif, bukan destruktif.
Rasulullah ﷺ juga memberikan teladan komunikasi
keluarga yang dialogis dan penuh penghargaan. Beliau tidak bersikap otoriter,
tetapi mengajak berdiskusi, bahkan menerima pendapat istri dalam berbagai
situasi. Ini menunjukkan bahwa komunikasi dalam keluarga ideal Islam bersifat
dua arah, setara dalam martabat, dan berorientasi pada kebaikan bersama.
Waktu sebagai Amanah
Aspek penting lain yang sering diabaikan dalam
kehidupan keluarga modern adalah waktu. Islam memandang waktu sebagai amanah
besar yang akan dimintai pertanggungjawaban. Dalam konteks keluarga, kualitas
waktu kebersamaan sering kali lebih penting daripada kuantitasnya. Kehadiran
fisik tanpa keterlibatan emosional tidak cukup untuk membangun kedekatan
keluarga.
Pengelolaan waktu yang baik memungkinkan orang tua
hadir secara utuh dalam kehidupan anak-anak dan pasangan. Islam mendorong
keseimbangan antara ibadah, pekerjaan, dan keluarga. Rasulullah ﷺ adalah
teladan terbaik dalam hal ini. Meskipun memiliki tanggung jawab dakwah yang
besar, beliau tetap menyediakan waktu untuk keluarga, bercengkerama, dan
mendidik anak-anak dengan penuh perhatian.
Waktu berkualitas dalam keluarga mencakup aktivitas
sederhana seperti makan bersama, berdialog dari hati ke hati, serta beribadah
bersama. Aktivitas ini memperkuat ikatan emosional dan spiritual, sekaligus
menjadi sarana internalisasi nilai-nilai Islam kepada anak-anak. Dalam keluarga
yang ideal, waktu tidak hanya dihabiskan, tetapi diinvestasikan untuk membangun
karakter dan ketakwaan.
Sinergi Cinta, Komunikasi, dan Waktu
Cinta, komunikasi, dan waktu bukanlah elemen yang
berdiri sendiri. Ketiganya saling menguatkan dan membentuk satu kesatuan utuh
dalam membangun keluarga ideal. Cinta tanpa komunikasi yang baik dapat berubah
menjadi asumsi dan kekecewaan. Komunikasi tanpa cinta akan terasa kering dan
mekanis. Sementara itu, cinta dan komunikasi tanpa waktu yang cukup akan
kehilangan ruang aktualisasinya.
Islam menawarkan kerangka holistik dalam membangun
keluarga, di mana aspek emosional, sosial, dan spiritual terintegrasi secara
harmonis. Keluarga ideal dalam pandangan Islam bukanlah keluarga tanpa konflik,
melainkan keluarga yang mampu mengelola konflik dengan cinta, komunikasi yang
sehat, dan kebersamaan yang bermakna. Dengan menjadikan ketiga aspek ini
sebagai prioritas, keluarga akan menjadi tempat tumbuhnya generasi yang
beriman, berakhlak mulia, dan siap berkontribusi bagi masyarakat.
Di tengah tantangan kehidupan modern yang serba cepat
dan individualistik, nilai-nilai Islam tentang keluarga menjadi semakin
relevan. Cinta sebagai fondasi spiritual, komunikasi sebagai sarana membangun
kepercayaan, dan waktu sebagai amanah kebersamaan adalah pilar utama keluarga
ideal dalam pandangan Islam.
Ketika ketiganya dihadirkan secara seimbang dan
konsisten, keluarga tidak hanya menjadi tempat berlindung secara emosional,
tetapi juga wahana pembentukan peradaban. Dengan demikian, membangun keluarga
ideal bukan sekadar proyek personal, melainkan bagian dari ibadah dan
kontribusi nyata bagi kemaslahatan umat.
Ayah Harus Hadir
Keberadaan seorang ayah dalam pendidikan keluarga
memiliki peran yang sangat strategis dan tidak tergantikan. Ayah bukan hanya
figur pencari nafkah, tetapi juga pendidik utama yang membentuk arah, nilai,
dan karakter anak.
Dalam perspektif pendidikan keluarga, ayah berfungsi
sebagai penentu visi dan teladan kepemimpinan moral. Kehadiran ayah secara
fisik maupun emosional memberikan rasa aman, ketegasan, dan struktur dalam
kehidupan anak, yang sangat dibutuhkan terutama pada masa pertumbuhan dan
pembentukan identitas diri.
Berbagai kajian menunjukkan bahwa meningkatnya kasus
amoralitas, penyimpangan perilaku, hingga seks menyimpang pada remaja sering
kali berkorelasi dengan hilangnya peran ayah dalam keluarga (fatherless).
Ketidakhadiran ayah, baik karena perceraian, kesibukan
berlebihan, maupun ketidakpedulian emosional, menyebabkan anak kehilangan figur
otoritas yang menanamkan batasan nilai dan tanggung jawab. Akibatnya, remaja lebih
rentan mencari figur pengganti di luar rumah yang belum tentu memberikan
pengaruh positif, sehingga mudah terjerumus pada perilaku menyimpang.
Ibu sering diibaratkan sebagai sekolah pertama bagi
anak, karena darinyalah anak belajar kasih sayang, bahasa, dan nilai-nilai
dasar kehidupan. Namun, dalam sistem pendidikan keluarga, ayahlah yang berperan
sebagai “kepala sekolah” yang mengarahkan jalannya pendidikan tersebut.
Ayah bertugas memastikan bahwa nilai, disiplin, dan
tujuan pendidikan keluarga berjalan secara konsisten dan berkesinambungan.
Sinergi antara peran ibu dan ayah menjadi kunci utama keberhasilan pendidikan
karakter dalam keluarga.
Dalam pandangan Islam, peran ayah sebagai pemimpin
keluarga (qawwām) mengandung tanggung jawab besar dalam membimbing dan
mendidik anak menuju ketakwaan dan akhlak mulia. Ayah dituntut tidak hanya
hadir secara biologis, tetapi juga terlibat aktif dalam pembinaan spiritual,
moral, dan sosial anak.
Dengan menjalankan peran kepemimpinan yang penuh
kasih, keteladanan, dan tanggung jawab, ayah dapat menjadi benteng utama dalam
mencegah degradasi moral dan membentuk generasi yang kuat secara iman,
kepribadian, dan peradaban.
REFERENSI
Al-‘Umari, A. (2010). Manhaj at-Tarbiyah
an-Nabawiyyah li al-Usrah. Kairo: Dār as-Salām.
Al-Bukhari, M. I. (2002). Ṣaḥīḥ al-Bukhārī
(Vol. 7). Beirut: Dār Ibn Kathīr.
Al-Ghazali, M. (1998). Khuluq al-Muslim. Kairo:
Dār al-Shurūq.
Al-Qur’an al-Karim. (n.d.). Surah Ar-Rūm (30): 21.
Kementerian Agama Republik Indonesia.
Al-Qurṭubī, M. A. (2006). Al-Jāmi‘ li Aḥkām
al-Qur’ān (Vol. 14). Beirut: Mu’assasah al-Risālah.
Al-Tabrizi, W. ad-D. (2005). Mishkāt al-Maṣābīḥ.
Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Zuhayli, W. (2011). Al-Fiqh al-Islāmī wa
Adillatuhu (Vol. 9). Damaskus: Dār al-Fikr.
Amin, S., & Huda, N. (2021). Komunikasi keluarga
dalam membentuk keluarga sakinah menurut perspektif Islam. Naafi’: Jurnal
Studi Islam, 1(2), 45–60.
At-Tirmidhī, M. Ī. (2007). Sunan at-Tirmidhī.
Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī.
Covey, S. R. (2004). The 7 habits of highly
effective families. New York: Free Press.
(Digunakan sebagai penguat konseptual, dikontekstualkan dengan nilai Islam).
Ibnu Katsir, I. (2000). Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm
(Vol. 6). Riyadh: Dār Ṭayyibah.
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2019). Al-Qur’an
dan terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
Langgulung, H. (2004). Manusia dan pendidikan:
Suatu analisa psikologi dan pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru.
Muslim, H. (2003). Ṣaḥīḥ Muslim. Riyadh: Dār
al-Salām.
Quraish Shihab, M. (2002). Tafsir Al-Mishbah:
Pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an (Vol. 11). Jakarta: Lentera Hati.
Rohman, A. (2020). Konsep sakinah, mawaddah, dan
rahmah dalam Al-Qur’an sebagai fondasi keharmonisan keluarga. Takwil: Jurnal
Studi Al-Qur’an dan Hadis, 2(1), 15–30.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1208/18/12/25 : 10.03
WIB)

