KETIKA KESERAKAHAN DILEGALKAN



 

Oleh : Ahmad Sastra

 

Pulau Sumatera, sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia, telah lama menjadi arena ekstraksi besar-besaran sumber daya alam. Aktivitas pertambangan batubara, mineral, dan proyek industri lainnya mendominasi lanskap ekologis hingga memberikan dampak luas terhadap hutan, sungai, dan kehidupan masyarakat lokal.

 

Krisis lingkungan seperti banjir bandang, tanah longsor, dan rusaknya lahan produktif di Sumatera baru-baru ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan semata akibat perubahan iklim global, tetapi juga perwujudan kebijakan nasional yang memberikan ruang kapitalisme ekstraktif dan dominasi oligarki ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam untuk keuntungan komersial semata.

 

Dalam konteks Indonesia kontemporer, dua instrumen hukum yang mendapat kritik tajam para akademisi dan aktivis lingkungan adalah Omnibus Law (UU Cipta Kerja/UU No. 11/2020 yang kini disahkan kembali sebagai UU No. 6/2023) dan UU Minerba (UU No. 3/2020 tentang Mineral dan Batubara).

 

Kebijakan tersebut dipandang sebagai bentuk legalisasi praktik ekstraktif yang memperlemah kontrol lingkungan demi kepentingan modal besar. Artikel ini memaparkan kritik ilmiah terhadap kedua regulasi tersebut dan hubungan antara struktur kapitalisme hukum dengan degradasi lingkungan di Sumatera.

 

Kapitalisme Ekstraktif dan Oligarki dalam Kebijakan Publik

 

Teori kapitalisme modern menggarisbawahi bahwa akumulasi modal cenderung terkonsentrasi pada segelintir aktor ekonomi besar, yang disebut oligarki, yang memiliki kekuatan politik yang signifikan dalam pembentukan kebijakan publik.

 

Dalam konteks sumber daya alam, oligarki ini sering berasal dari industri pertambangan, energi fosil, dan agribisnis berskala besar, yang mengejar keuntungan maksimal tanpa memperhatikan dampak sosial dan ekologis.

 

Para kritikus berpendapat bahwa struktur kebijakan Indonesia, termasuk liberalisasi perizinan melalui Omnibus Law dan pelonggaran aturan pertambangan melalui UU Minerba mempermudah akses pelaku modal besar terhadap sumber daya alam tanpa kontrol yang kuat terhadap dampak lingkungan. Kebijakan ini memperkuat dominasi oligarki dan menempatkan logika akumulasi modal di atas perlindungan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat lokal.

 

Omnibus Law dibuat dengan tujuan meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi dengan menyederhanakan regulasi. Namun, sejumlah studi akademik menunjukkan bahwa UU ini secara signifikan mengubah rezim perlindungan lingkungan:

 

Pertama, Pengurangan Kewenangan Pemerintah Daerah: Penelitian menunjukkan Omnibus Law mengurangi otoritas pemerintah daerah dalam pengelolaan izin lingkungan dan pengawasan, sehingga respon terhadap persoalan lokal menjadi kurang efektif.

 

Kedua, Penghapusan dan Penyederhanaan Perizinan Lingkungan: Proses AMDAL dan perizinan lingkungan yang semula lebih komprehensif kini disederhanakan menjadi “persetujuan lingkungan”, yang dikhawatirkan mengurangi kewajiban kajian dampak lingkungan.

 

Ketiga, Kontradiksi dengan Hak Lingkungan yang Sehat: Studi yuridis menilai penyederhanaan ini bertentangan dengan hak konstitusional atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.

 

Selain itu, kritik akademik menunjukkan bahwa penghapusan prinsip strict liability (pertanggungjawaban mutlak) bagi korporasi dalam kasus kerusakan lingkungan membuat penegakan hukum terhadap pelaku usaha lebih lemah, sehingga perusahaan umumnya tidak dituntut secara efektif meskipun terlibat dalam deforestasi besar.

 

Penelitian lain mengkaji bahwa pelemahan instrumen perlindungan lingkungan dalam Omnibus Law dan revisi UU Minerba berpotensi menghambat pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Hal ini karena hukum lingkungan yang dilonggarkan memungkinkan investasi tinggi karbon dan intensifikasi kegiatan ekstraktif.

 

UU No. 3/2020 tentang Minerba bertujuan memperkuat investasi dan kontribusi sektor tambang terhadap ekonomi nasional. Namun, analisis kritis akademik menunjukkan bahwa:

Pertama, Fokus Ekonomi yang Mengesampingkan Lingkungan: Kritik terhadap UU Minerba menunjukkan bahwa undang-undang ini lebih menekankan orientasi pemanfaatan sumber daya daripada perlindungan ekologis, sehingga konten pro-ekologi cenderung minim.

 

Kedua, Sentralisasi Perizinan: Pemberian kewenangan lebih besar pada pemerintah pusat dalam perizinan tambang dapat mengurangi pertimbangan spesifik kondisi lingkungan regional.

 

Ketiga, Kelemahan Penegakan dan Korupsi: Studi normatif menemukan bahwa berbagai ketentuan hukum yang kompleks serta potensi korupsi di sektor perizinan memperburuk kondisi perlindungan lingkungan di sektor pertambangan.

 

Keempat, Kritik lain juga mencatat bahwa mekanisme pengawasan pasca-tambang (reklamasi, revegetasi) lemah sehingga kerusakan lingkungan jangka panjang sering terjadi tanpa kompensasi efektif.

 

Pulau Sumatera telah mengalami deforestasi yang parah akibat perluasan tambang batubara, serta konflik ekologis lainnya. Aktivitas pertambangan skala besar tidak hanya menghancurkan habitat hutan dan biodiversitas, tetapi juga mengubah tata guna lahan sehingga meningkatkan risiko banjir dan longsor di musim hujan.

 

Beberapa bencana baru-baru ini dikaitkan dengan perubahan hidrologi akibat pengurangan tutupan vegetasi dan lansekap yang rusak akibat pertambangan dan pembangunan infrastruktur ekstraktif.

 

Walaupun data ilmiah khusus mengenai hubungan kausal langsung antara Omnibus Law/UU Minerba dengan banjir di Sumatera belum sepenuhnya dirilis dalam jurnal ilmiah, banyak laporan dan kajian lokal mencatat kekhawatiran terhadap perizinan yang longgar dan aktivitas ekstraktif yang tidak terkendali sebagai faktor pendorong kerusakan ekologis di pulau ini.

 

Dari perspektif akademik, kebijakan yang mempermudah perizinan dan melemahkan kontrol lingkungan dapat dipahami sebagai bagian dari logika kapitalisme neoliberal yang menempatkan akumulasi modal sebagai tujuan utama.

 

Dengan struktur hukum yang lebih “ramah investasi,” pelaku usaha besar atau oligarki diberikan ruang yang luas untuk mengekstraksi sumber daya tanpa cukup memperhitungkan biaya lingkungan dan sosial. Kebijakan semacam ini kerap disebut sebagai legalisasi keserakahan kapitalistik karena secara formal mempermudah akumulasi modal oleh segelintir entitas ekonomi, dengan biaya ekologis dan sosial yang besar.

 

Kritikus berpendapat bahwa penataan ulang hukum dalam Omnibus Law dan UU Minerba cenderung mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan lingkungan dan keadilan sosial.

 

Hasilnya, negara dan pasar seolah memberi “ijin” kepada kapital besar untuk mengekstraksi sumber daya secara agresif, memperbesar ketimpangan alamiah antara kepentingan modal dan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat.

 

Kapitalisme modern dalam bentuk regulasi ekstraktif seperti Omnibus Law dan UU Minerba telah membuka ruang lebih besar bagi pelaku modal besar dan oligarki untuk mengakses sumber daya alam Indonesia, sering kali dengan cara yang mengabaikan perlindungan lingkungan dan hak masyarakat lokal.

 

Kajian akademik menunjukkan bahwa kebijakan ini secara struktural mengurangi otoritas pemerintah daerah, mempermudah proses perizinan, dan melemahkan instrumen perlindungan lingkungan, yang berpotensi memperburuk degradasi ekologis di wilayah seperti Sumatera.

 

Kebijakan yang bermaksud meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi ternyata berkontribusi pada model pembangunan yang tidak berkelanjutan dan memperkuat dominasi modal besar atas ruang alam dan sosial masyarakat. Dengan kata lain penerapan sistem kapitalisme di negeri ini artinya negara telah melegalkan keserakahan penguasa dan pengusaha (pengpeng). Jika negara melegalkan keserakahan, jadi negara macam apa ini ??

 

REFERENSI

 

Butt, S., & Lindsey, T. (2021). Economic reform when the constitutional court says “no”: The Omnibus Law and labour reform in Indonesia. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 57(3), 287–310. https://doi.org/10.1080/00074918.2021.1909697

FWI. (2021). Deforestasi Indonesia 2019–2020. Bogor: Forest Watch Indonesia.

Greenpeace Indonesia. (2021). Dampak Omnibus Law terhadap lingkungan hidup dan masyarakat. Jakarta.

Harvey, D. (2005). A brief history of neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.

ICEL. (2020). Catatan kritis Undang-Undang Cipta Kerja terhadap perlindungan lingkungan hidup. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law.

Margono, B. A., Potapov, P. V., Turubanova, S., Stolle, F., & Hansen, M. C. (2014). Primary forest cover loss in Indonesia over 2000–2012. Nature Climate Change, 4(8), 730–735. https://doi.org/10.1038/nclimate2277

Mongabay Indonesia. (2020). Oligarki, tambang, dan krisis lingkungan di Indonesia. Mongabay Environmental News.

Piketty, T. (2014). Capital in the twenty-first century. Cambridge, MA: Harvard University Press.

PWYP Indonesia. (2022). Krisis ekologis dan tata kelola pertambangan di Sumatera. Jakarta.

Rahmadi, T. (2021). Hukum lingkungan dalam pusaran Undang-Undang Cipta Kerja. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 7(2), 1–22.

Republik Indonesia. (2020). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147.

Republik Indonesia. (2023). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41.

Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising power in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets. London: Routledge.

Salim, H. S. (2018). Hukum pertambangan di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Schlosberg, D. (2007). Defining environmental justice: Theories, movements, and nature. Oxford: Oxford University Press.

Setiawan, B. (2020). Sentralisasi perizinan pertambangan pasca revisi Undang-Undang Minerba. Jurnal Legislasi Indonesia, 17(4), 485–502.

Stiglitz, J. E. (2012). The price of inequality: How today’s divided society endangers our future. New York, NY: W. W. Norton & Company.

Sutrisno, A. D., et al. (2021). Politik hukum Undang-Undang Minerba dan implikasinya terhadap pengelolaan lingkungan. Jurnal RechtsVinding, 10(2), 257–276.

United Nations Environment Programme. (2019). Environmental rule of law: First global report. Nairobi: UNEP.

Wibisana, A. G. (2020). Pelemahan rezim perlindungan lingkungan hidup dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 6(2), 1–26.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, No.1209/20/12/25 : 05.29 WIB) 

__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad
Tags

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
__________________________________________ Website : https://www.ahmadsastra.com Twitter : https://twitter.com/@ahmadsastra1 Facebook : https://facebook.com/sastraahmad FansPage: https://facebook.com/ahmadsastra76 Channel Telegram : https://t.me/ahmadsastraofficial Instagram : https://instagram.com/sastraahmad