Oleh : Ahmad Sastra
Pembahasan mengenai poligami Rasulullah ﷺ merupakan salah satu tema yang sering disalahpahami. Sebagian
orang menilai poligami hanya dari sisi sosial-kultural masa kini, sementara
yang lain menguranginya menjadi sekadar isu moral.
Padahal, perkawinan Rasulullah ﷺ mengandung dimensi dakwah, pendidikan, sosial, hukum, dan
politik yang kompleks. Tidak sebagaimana yang sering dituduhkan oleh kaum
orientalis kafir yang sering menjadikan pologami Rasulullah sebagai bahan
caci-maki tanpa ilmu.
Para ulama klasik hingga kontemporer, seperti Ibn
Hajar, al-Qadhi ‘Iyadh, Ibn Katsîr, al-Syahrastânî, serta para peneliti sejarah
Islam modern, sepakat bahwa poligami Nabi harus dipahami dalam konteks
kenabian, bukan sekadar relasi privat sebagaimana manusia biasa.
Pertama, Dimensi Ta'limiyah
Rasulullah ﷺ menikah dengan beberapa perempuan yang memiliki kemampuan
intelektual, wawasan sosial, dan kapasitas periwayatan yang sangat penting
untuk transfer pengetahuan Islam kepada generasi sesudah beliau.
Aisyah r.a. menjadi ensiklopedia Ilmu Hadis dan Fiqh. Aisyah
r.a. adalah sumber utama ilmu syariah. Beliau meriwayatkan lebih dari 2.200
hadis, termasuk masalah ibadah, akhlak, hukum keluarga, dan seluk-beluk kehidupan
rumah tangga Nabi. Al-Zarkasyi menyebut Aisyah sebagai faqihah yang
fatwanya dijadikan rujukan para sahabat (Al-Zarkasyi, Al-Ijâbah).
Kapasitas keilmuan Aisyah adalah bukti bahwa poligami
Rasulullah bukan dorongan hawa nafsu, melainkan penyelamatan dan pewarisan ilmu—agar
sisi domestik dan privat kehidupan Nabi dapat diketahui umat.
Hafsah r.a. menjadi penjaga Mushaf. Hafsah r.a., putri
Umar bin Khattab, adalah penjaga mushaf standar pasca proses kodifikasi
pertama. Kecermatannya dalam menjaga mushaf menunjukkan kedudukan ilmiah beliau
(al-Bukhari, Shahih, Kitab Fadhâ’il al-Qur’an).
Ummi Salamah r.a. menjadi ahli fiqh dan pembelajaran
perempuan. Ummu Salamah dikenal sebagai fuqahiyah,
tempat sahabat bertanya tentang persoalan fiqh dan keluarga. Beliau
meriwayatkan banyak hadis tentang haji, iddah, dan etika rumah tangga.
Dengan demikian, perkawinan Rasulullah berfungsi
sebagai institusi pendidikan: rumah tangga Nabi menjadi “madrasah kenabian,”
dan istri-istrinya berperan sebagai mu’allimât umat.
Kedua, Hikmah Injimâ’iyah
Poligami Rasulullah juga mengandung hikmah inijimâ’iyah,
yaitu penguatan struktur sosial dan rekonsiliasi antar-suku pada masa itu.
Diantaranya adalah perlindungan terhadap para janda syuhada. Beberapa
pernikahan Nabi dilakukan untuk melindungi perempuan yang kehilangan suami
dalam medan dakwah dan jihad.
Miisalnya: (1) Ummu Salamah, janda Abu Salamah yang
gugur dalam dakwah. (2) Zainab binti Khuzaymah, dikenal sebagai “Ibu Orang
Miskin,” seorang janda yang hidupnya sangat sederhana. (3) Saudah binti Zam’ah,
janda tua yang tidak memiliki penopang.
Para ulama, seperti al-Mubarakfuri dalam Al-Rahîq
al-Makhtûm, menegaskan bahwa langkah Nabi adalah bagian dari solidaritas sosial,
bukan hasrat personal. Pernikahan Nabi memberikan perlindungan, kedudukan, dan
martabat kepada perempuan yang berisiko tersingkir secara sosial.
Hikmah sosiologis lainnya adalah rekonsiliasi
antar-kabilah. Pada masyarakat Arab yang tersegmentasi, pernikahan adalah
sarana menyatukan kabilah. Pernikahan Rasulullah dengan: (1) Juwairiyah binti
al-Harits dari Bani Musthaliq, (2) Shafiyyah binti Huyay dari komunitas Yahudi
Bani Nadhir, menghasilkan rekonsiliasi dan meredam permusuhan. Setelah Nabi
menikahi Juwairiyah, ratusan tawanan Bani Musthaliq dibebaskan oleh para
sahabat; al-Dhahabi mencatat peristiwa ini sebagai “salah satu langkah terbesar
memperkuat struktur sosial Islam.”
Ketiga, Hikmah Tasyri’iyah
Dimensi tasyri’iyah sangat penting, dimana pernikahan
Nabi memungkinkan turunnya hukum-hukum syar’i melalui berbagai peristiwa
domestik. Penetapan hukum nikah, iddah, dan hubungan keluarga.
Beberapa ayat hukum turun berkaitan dengan kondisi
rumah tangga Nabi, seperti: (1) Surah al-Ahzab 28–29 tentang hak memilih
(takhyir) istri. (2) Surah al-Ahzab 50–52 tentang batasan khusus bagi Nabi dan
status istri-istrinya sebagai Ummahatul Mu’minin. (3) Hadis-hadis
tentang tata krama rumah tangga, mandi janabah, haid, puasa, dan hubungan keluarga,
banyak dijelaskan Aisyah r.a.
Menurut Ibn Katsîr dan al-Qurtubî, rumah tangga Nabi
merupakan model legislasi, tempat Allah menurunkan aturan agar umat memperoleh
contoh praktis. Tanpa rumah tangga yang kompleks, hukum-hukum syariah tidak
memiliki konteks penerapan yang lengkap.
Pembedaan antara status Nabi dan umat. Ada hukum
khusus bagi Nabi, seperti larangan menikah lagi setelah istri-istrinya wafat
dan kedudukan istri Nabi yang tidak boleh dinikahi umat setelah beliau. Hal ini
menunjukkan bahwa poligami Nabi bukan model umum, melainkan kondisi kenabian
dengan tugas tasyri’iyah.
Keempat, Hikmah Siyasiyah
Pernikahan merupakan instrumen siyasah syar’iyyah,
yaitu kebijakan publik berdasarkan tuntunan syariah demi kemaslahatan umat. Diantara
dimensi politis poligami Rasulullah adalah menguatkan aliansi politik.
Dalam masyarakat Arabia abad ke-7, perkawinan adalah
medium diplomasi. Beberapa pernikahan Rasulullah bersifat strategi memperkuat
ikatan politik, misalnya: (1) Pernikahan dengan Ummu Habibah, putri Abu Sufyan,
pemimpin Quraisy yang mengurangi intensitas permusuhan menjelang Fathu Makkah.
(2) Pernikahan dengan Juwairiyah dan Shafiyyah, yang mengubah posisi suku-suku
sebelumnya bermusuhan menjadi bagian dari struktur koalisi Islam.
Peneliti sejarah seperti W. Montgomery Watt dan
Jonathan Brown mencatat bahwa pernikahan semacam ini merupakan tradisi politik
Arab yang digunakan Rasulullah dalam kerangka etika kenabian dengan mengubah
musuh menjadi mitra.
Dalam dimensi politis, poligami Rasulullah juga
bertujuan menstabilkan masyarakat Muslim awal. Pernikahan Nabi juga memperkuat
jejaring sosial internal kaum Muslim, misalnya dengan: (1) keluarga Abu Bakar
(Aisyah), (2) keluarga Umar (Hafsah).
Hal ini membentuk kohesi internal dalam fase
Makkah–Madinah yang penuh tekanan.
Dengan demikian, poligami Rasulullah tidak semata-mata
fenomena keluarga, tetapi bagian dari arsitektur politik kenabian yang
membangun stabilitas sosial, hukum, dan dakwah.
Dengan demikian, poligami Rasulullah sebagai Instrumen
Dakwah, Bukan Kepentingan Pribadi. Dari uraian di atas, jelas bahwa poligami
Rasulullah: (1) Ta'limiyah: melahirkan pusat pendidikan Islam melalui
istri-istri Nabi. (2) Injimâ’iyah: memperkuat solidaritas sosial dan melindungi
kelompok rentan. (3) Tasyri’iyah: menjadi wadah turunnya hukum-hukum syariah
yang kontekstual. (4) Siyasiyah: berperan dalam diplomasi, rekonsiliasi, dan
stabilitas politik umat.
Poligami Nabi adalah bagian dari misi kerasulan, bukan
aktivitas personal yang dapat dibandingkan dengan perkawinan manusia biasa.
Pendekatan ilmiah-historis justru memperlihatkan betapa strategis, luas, dan
maslahatnya institusi perkawinan Nabi bagi umat Islam hingga kini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhari, M. ibn Ismail. (2001). Shahih
al-Bukhari. Dâr Thauq al-Najâh.
Al-Mubârakfûrî, S. (2002). Al-Rahîq al-Makhtûm.
Dâr al-Hadîts.
Al-Qurtubî, M. A. (2005). Al-Jâmi’ li Ahkâm
al-Qur’ân. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Zarkasyî, B. (1993). Al-Ijâbah li Irâd mâ
Istadrakathu ‘Aisyah ‘ala al-Shahâbah. Maktabah al-Kulliyyât al-Azhariyyah.
Brown, J. (2014). Misquoting Muhammad: The
Challenge and Choices of Interpreting the Prophet’s Legacy. Oneworld
Publications.
Ibn Hajar al-Asqalânî. (2002). Al-Ishâbah fî Tamyîz
al-Shahâbah. Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Ibn Katsîr, I. (1998). Al-Bidâyah wan Nihâyah.
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Watt, W. M. (1956). Muhammad at Medina. Oxford
University Press.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan,
No.1196/02/12/25 : 05.30 WIB)

